Bugh!
Pelukan keduanya terlepas dengan wajah Gibran yang tertoleh ke samping. Keadaan pun langsung berubah menjadi tegang. Seisi kafe bahkan atensinya tertuju pada seorang lelaki yang secara tiba tiba meninju Gibran.
Gibran menatap sosok itu. Ia kenal. Itu Aron. Dan saat itu dirinya bangkit bersamaan dengan Zia.
"Ar,"
"Maksud lo apa?" tanya Gibran sudah dengan emosi.
Aron tak menjawab. Nafas laki laki itu sudah memburu. Wajahnya memerah menahan emosi. Dan sekarang ia menarik kasar tangan Zia untuk berada di sisinya.
Gibran meliriknya. Sesaat pikirannya bingung. Tapi emosinya semakin menguak saat Aron masih diam saja.
"Maksud lo apa pukul gue?!" bentak Gibran semakin emosi.
"Gibran udah," pergerakan Zia tercekat saat ingin menenangkan Gibran. Cekalan tangan Aron semakin kuat dan kasar.
"Lepasin Zia." Gibran melihat ringisan kecil yang kekasihnya keluarkan.
"Brengsek. Lepasin!"
"Kenapa?" Aron maju menatap nyalang Gibran.
"Lo gila? Dateng dateng pukul gue dan sekarang kasarin Zia?" cerca Gibran emosi.
Aron tertawa hambar.
"Aron udah, kita pulang." tengah Zia merasa panik bercampur semua.
Aron tidak menggubris, melirik saja tidak. Rasa emosinya sudah mendominasi di dirinya sekarang. Dan tak akan pernah mendengarkan siapapun jika sudah seperti ini.
Gibran semakin bingung sekarang. Ada apa? Kenapa Zia sepanik ini? Dan Aron? Kenapa tiba tiba laki laki itu datang dan langsung menyerangnya?
"Lepasin Zia," ucap Gibran lagi menyingkirkan semua asumsi buruknya.
"Lepasin? Kenapa emang?" kini Aron malah bertanya.
"Dia pacar gue."
"Dan dia istri gue."
Deg.
Gibran mematung di tempat. Pandangannya menurun, runtuh. Jantungnya berdegup kencang dengan bibir yang kelu untuk terbuka. Dan saat itu air mata Zia turun begitu saja.
"Gibran," lirih Zia.
Gibran mendongak perlahan. Menatap kosong Zia dengan wajah lemahnya. "Istri?"
Zia menggeleng. Ia berusaha melepas tangan Aron namun naasnya Aron masih kekeh pada pendirian.
"Ke rumah gue besok. Kompleks Indah Permata no 1. Gue jelasin semuanya." ucap Aron yang diakhiri dengan kepergiannya bersama Zia.
Tubuh Gibran luruh kebawah. Terjatuh kembali dalam kursi. Pandangannya masih kosong dengan perasaan yang semakin kacau.
Ada apa ini? Tanyanya terus menerus dalam hati.
••••••
Aron menghempas kasar tubuh Zia dalam sofa ruang tengah. Mereka sekarang sudah berada di rumah dengan keadaan masih sama. Aron yang emosi dan Zia yang masih meratapi kesedihannya.
"Gue udah pernah bilang ke lo Zia. Jangan kelewatan pacaran sama Gibran." tegas Aron dengan berdiri.
Zia mendongak menatapnya. "Kelewatan gimana? Kel,-
"GIBRAN BERANI PELUK LO DAN CIUM KENING LO!" potong Aron membentak.
"Gue gak suka lihat lo di sentuh dia. Apalagi sampai dia berani cium lo kayak tadi. Otak lo juga bisa buat mikir gak sih?" frustasi Aron memejamkan mata sesaat.
Zia memutus kontak mata. Menatap kedepan sedikit menunduk. Tidak ingin membuka mata. Hanya mulut yang tertutup rapat dengan air mata yang kembali menetes.
"Punya otak itu di pake. Lo udah jadi istri orang Zia. Udah jadi istri gue. Jaga harga diri lo baik baik. Mana ada seorang istri mesra mesraan sampai segitunya sama cowok lain zi? Mana ada?"
Aron maju. Mencekal kuat lengan Zia untuk membuat gadis itu bisa memandangnya. "Jawab gue. Jangan diem aja lo jadi istri."
Zia menepis pelan tangan Aron. Kini tubuhnya ikut ia berdirikan menatap Aron redup.
"Gue akui gue salah, tapi gak seharusnya juga lo ungkap semuanya tadi Ar." pelan Zia menyorot penuh luka.
"Gue ungkap semuanya juga karna gue marah Zia. Gue emosi. Dan gue benci siapapun yang berani sentuh lo kecuali gue." aku Aron yang membuat Zia bungkam.
"Lo itu milik gue. Nggak ada yang bisa sentuh lo selain gue. Gue gak suka miliki gue disentuh orang lain!" bentaknya sekali lagi.
"Dan mana tekad lo buat mutusin dia?!"
"ARGH!" Aron menarik rambutnya kasar.
"GUE BENCI LIHAT LO SAMA GIBRAN! PUAS?!"
Zia memejamkan mata. Air matanya semakin mengalir deras dengan perasaan semakin berkecamuk. Di tambah Aron yang tiba tiba memeluknya sekarang. Zia tidak bisa apa apa.
Aron menghembuskan nafas pelan.
"Jangan nangis, maaf gue kasar," pelan Aron memejamkan mata. Mengontrol emosinya.
Zia meremas kuat ujung baju Aron. Tangisannya semakin tak terhentikan kini. Sakit. Hatinya benar benar sakit. Entah, ia tidak tahu kenapa bisa sesakit ini sekarang.
"Gue marah sama lo ar," lirih Zia.
Zia kembali kelu. Bibirnya sulit untuk di gerakkan lagi.
"Maaf Zia. Gue udah bilang semuanya tanpa pikir panjang." ucap Aron setelah hening beberapa saat. Aron salah, ia menyadarinya. Ketidaksukaannya membuat semua runyam.
"Nggak tau kenapa, gue nggak suka lihat lo sama Gibran kayak tadi zi. Maaf udah ungkapin semuanya tanpa tunggu persetujuan dari lo." Jujur Aron begitu dalam. Tidak ada yang tahu juga perasaan apa yang sedang menyerangnya kini.
Semuanya kembali bungkam. Beberapa saat Aron melepas pelukannya merasa tubuh Zia sudah tidak bergetar karena tangisan.
Melihat wajah kecil itu dengan jelas kini. Yang kemudian mengusapnya pelan dengan kedua tangan.
"Kita bicara baik baik sama Gibran besok. Sekarang tidur ya?"
Zia mendongak, menatap Aron. Gadis itu hampa. Wajahnya kosong tanpa ekspresi.
"Gibran mau pergi ke Amerika lagi Ar," ucap Zia tiba tiba.
"Bukan gue yang ngajak ketemuan tadi, tapi dia. Dia mau pamitan sama gue dan karena itu juga gue gak bisa nahan diri di perlakukan kayak tadi." Aron terdiam, mendengarnya baik baik.
"Gue juga mau bilang semuanya ke dia. Gue mau ungkapin semuanya. Gue capek Aron di posisi kayak gini. Tapi saat ini, gue bener bener nggak bisa buat bilang itu semua. Gue hargai Gibran. Gue nggak mau buat hancur dia saat dia mau ngejalanin tugasnya di luar negeri." Zia memalingkan wajahnya beberapa saat. Matanya kembali terpejam dengan helaan nafas beberapa kali.
"Dan bukan karena itu aja gue belum siap bilang semua ke dia,"
"Niatan gue hari ini emang belum mau putusin hubungan sama Gibran. Karena apa?" Zia bertanya dan Aron tetap diam.
"Karena gue marah sama lo. Gue marah karena lo cegah gue buat balas Gisa pagi tadi. Dan lo, seolah belain dia."
"Gue gak suka, Aron." pelan Zia dalam.
Aron terdiam. Gemuruh kini hadir dalam dadanya. Zia salah paham dengan ini semua.
"Mungkin sama kayak lo nggak suka gue dan Gibran. Gue juga sama, gue nggak suka lihat lo seakan belain Gisa. Bahkan bales pun lo enggak. Dan karena itu pikiran gue gak bisa fokus. Mungkin karena gue marah sama lo akhirnya gue gak bisa kontrol diri."
"Maaf. Tapi makasih udah bilang semua ke Gibran. Seenggaknya lo bantu gue buat bilang ke dia tanpa ragu." Zia tersenyum kecil.
"Aron," Aron mendongak saat itu. Pandangan laki laki itu sejak tadi terus berpencar tanpa arah.
"Makasih udah bantu gue. Gue nggak marah lagi sama lo."
Ia pun kini memilih untuk melenggang dari hadapan Aron. Menaiki anak tangga dengan langkah pelannya dan Aron masih terpaku disana.
Otaknya berpikir keras.
Aron mendongak, melihat punggung Zia yang sudah menghilang. Satu tangannya mengusap wajah gusar dan membanting tubuh ke sofa.
"Bukannya gue bela Gisa, Zia."
"Maaf kalau cara gue buat lindungi lo salah," Aron menghela nafas.
"Maaf udah buat lo salah paham dan maaf kejadian di kafe." ucapnya lagi seperti menyesal. Bukannya memang menyesal? Mungkin.
"Maaf Zia, gue cuma mau lindungi apa yang udah jadi milik gue."
VOTE JANGAN LUPA.
SEE YOU.