• Sisi Rapuh
"ARON AWAS!"
Cekit
DUKH!
Kedua yang berada didalam mobil itu kini kepalanya sama sama terpental ke depan. Masih sadarkan diri dan Aron segera melihat kondisi Zia.
"Hei, Zia," panik Aron.
Segera laki laki itu menegakkan tubuh Zia kini. Ringisan tergambar jelas diwajah gadis itu. Tapi untungnya tidak apa apa. Hanya benjol di dahi dan sedikit merah.
"Sorry, gue ngelamun." aku Aron.
Sejak kejadian Zia menangis hingga pulang ke rumah seperti sekarang, pikirannya terus di hantui oleh ingatan ingatan dari Dista. Karena perasaannya yang ingin melindungi Zia itulah, semua ingatan tentang Dista terus berdatangan hingga membuatnya salah fokus dan hampir akan menabrak penyebrang jalan seperti sekarang.
"Sakit ya? Ke rumah sakit mau?" tawar Aron bersalah.
Zia menggeleng. "Pulang aja. Ini gapapa cuma shok aja tadi."
"Bener?" Zia mengangguk.
"Sorry tapii?"
"Makanya kalo nyetir itu fokus. Mikirin apa sih sampai gak fokus banget kayaknya?"
"Lo."
"Hah?"
Aron pun langsung melesatkan mobilnya lagi setelah melihat wajah heran dari Zia itu.
••••••
Sang senja telah menampakkan dirinya, warna biru cerah dengan hiasan awan putih tergantikan dengan warna jingga bercampur dengan merah muda. Menemani seorang lelaki yang berjongkok di makam berteman sepi.
Kepalanya yang tertunduk perlahan terangkat. Tangannya yang diam perlahan bergerak. Dan mulutnya yang membisu mulai berbicara.
"Assalamualaikum cantik,"
"Ini aku bawa bunga buat kamu." Aron tersenyum dan meletakkan bunga yang dibawanya diatas gundukan makam Dista.
Aron mengusap pelan nisan bertulisan nama kekasihnya dulu. Wajahnya meredup. Senyumannya hilang.
"Maaf nggak bisa sering sering dateng Dista. Kalau dateng kesini bawaannya nangis terus sih," Aron tertawa hambar dengan tundukan kepala kembali.
"Bahagia sayang disana?" Aron menatap gundukan itu.
Ia tersenyum kembali. Tidak henti hentinya tangan itu mengusap lembut nisan putih milik Dista. Sesekali mengusap tanah yang sudah mengering berhias bunga.
"Kamu tahu Zia nggak? Belum tahu ya pasti?" Aron tersenyum sebentar. "Zia istri aku ta. Aku udah nikah sekarang sama dia."
Mengangguk angguk dengan berkata. "Ceroboh aku ta udah buat kesalahan besar sama dia. Tapi aku tanggung jawab, aku nikahin dia sayang. Jangan marah ya?" Aron kembali tersenyum getir.
Aron kembali diam beberapa saat. Berusaha tersenyum dan tidak terlarut dalam kesedihan.
"Kamu tahu? setiap kali aku lihat istri aku, nggak tahu kenapa aku kayak lihat kamu di dirinya ta,"
"Dia cantik, matanya mirip banget sama kamu sayang. Cokelat terang. Sipit juga," Aron terkekeh pelan.
"Kamu dengerin aku? Kamu disini?"
"Rindu Dista..."pertahanan Aron runtuh sudah. Air matanya keluar dengan begitu pilu.
Mungkin semua orang tidak pernah tahu atau bahkan tidak pernah melihat Aron menangis. Aron paling anti dengan nama itu. Namun setiap kali Aron datang ke makam ini, sudah bisa dipastikan laki laki itu akan menangis. Sebisa apapun ia melawan perasaannya, akhirnya ia akan kalah juga. Aron selalu rapuh dan lemah dalam keadaan seperti ini.
"Kenapa tinggalin aku Dista?"
"Kisah kita baru sebentar. Aku baru ngerasain kebahagiaan yang nggak pernah aku temui sebelumnya sebelum kamu ada. Tapi kenapa kamu udah pergi?"
Aron menunduk. Satu tangannya meraup wajah, menyeka air matanya yang terus turun. Hatinya sesak, sakit, semua bercampur menjadi satu.
"Kamu masih inget ini?" Aron mengeluarkan kalung berliontin bunga edelweis dari sakunya. Menggantung didepan sana seperti menunjukkan pada Dista.
"Aku belum sempat pasangin kalung ini lagi di leher kamu Dista. Tapi kenapa udah pergi?"
Aron semakin kacau. Tangannya menggenggam kuat kalung itu.
"Aku belum sempat lihat kamu pakai ini lagi ta...."
Seperti merasakan kesedihan dari laki laki itu, kini langitpun meneteskan airnya. Hujan. Air mata Aron menyatu dengan air mata langit. Beradu dengan kepedihan yang semakin mendalam.
"Tapi kalau nanti kita udah nggak sama, kasih kalung itu ke istri kamu ya?"
"Aku mau cinta kamu ke dia sama kayak cinta kamu ke aku yang tergambar di kalung ini. Abadi. Jaga baik baik kalung ini buat pengganti aku Aron,"
Satu tetes air mata kembali jatuh saat mengingat itu. Dadanya semakin sesak rasanya. Sungguh, Aron sangat rapuh sekarang.
"Kamu mau aku kasih kalung ini ke Zia?" Aron mendongak dengan segala emosi yang ia kontrol sebisa mungkin.
"Apa Zia bisa gantiin kamu ta?"
"Dista, nggak bisa kembali ya? Sakit ta hati aku."
Aron kembali terdiam beberapa saat. Memutuskan meraup wajahnya gusar. Menghela nafas dan menghentikan semua kesedihannya. Ia tidak boleh seperti ini terus.
"Aku pulang dulu ta. Udah mau maghrib, hujan juga." Aron tersenyum.
"Bahagia disana terus sayang. I love you." diakhiri dengan kecupan manis di nisan Dista.
Aron bangkit dan langsung melenggang dengan membawa kalung yang masih ia genggam. Diiringi dengan hujan yang masih menyertainya.
••••••
"Shh,"
Zia mengibas ngibaskan tangan kecilnya saat tidak sengaja terkena tuangan air panas mie buatannya. Mengakhiri kegiatannya dan langsung menaruh panci kecil itu diatas kompor lagi.
"Kemarin kebakaran sekarang luka. Besok apalagi?" dumel Zia sambil membersihkan tangannya di wastafel.
Ceroboh. Zia memang ceroboh dan ia akui itu. Hal hal kecil saja bisa ia cerobohi, seperti sekarang ini. Zia pun kini mengakhiri membasuh tangannya dan segera menaruh dua mangkuk mie yang ia buat di meja makan sana.
Menaruh satu persatu mie di meja makan sana dan bergegas mengambil mie satunya lagi. Tapi belum sempat berbalik, ia sudah melihat kedatangan Aron yang tidak baik baik saja. Laki laki itu sangat basah sekarang.
"Main hujan hujanan lo?"
"Pala lo." timpal Aron jengah.
Zia mengerut. Aron juga berjalan kearahnya terus dengan menenteng satu kresek bewarna putih disana.
"Makan malem." ucapnya sambil menaruh kresek di meja.
"Yah, gue udah bikin mie buat kita padahal." pelan Zia menatap sendu mie nya.
Aron menyadari mie itu sekarang. Menatap Zia kembali dengan wajah gadis itu yang sepertinya sedikit kecewa.
"Ambilin handuk." titah Aron dan Zia mengangguk. Gadis itupun langsung melenggang dan Aron mulai melepas jaket basahnya itu.
Tidak lama, kini Zia sudah menuruni anak tangga dengan menenteng satu handuk dan satu kaos untuk Aron. Mendekati laki laki itu dan sedikit tercengang dengan kegiatan Aron sekarang.
"Kok makan mie?" tanya Zia aneh. Tapi nyatanya ia kaget saja melihat Aron yang sudah makan mie buatannya. Padahal Aron sudah membeli makan malam. Dan mungkin makanan yang di beli Aron lebih enak dibanding mie.
"Buat besok. Simpen di kulkas, besok di angetin." titah Aron tanpa menjawab pertanyaan dari Zia. Menyodorkan kresek itu padanya juga.
Seutas senyum tercetak di bibir tipis Zia. Aron itu diam diam pengertian. Tahu sekali kalau dirinya sudah hampir tidak mood jika mie buatannya tidak di makan.
"Kenapa masih diem? Cepet taruh kulkas." ucap Aron melihat Zia melamun.
Zia tersadar. Ia mengangguk dan langsung mengambil dan menaruhnya di kulkas sana. Sebelumnya ia juga sudah menaruh handuk di kursi samping Aron. Dan kini dirinya kembali dengan membawa satu mangkuk mie sisa tadi.
Duduk di depan Aron dan mulai memakan mienya. Meniup niupnya pelan dan memasukkan di mulut.
"Itu bajunya pake dulu." titah Zia melihat Aron yang sejak ia turun tadi masih bertelanjang dada. Sudah beberapa kali melihat Aron seperti ini, jadi Zia tidak terlalu ketar ketir lagi.
"Aron," panggil Zia membuat Aron berdehem panjang. Laki laki itupun juga langsung mengenakan kaos hitam yang Zia ambilkan tadi dan melanjutkan makan.
"Kenapa bisa basah kuyup kayak gitu?" tanya Zia basa basi.
"Gak bawa mobil."
"Emang tadi kemana?"
"Makam Dista." jujur Aron.
Zia mengangguk angguk paham. Ia pun kembali diam dan meneruskan mienya penuh nikmat.
Aron melirik Zia, menatap gadis itu yang sangat fokus ada mienya. Ia sudah selesai makan. Dan sekarang tertarik saja melihat Zia diam diam.
"Jidat gapapa?" tanya Aron melihat dahi mulus Zia masih merah.
Zia mendongak, ia mengangguk. "Gapapa." yang kemudian kembali menunduk fokus.
Aron kini bangkit dari duduknya. Berjalan kearah dapur dan mengambil sesuatu didalam sana. Kembali berjalan pada meja makan dan sekarang duduk disamping istrinya membuat Zia menoleh.
"Biar gak bekas biru." Aron mengompres dahi Zia dengan es batu yang sudah dilapisi kain.
Uhuk
"Ck, pelan pelan." decak Aron dan langsung menyodorkan air putih pada Zia yang tersedak itu.
Zia meneguknya perlahan. Meringis sedikit merasakan tidak enak pada tenggorokannya. Ia tersedak juga karena Aron. Kaget saja melihat laki laki itu seperhatian ini.
"Gue bisa sendiri." Zia berusaha mengambil kain itu saat Aron akan mendekatnya pada kepalanya. Tapi Aron tepis.
"Makan. Biar gue." ucap Aron.
"Gue udah selesai makan."
"Makan lagi. Habisin. Badan gak punya daging juga sok sok an makan sedikit."
Zia merotasi matanya jengah. Ia memang kurus tapi juga masih mempunyai daging.
"Cepet makan."
"Iyaa!"
"Bentak gue lo?" tajam Aron tanpa sengaja menekan kepala Zia membuat gadis itu meringis kecil.
Aron kaget. Segera ia menjauhkan tangannya dan melihat gadis itu penuh cemas.
"Kenapa? Sakit? Yang mana?"
Bodo sekali.
Zia berdiri, mengambil mangkuk mienya dan langsung melenggang dari ruang makan sana. Bersama Aron hanya akan mendatangkan musibah saja.
"ZIA MAU KEMANA?!"
"MINGGAT!"
VOTE JANGAN LUPA.
SEE YOU.