• Mereka Sama
Aron dan Zia sekarang sudah sama sama berada di rumah. Bahkan sekarang sudah malam. Tidak ada pembahasan lagi masalah pagi tadi. Tidak di besar besarkan juga.
Sekarang mereka sedang berkutat di dapur. Dengan Zia yang merecoki Aron. Bukan merecoki, ingin membantu. Naasnya di tinggal Aron sebentar ke kamar mandi, kini ia sudah menggosongkan ayam yang di goreng.
"Aaaa tambah gede," mata Zia membulat. Niatnya ingin mematikan kompor, tapi kini malah membuat api di kompor semakin besar. Panik. Jadi bingung dan serba salah.
Untungnya Zia pandai. Ia pun langsung memutar kearah berlawan dan mati. Tapi sayangnya lagi, wajannya sudah terbakar kini.
"AAAAAA GIMANA TOLONGGGG!"
"ARON KEBAKARAN!"
"HUA AYAH BUNDA TOLONGIN ZIA!" Ucap Zia sambil melambaikan tangan pada cctv.
Entahlah. Sepertinya gadis ini ketularan sifat Dea sekarang. Polosnya subhanallah. Padahal air kran juga bisa untuk memadamkan api itu.
"ZIA!" Kaget Aron saat melihat api yang mengobar di wajan. Ia langsung mengambil air di kran yang diwadahi baskom dan langsung mengguyurkan air itu pada wajan yang membuat api padam.
"Kenapa bisa kayak gini astaga Zia?!" geram Aron mencuat dan Zia menunduk.
"Ini gue tinggal 5 menit gak ada.
Udah buat rumah hampir kebakar aja."
Zia mendongak dengan cicit bersalah. "Maaf. Tadi gue terlalu fokus ngirisin wortel, jadi gak liat kalo ayamnya udah gosong. Terus mau gue matiin, gak taunya keputer yang makin gede apinya. Sayangnya pas udah gue puter balik, apinya udah nyala."
Zia kembali menunduk. "Maaf."
Aron kembali menatap gadis itu. "Terus kenapa gak langsung dimatiin apinya?"
"Panik Aron. Gak sempet mikir kesitu."
"Terus sempetnya mikir apa?" sedikit meninggi.
"Mikir teriak teriak minta tolong." aku Zia dengan bibir sedikit maju.
Zia mendekat pada Aron. Masih dengan wajah melasnya dan bibir semakin maju dan jatuh. "Maaf ya? Lain kali gak akan bantu lo masak lagi kok." ucapnya pelan.
Aron membuang pandangan. "Bibir juga gak usah di majuin segala."
"Kenapa? Namanya juga cemberut." Zia malah semakin memajukan bibirnya. Hingga matanya bisa melihat bibirnya yang maju itu.
Aron kembali menatap Zia saat mendengar cekikikan dari gadis itu. Lihatlah Zia sekarang. Gadis itu malah bermain dengan bibirnya. Memaju majukan dan menoel noel dengan tangannya.
Tanpa sadar, bibir Aron sedikit berkedut melihatnya. Menggemaskan.
Cup
Zia membelalak matanya hingga hampir lepas mungkin. Benda kenyal tiba tiba saja menyentuh bibirnya. Dan sialnya itu adalah bibir Aron. Segera Zia menjauh dari Aron.
"Modus!"
"Lo yang mancing." enteng Aron yang kembali berkutat pada bahan makanan didapur.
"Gue? Enak aja. Lo yang nyosor duluan kok."
"Lha terus kenapa bibirnya di maju majuin kayak tadi hm?" Aron melirik.
Zia mendengus. "Lucu aja."
Aron tersenyum. "Maka dari itu," Aron tidak meneruskan.
"Terus?" tanya Zia ingin Aron meneruskan.
"Maka dari itu," Aron kembali menatap Zia dengan kepala maju dan tangan bersedekap dada.
"CEPET MANDI! BAU KEBO LO!" Teriak Aron yang langsung mendapatkan tamparan pada wajah mulusnya.
••••••
Zia Dista
"Mereka sama."
Aron bergumam dengan wajah berseri. Menatap kedua foto itu secara bergantian di ponselnya.
Tidak tahu kenapa dirinya tadi tertarik membuka ponsel Zia. Tidak sengaja saat melihat ponsel Zia menyala dan melihat wallpaper foto Zia sendiri disana. Yang akhirnya menarik perhatiannya. Membuka galeri dan mengirim beberapa foto milik gadis itu pada ponselnya.
Bukan bermaksud membandingkan, tapi Aron rasa mereka berdua hampir memiliki wajah yang sama. Dari mata, hidung, bibir, dan paling mencolok adalah mata. Ya, mata mereka sangat mirip.
"Zia itu bulat, Dista itu oval." gumamnya.
"Zia itu tegas, Dista itu lembut." gumamnya kembali.
"Cantik semua, tapi lebih cantik istri aku ta. Kamu cantik, tapi lebih mengarah ke imut sama lembut." gumamnya sekali lagi.
"Kalo Zia emang bener bener cantik. Kenapa bisa cantik?" Aron terkekeh geli. Kini tangannya malah melihat lihat foto milik Zia.
"ARON HP GUE DI MEJA MAKAN GAK?!" Teriak Zia menuruni anak tangga.
Aron menoleh kebelakang dan langsung membalikkan ponselnya di meja makan. Menyimpannya rapat agar gadis itu tidak berniat mengambil atau bahkan lebih parahnya di hapus.
"Ada."
Zia berlari kecil. Benar. Disana ada ponselnya. Sudah pusing ia mencari ponsel dikamar tadi karena seingatnya ia taruh di kamar.
"Duduk, makan. Cepet. Mandi sejam sendiri." dumel Aron melihat Zia yang masih nganjir dengan ponselnya.
Zia pun kini juga duduk. Tepatnya di depan Aron sana. Langsung menyuapkan nasi goreng yang sudah di tata Aron di piring. Melirik Aron dan melihat kegiatan laki laki itu.
"Gak makan lo?"
"Habis."
Zia melihat piring lalu mengangguk angguk. Sebenarnya ingin mengomel. Harusnya kan suami menunggu istrinya dulu baru makan bersama. Lah ini? Ah sudahlah. Mereka memang bukan pasangan normal.
"Zia," Zia menoleh.
"Udah pernah liat wajahnya Dista?" tanya Aron membuat Zia menggeleng.
"Gak mau tau juga." lanjut Zia setelah gelengan. Ia kembali fokus pada makanannya.
Aron pindah di samping Zia kini. Membuat Zia menatap heran laki laki itu.
"Mirip?"
Zia langsung merubah rautnya menjadi datar. Memang datar sejak tadi, tapi ini lebih datar melihat fotonya bersanding dengan foto orang lain. Mungkin Dista. Siapa lagi kalau bukan gadis itu.
"Dapet dari mana foto gue?" tanya Zia tidak menjawab pertanyaan dari Aron.
"Hp lo."
"Lo sadap?"
Aron menggeleng. "Gak sengaja ngebuka aja tadi."
Zia mendengus dan kembali melanjutkan makannya.
"Gue tanya tadi belum dijawab." ucap Aron mengingatkan Zia.
Zia membanting sendoknya sedikit kasar. Menatap Aron kembali dengan wajah semakin malas.
"Gue udah pernah bilang sama lo kan? Gue gak suka di mirip miripin Aron. Dan menurut gue, Dista dan gue itu beda."
"Gue cuma mau buktiin omongan gue kemarin malem zi. Gue ngomong kalau gak ada fakta juga gak bakal ngomong mirip miripin lo sama Dista." balas Aron sedikit meluruskan.
"Tapi gue gak mirip sama Dista, Aron!"
Aron menghembuskan nafas pelan. "Iya, maaf.
"Udah, gak usah emosi. Gue yang salah." Aron menyandarkan kepala Zia pada dadanya. Menenangkan gadis itu yang sudah hampir emosi.
"Malesin lo."
"Iya."
Zia tidak berusaha melepas pelukan itu. Tidak tahu kenapa setiap ada seseorang yang memeluknya, dirinya tidak dapat menolak. Zia membutuhkannya. Kehangatan dari orang sekitarnya.
"Makan sekarang. Gue tunggu." ucap Aron setelah melepaskan pelukannya.
"Mau kemana di tunggu segala?"
"Kamar. Buat dedek bayi."
Bukh
Plak
Duar
••••••
Aron menghentikan mobilnya tepat di sebelum gerbang kompleks. Zia yang meminta berhenti.
"Gibran kenapa jemput lagi sih," dumel gadis itu bersusah payah mengambil alat alat kuliahnya di jok belakang.
"Kalo gak mau di jemput, bilang aja udah nikah. Susah banget." timpal Aron santai dengan jari yang bermain di stir.
"Emang susah banget. Lo aja gak miripin gue sama Dista kayaknya juga susah banget."
Aron bungkam.
"Nanti uang minta ke gue langsung. Gak sempet. Gue turun." pamit Zia yang ingin turun tapi ditahan oleh Aron. Refleks, ia pun menatap Aron kini.
"Ini?" sambil memaju majukan tangannya diwajah Zia.
Zia mengerutkan kening. "Maksud lo?"
Aron berdecak. "Salim."
"Dih?" Zia tertawa. Ia pun langsung mencium punggung tangan suaminya.
"Assalamualaikum!" pamitnya sekali lagi dan langsung turun dari mobil. Berlari lari kecil menghampiri mobil putih disana.
Aron tersenyum. "Waalaikumsalam."
Zia membuka pintu mobil Gibran. Menampilkan laki laki yang sekarang tersenyum manis kepadanya. Ia pun langsung duduk dengan barang bawaannya yang ditaruh di jok belakang.
"Kenapa gak bilang dulu kalau mau jemput Gibran?" ucap Zia sedikit merengut.
"Kamu juga kenapa tau kalau aku jemput?" Gibran malah menanyai balik.
"Yakan aku keluar kompleks."
Gibran tertawa pelan. Mengusap pelan rambut Zia penuh gemas saat melihat wajah cemberut kekasihnya seperti ini.
"Iya. Besok besok bilang dulu kalau mau jemput sayang," tuturnya kemudian.
Zia menghembuskan nafas pelan. Ia mengalihkan pandangan kedepan bawah. Semakin hari semakin tidak nyaman. Bukan karena cintanya luntur, tapi karena keadaan yang semakin tidak mendukung.
"Marah ya?" ucap Gibran kembali melihat Zia diam saja.
Zia menggeleng. "Lain kali harus janji bilang dulu kalau mau jemput."
Gibran mengangguk. Menggenggam tangan Zia dan mengusapnya pelan. "Janji."
Gibran tersenyum begitupun Zia.
"Kalau aku udah nggak sama kamu, tetap senyum kayak gini ya Gibran?"
VOTE JANGAN LUPA.
SEE YOU.