• Sayang
"Gandengan."
Zia menatap Aron aneh. Menyuruhnya untuk bergandengan dan sekarang malah laki laki itu sendiri yang menggandengnya.
"Kenapa lo?" tanya Zia menatap Aron aneh.
"Biar keliatan romantis." jawab Aron menatap lurus kedepan sana.
"Dih, gak biasanya juga."
"Pasti ada maunya. Lo mau uang saku nambah kan?"
"Ar,-
"Diem berisik bawel!" sentak Aron sedang.
Zia pun hanya bisa menurut. Keduanya pun kembali berjalan dengan tangan mereka yang saling tertaut dibawah.
"Gak pw." gumam Aron yang langsung memindah tangannya di pundak gadis itu. Merangkulnya sembari berjalan.
Zia mendongak lalu kembali menatap kedepan. Saat itu pandangannya langsung menatap sosok gadis yang sekarang berjalan kearahnya dan Aron. Gadis waktu itu yang bercekcok dengan Aron. Tidak lain itu Gisa.
"Pagi Aron," ucap Gisa penuh manis. Mengabaikan seorang yang didekap Aron disamping.
Aron tetap berjalan. Begitupun Zia hanya menurut saja. Dan Gisa jelas masih mengikuti disebelah Aron yang kosong.
"Lo gak mau tanggung jawab gitu habis tampar gue waktu itu?" tanya Gisa sedikit mendongak, melihat ekspresi Aron.
"Ngapain? Lo yang cari gara gara dulu." balas Aron tanpa melirik.
"Kok gue? Cewek di samping lo itu yang buat semua perkara." sarkas Gisa sambil melirik Zia.
Zia tidak menggubris. Buang buang waktu menanggapi gadis tidak jelas seperti itu. Aron pun. Sebenarnya ia sudah hampir terpancing, tapi karena cubitan di pinggangnya dari Zia membuatnya menahan diri.
Merasa di diami oleh keduanya, Gisa sedikit berdecak. Namun kembali tersenyum. Lebih baik mengganti topik saja.
"Ar," Aron menepis tangan Gisa yang akan memegang tangannya itu.
Gisa sabar. "Nanti malem nonton yuk? Apa gue ke rumah lo gimana? Oh iya, gue belum tau rumah baru lo sih. Tapi hal kecil bagi gue buat dapetin alamat rumah baru lo."
"Gimana? Gue bolehkan kerumah lo?" lanjut Gisa penuh percaya diri. Aron tetap diam tak menggubris.
"Ar,-
"Sayang," perkataan Gisa terpotong oleh Aron yang memanggil Zia dengan sebutan sayang. Sayang? Tenang. Hanya sandiwara semata.
Zia mendongak. Keduanya kini sama sama menghentikan langkah. "Nanti malem gimana kalau kita dinner?" tawar Aron penuh lembut.
Zia melirik Gisa. Masih disana. Kembali menatap Aron dengan senyum manis. "Boleh."
Aron mengangguk. "Masuk kelas gih." titah Aron yang karena mereka memang sudah berada di depan kelas Zia.
"Ada yang belum," cicit Zia meminta sesuatu. Untuk sesaat, Aron terdiam bingung.
Zia menghela nafas jengah saat melihat Aron yang tidak paham. "Cium sayang."
Kaget? Oh jelas. Tapi Aron langsung merubah rautnya menjadi tersenyum. Ia mengacak acak rambut Zia lalu mengecup pelan kening gadis itu. Diakhiri dengan lemparan senyum manis dari keduanya.
Gisa tidak tahan. Ia memilih pergi dari sana dengan kaki mencak mencak tidak jelas.
Melihat Gisa yang pergi, kedua insan yang tersisa itu langsung menjauhkan tubuh masing masing. Saling berdehem ringan dengan wajah datar.
"Gue cuma mau bantu lo." ucap Zia yang kemudian langsung melenggang masuk kedalam kelas.
Aron menatap punggung gadis itu hingga lenyap. Tersenyum diakhir. "Ada manfaatnya juga lo jadi istri gue." gumamnya yang merasa terbantu karena Zia.
Mungkin jika Zia tidak memancingnya untuk membuat keromantisan, hingga sekarang Gisa masih tetap bersamanya dan merecokinya terus menerus. Aron pun melenggang pergi kemudian.
••••••
Baru datang ke kelasnya, kini Aron sudah mendapatkan bungkusan besar di bangku. Aron duduk dan langsung membuka kotak seukuran kertas hvs itu.
"Buku apaan tuh?" celetuk Nando saat melihat isi dari kotak tersebut.
Aron mengambilnya. Ternyata buku kampus.
"Jam tangan coh!" pekik Ray dan Nando saat melihat masih ada isi lain dalam kotak tersebut.
"Anjir jam tangan yang baru di rilis itu gila!" lanjut Ray terkagum sendiri.
"Fix dari Gisa." Ray menebak dengan yakin.
"Yakin amat lo?" timpal Nando.
"Siapa lagi cewek sekampus ini yang naksir Aron tapi tajir melintir kalo bukan Gisa." balas Ray yang membuat Nando mengangguk angguk. Benar juga.
Aron melihat secarik surat disana. Tidak ia baca secara dekatpun sudah tahu itu dari Gisa. Terlalu hafal dengan tulisan gadis itu yang setiap hari memberikan ia barang.
Aron tidak tertarik. Ia menutup kotak itu kembali. Menunduk sedikit dan mengeluarkan seluruh barang yang ada pada bangkunya. Mulai dari cokelat, bekal, bunga, surat, dan banyak jenis lainnya ia keluarkan semua. Kedua sahabat Aron tidak ada yang kaget akan hal itu. Setiap hari Aron memang di banjiri dengan barang barang dari para penggemarnya.
Terkumpul semua dan sedikit menyodorkan kedepan. "Buang atau gak bagi ke anak anak yang mau."
Ray dan Nando segera berkeroyokan. Bukan berkeroyokan cokelat lagi, tapi berkeroyokan kotak putih berisi jam tangan tadi.
"Ngalah kenapa sih? Udah tua juga gak mau ngalahan." sinis Nando pada Ray.
"Tua mata lo. Lahir selisih jam aja dibilang tua."
Keduanya kembali berebut. Tidak ada yang mau mengalah satu sama lain. Benar benar seperti bocah dua orang ini.
"Kemarin yang dapet cokelat elo. Sekarang gantian gue dong yang dapet." Ray memaksa ingin memiliki.
"Gak bisa. Masalahnya ini jam tangan mahal. Di jual lagi bisa dapet 20 juta gue."
"Lo ambil yang lain aja sana." lanjut Nando juga kekeh ingin memiliki.
"Gak bisa!"
"Ray kampret lo!"
Semakin ribu dan membuat Aron geram sendiri dengan tingkah kebocahan dua sahabatnya itu. Ingin menghentikan sepertinya juga percuma. Lihatlah mereka yang saling memeluk dan berdempetan. Bisa bisa Aron malah terkena tonjok.
"Lo berdua bisa tenang gak sih?!" sentak Aron sudah kesal di ubun ubun.
"Gak bisa Aron!" kompaknya yang membuat Aron semakin suntuk.
"Lama lama gue ambil dan buang kalo ribut terus kayak gini."
"Eh eh jangan dong!" kompak Ray dan Nando kembali.
"Uang 20 juta itu gak boleh di sia siain. Harus dipake kalo gak di jual lagi." lanjut Nando.
"Duit teros yang lo pikir!" Ray menjitak kepala Nando.
"Bodoamat!"
Dan kembali. Mereka berebut lagi.
••••••
Kelas Zia kini sudah selesai kelas pertama. Keadaan kelas masih cukup ramai. Ada yang memilih menetap, ada juga yang memilih untuk keluar berisitirahat terlebih dahulu. Tapi sepertinya Zia dan kawan kawan kini memilih tetap di kelas.
"Bagi dong," tanpa menunggu perizinan dari sang pemilik, kini Sasa sudah mengambil lebih dulu permen permen yang di keluarkan oleh Dea.
"Jangan itu ih Sasa!" Dea merebutnya kembali. Padahal permen itu sudah hampir masuk kedalam mulut Sasa.
"Sasa yang ijo aja. Yang pink punya aku!" lanjutnya yang kemudian langsung mengemut permen lollipop tersebut.
Sasa hanya menurut saja. Mengambil permen bewarna hijau. Dan sekarang Dea memberikan satu batang permen bewarna putih kepada Zia.
"Ini buat Zia!" serunya dengan senyum manis.
Zia mengambil. "Sama sama."
"Makasih Zia!" tajam Dea memelotot imut.
Zia tertawa pelan. "Iya bocil makasih."
"Sama sama!"
Zia tidak memakannya. Tetap di taruh didalam bangku dengan tangan yang sudah sibuk membuka ponselnya kini. Matanya kini tidak sadar mengarah pada pengingat hari besok di ponsel.
"Besok ultah Gibran," gumamnya sedikit lupa akan itu.
Sasa dan Dea yang tadi asik bertarung permen satu sama lain itu langsung menoleh kini.
"Kenapa emang?" tanya Sasa enteng.
"Gue belum beli apa apa." jawab Zia sedikit sesal.
"Yaudah beli sama aku aja nanti habis kuliah," Dea menimpali.
"Mau?" tanya Zia tak yakin. Pasalnya Dea ini paling sulit untuk di ajak keluar. Strict parents.
"Mau dong. Mimi pipi aku gak di rumah hari ini. Jadi bisa pulang sorean." lanjut Dea ceria.
Zia mengangguk mengiyakan. Sedangkan Sasa tampak berpikir sekarang.
"Lo gak ada niatan buat akhirin hubungan lo sama Gibran zi?" tanya Sasa serius.
Zia menoleh, menghela nafas dan terdiam sebentar. "Ada. Tapi belum tau kapan."
"Lebih cepat lebih baik Zia. Kalo lo makin ngundur ini semua, Gibran akan jauh lebih tersiksa." balas Sasa.
"Bayangin. Setiap hari hubungan lo sama Gibran makin deket. Gibran juga gak pernah curiga, baik baik aja. Dan itu pasti buat Gibran tambah berharap kalau suatu saat dia bisa miliki lo." lanjutnya serius. Menghela nafas dengan tatapan sama sama meredup.
Zia hanya bisa diam kini. Inginnya juga seperti itu. Segera mengakhiri drama ini semua. Tapi hatinya benar benar belum siap. Apalagi melihat kondisi sekarang. Aron dan dirinya belum ada yang bisa lepas dari masa lalu. Masih sama sama disibukkan dengan hati yang berlabuh pada seseorang dan belum ada yang mau berjuang untuk menumbuhkan cinta di pernikahan mereka.
"Gue ke toilet sebentar." izin Zia yang langsung melenggang pergi.
Sasa dan Dea bersamaan menghela nafas pelan. Tahu betul sahabatnya sedang di lema keadaan.
"Sasa lain kali kalo nasehatin Zia pelan pelan aja ya? Kasihan Zia." ucap Dea pelan dan Sasa mengangguk mengerti.
VOTE JANGAN LUPA.
SEE YOU.