• Ricuh
Di tinggalkan oleh seorang yang sangat berarti di hidup kita, itu bukanlah hal mudah untuk menerimanya. Apalagi menghapus semua memori tentang seorang itu.
Senyumnya, tawanya, celotehannya, omelannya, riangnya, kehangatannya, kelembutannya, apapun itu. Semua tentang Dista membuat Aron masih terpuruk dan belum bisa menerima takdirnya. Dista itu baginya adalah mutiara. Pelanginya yang membuat hidupnya semakin bewarna indah.
Dan pelanginya sekarang pergi. Tidak ada tawa renyah darinya, tidak ada senyum manis darinya, dan tidak ada usapan lembut darinya. Aron merindukannya. Jika waktu bisa di putar, mungkin sebelum gadisnya benar benar pergi, ia akan menikahinya. Bersamanya dengan ikatan yang sakral dan memilikinya seutuhnya.
Namun sayangnya tuhan lebih baik kepada Dista. Tuhan mengangkat semua sakit yang di derita gadisnya. Tapi tuhan juga jahat kepadanya. Tuhan mengambil seorang yang sangat ia cintai dalam hidupnya. Dista Aurora. Gadis cantik yang dulu menjalin hubungan dengannya sejak masa SMA.
Aron mengepulkan asap rokoknya di ketinggian rooftop sana. Bukan hobi, hanya penghilang stres. Memejamkan mata dengan kepala tertunduk dalam.
"ARGHHHH!"
Erangan keras keluar dari mulutnya. Menjambak kasar rambutnya yang membuat perasaan acaknya sedikit mereda. Mematikan rokoknya dengan menginjak kasar di bawah sana. Aron segera turun dari rooftop. Mencari seseorang yang sedikit menganggu pikirannya.
Di sisi lain, kini Zia dengan kedua temannya itu baru saja selesai kelas. Berjalan beriringan dan kini duduk di salah satu tangga tingkat lapangan dekat pohon besar.
"Huh capek banget astaga," seru Sasa sambil mengibas ngibaskan buku pada wajahnya.
"Kalo gak capek gak kuliah." timpal Zia membuat Sasa merengut.
"Eh eh kalian," Zia dan Sasa langsung menatap Dea yang berseru itu.
"Dosen baru kita udah nikah ya ternyata?" tanyanya pada keduanya itu.
Zia dan Sasa saling melirik satu sama lain. Kembali menatap Dea dengan wajah bertanya tanya. "Emang kenapa?" tanya Zia kemudian.
"HUAAA DEA KAN MAU GEBET TUH DOSENN!"
Hening....
Dan kemudian tawa renyah dari Zia dan Sasa terdengaran begitu nyaring.
"Anak tk udah ngerti cari jodoh nih?" celetuk Sasa diiringi tawa.
"Sejak kapan lo bisa mikir gebet orang de?" sambung Zia.
Perlu kalian tahu. Disini Dea itu paling polos. Sejak dulu hanya gadis itu yang anti pacar pacaran. Bahkan sangat bersih dari hal hal percintaan. Maka dari itu, Zia dan Sasa kaget saat melihat penuturan dari Dea barusan.
"Itu, kemarin tetangga aku nikah. Dapet sugar daddy masak!" timpal Dea heboh sendiri. Hal itu membuat tawa Zia dan Sasa semakin tak terhentikan.
"Terus ya, aku liat liat dosen baru kita ganteng banget astaga. 11 14 sama Zayn Malik AKKKK!" Hebohnya kembali.
"Berjenggot jenggot gitu. Mana suaranya ngebas banget. Astagfirullah tuhan, Dea mleyot."
"Udah kampret diem. Gue ngakak terus ini," seru Sasa ingin meredakan tawanya.
"Taunya udah punya istri. Kit heart Dea!" lanjutnya yang membuat Sasa semakin tidak bisa menghentikan tawanya. Sasa itu paling receh. Dan Zia hanya tertawa seadanya saja. Juga masih takjub dengan Dea yang ajaib ini.
Tawa Zia tercekat saat merasakan dagunya di tarik oleh seseorang. Refleks ia mendongak dan melihat sosok Aron disana. Zia menepis tangan Aron langsung.
"Apa?" tanya Zia langsung.
"Ikut."
"Gak. Gu,-
Zia menghembuskan nafas kasar saat tubuhnya sudah di tarik oleh Aron seperti ini. Tidak bisa memberontak juga. Perjanjiannya mereka harus terlihat baik baik saja didepan semua.
"Ah anjir yang ditarik dagunya Zia yang baper guehhh!" pekik Sasa iri.
"Haha siapa suruh jomblo?"
Sasa memelotot kaget mendengar pernyataan dari Dea itu. "Berani ngatain gue lo?"
"Iya. Dea udah gede sekarang. Wlek!" Dea pun langsung melesat pergi begitu saja.
••••••
Zia menatap aneh Aron. Melihat gelagat yang tidak biasanya dari laki laki itu. Bukan tidak biasanya, lebih tepatnya ia baru tahu kalau Aron juga memiliki sisi tanggung jawab setelah menamparnya tadi.
Kini laki laki itu dengan telaten mengobati luka sobek di ujung bibirnya. Bukan di uks, mereka sekarang berada di dalam mobil. Zia yang di perlakukan begitupun juga hanya bisa diam saja. Tadi sempat menolak karena tidak apa apa, tapi Aron memaksa.
"Kekencengan?" tanya Aron saat melihat Zia sedikit meringis. Zia mengangguk pelan.
Aron pun memelankan gerakan tangannya yang sedang memberi obat merah dengan kapas itu.
Aron seperti ini juga bukan karena dirinya sendiri. Teman temannya yang membuat ia tersadar akan keadaan Zia. Apalagi dengan iming imingan uang saku yang akan dipotong oleh ayahnya jika Zia mengadu nanti.
"Dia udah salahin Dista karena kesalahan gue."
Ray dan Nando langsung merubah rautnya menjadi serius.
"Salahin gimana?" tanya Nando mencermati.
"Dia bilang kalo Dista penyebab kegilaan gue malem itu."
"Tapi bukannya emang bener gitu?" Ray menggantung perkataannya membuat keduanya menoleh pada dirinya sekarang. "Lo yang terlalu mikirin Dista sampai sampai lo ngira Zia Dista malem itu." lanjutnya tegas dengan sorot tajam.
Bukannya marah, kini Aron kembali membuang pandangan ke depan. Dan saat itu Ray tersenyum kecut menanggapinya.
"Udah lo apain Zia?" tanya Ray langsung. Mereka sudah hafal dengan sikap Aron. Siapapun itu yang menurutnya menyinggung Dista, Aron pasti akan bermain kasar.
"Lo apain Zia?!" bentak Ray membuat Nando menahannya.
"Udah tenang. Kita bisa selesain baik baik." Nando menengahkan.
Nando kini mengarahkan pandangannya ke Aron. "Lo kasarin Zia?" tanya Nando.
Aron diam dan semua menyimpulkan iya.
Dulu, Aron pernah mendapatkan kasus penganiayaan terhadap seorang gadis yang dengan sengaja membuat Dista celaka. Banyak juga yang menghate Dista karena berpacaran dengan Aron. Gadis lugu, dari kalangan cukup, dan masuk di kampus ini karena beasiswa. Banyak yang tidak suka dengan Dista. Dan karena itu semua Ray dan Nando dapat menyimpulkan Aron bermain kasar pada Zia.
"Minta maaf. Sebelum uang jajan lo di potong sama jenderal besar."
"Udah," Zia menurunkan tangan Aron dari bibirnya.
Aron pun juga tidak menolak. Ia membereskan sedikit kotak p3knya dan kembali menyimpan di dashboard mobil.
"Gue kayak gini cuma karna gak mau lo sampai ngadu ke ayah macem macem." ucap Aron sambil memasang seatbelt.
Zia menyungging senyum tipis. "Gue gak se manja itu apa apa main adu. Apalagi gue tau beban hidup gue sekarang di tampung sama keluarga lo."
Aron melirik lalu mengangguk. "Bagus kalo lo sadar itu." ucapnya sedikit remeh.
Zia mengangguk. Gadis itu membereskan tote bag nya. Merapikan sedikit rok yang ia pakai dan kini membuka pintu mobil. Aron yang melihat itu sedikit mengerutkan dahi.
"Mau kemana lo?"
"Pulang sendiri. Gak mau tambah beban lo kalo gue ikut pulang bareng." Zia pun langsung turun setelahnya.
Aron hanya melihat tidak berniat untuk menghentikan juga. Terserah mau apa gadis itu. Ia tidak peduli. Terpenting sekarang Aron sudah tahu kalau Zia tidak akan berbicara aneh aneh pada sang ayah. Aron pun langsung melesatkan mobilnya.
Zia pun kini juga langsung berjalan keluar dari parkiran kampus. Mungkin ia akan mencari taksi atau angkutan umum.
••••••
Sudah bisa dipastikan, Zia pulang lebih telat dibanding Aron. Bahkan gadis itu baru pulang maghrib. Sedikit mengerutkan kening saat melihat mobil pajero putih yang terparkir di pekarangan rumah. Zia pun kembali melangkah maju tanpa pikir lagi.
"Siapa yang mengajarkan kamu kasar dengan wanita Aron?!"
"Jangan nunduk terus kamu. Tatap ayah!"
Aron menatap Adi, ayahnya dengan malas. Tidak berniat menjawab dan sekarang malah membuang pandangan.
"ARONALD DAMARION!"
"Assalamualaikum," atensi semua kini beralih pada gadis yang baru saja masuk kedalam rumah.
Arina, ibunda Aron kini langsung menghampiri Zia. Zia semakin bingung saat melihat wajah Arina yang seperti cemas. Apalagi mendengar suara teriakan dari Adi. Dan wajah Aron terlihat malas. Ada apa ini?
"Sayang kamu gapapa? Pipi kamu gimana? Sakit ya? Kita ke rumah sakit aja ya sekarang?"
Zia menatap semuanya bingung. Sedetik kemudian ia menyadari sesuatu. Orang tua Aron sudah tahu tentang kejadian tadi pagi?
"Zia?" panggil Arina lembut sambil mengusap lengan Zia. Zia tersadar akan pemikirannya.
"Aku gapapa nda."
"Ini sampai ya Allah, Aron!" geram Arina pada anaknya sendiri saat melihat ujung bibir Zia.
Arina menuntun Zia untuk ikut duduk bersama Aron dan Adi disana. Adi yang tadinya berdiri kini sudah duduk. Mengontrol emosinya. Dan kedua wanita itu juga sudah duduk sekarang.
"Jelasin ke ayah sekarang, kenapa kamu tampar Zia." tegas Adi pada sang putra.
Aron dan Zia saling bertatapan beberapa detik hingga Aron lah yang memutus kontak matanya lebih dulu. Saat itu Zia semakin yakin kalau kedua orang tua Aron sudah tahu semua. Padahal baru tadi, ia dan Aron membahas itu agar tidak sampai pada dua orang paruh baya ini. Tapi sekarang ternyata mereka sudah mengetahuinya.
Kembali pada Aron yang ditanya oleh Adi, kini Aron masih diam saja. Sialnya kenapa ia tidak tahu kalau ternyata di rumah ini ada cctv? Karena cctv itulah orang tuanya tahu perbuatannya pagi tadi pada Zia. Sekarangpun, ia harus lebih waspada.
"Jawab." ulang Adi melihat Aron yang masih diam. Aron diam karena berpikir. Tidak mungkin juga ia akan mengaku karena Dista.
Zia mengangkat alisnya saat ditatap Aron sekarang. Seperti memberi kode. Tahu maksud kode itu, Zia pun kini memutus kontak matanya pada Aron.
"Tadi aku sama Aron cuma ribut kecil yah. Aku juga gapapa sekarang." ucap Zia pada Adi.
Adi menoleh. "Tidak apa apa kamu bilang? Jangan membela suami kamu kalau dia salah. Ayah paling tidak suka melihat orang bejat dibela seperti ini."
Keadaan semakin memanas. Zia sudah blank tidak bisa berkata apa apa jika Adi benar benar sudah menengas.
"Kamu yang minta ayah untuk segera menikahkan kamu dengan Zia. Tapi sekarang apa? Ada masalah sedikit kamu langsung main tangan. Apa pernah ayah ajari kamu seperti itu Aron?" kini Adi kembali fokus pada anaknya.
"Benar benar memalukan. Sudah berbuat hal di luar batasan sebelum menikah. Setelah menikah pun berbuat hal di luar batasan juga." Adi membuang pandangan kesamping. Rasanya benar benar tidak becus mendidik anaknya.
VOTE JANGAN LUPA.
SEE YOU.