Sepanjang perjalanan kembali ke Kedai Horsling William dan Muriel tak berkata-kata. William enggan menjelaskan apa yang baru saja ia alami, dan Muriel pun tampaknya juga tak berani bertanya-tanya.
Bagi keduanya, kejadian di tepi sungai itu adalah pengalaman mengerikan. Ada darah, dan kematian, dalam kadar yang sebelumnya tak pernah mereka bayangkan.
Berbagai macam emosi bercampur aduk dalam benak William. Ia kesal dan mulai marah, kenapa mau saja menerima belati dari Tuan Horsling, kemudian mengubah jalan hidupnya menjadi seperti ini. Ia sudah memiliki kehidupan yang menyenangkan di desa, kenapa sekarang ia harus merusaknya?
Tuan Horsling bilang, setelah mengalami ini William bisa mengenali siapa dirinya sebenarnya. Namun, apa yang bisa ia pelajari sekarang, selain mengetahui bahwa ia ternyata bisa membunuh dengan kejam?
Tuan Horsling juga berbicara soal jalan hidup. Apakah dengan kejadian ini berarti jalan hidup William adalah menjadi seorang pembunuh?
"Tunggu di sini," kata William pada Muriel begitu tiba di kedai, "dan—"
"... bersembunyilah di tempat yang aman." Kegelisahan masih tampak di wajah gadis itu, tetapi kata-katanya terdengar cukup tenang. "Kakak tidak perlu khawatir padaku."
William menggeleng. "Khawatir membuat kita waspada. Aku baru saja belajar itu."
Ia memaksa dirinya tersenyum, kemudian masuk ke dalam kedai.
Ia memandang berkeliling. Hanya tersisa empat pengunjung lainnya saat ini, yang berkumpul di satu meja sedang berjudi sambil mabuk. Tampaknya orang-orang itu juga sudah sampai di batas terakhir kekuatan mereka, dan mungkin akan berhenti dan keluar sebentar lagi.
William menatap Tuan Horsling yang berdiri di belakang meja bar.
Tatapan laki-laki itu sulit ditebak. Apa yang sedang dipikirkan olehnya? Apakah dia tahu yang baru saja terjadi pada William?
Ia pun berjalan maju dan duduk di depan meja bar.
Tanpa diminta Tuan Horsling menyodorkan secangkir arak.
"Minumlah. Kau membutuhkan ini."
William menatap si pemilik kedai lekat-lekat, belum mau menerima tawaran itu. "Kau tahu apa yang terjadi?"
"Malam yang berat, kurasa."
"'Kurasa'? Tidak. Kau tidak hanya merasa, kau memang tahu apa yang terjadi," kata William tajam.
Ia mengeluarkan belatinya dan meletakkannya di meja. Masih ada darah menempel di bilahnya, dan ia belum mau repot-repot membersihkannya.
"Kau tahu apa yang akan terjadi, Tuan. Itulah kenapa kau meminjamkannya padaku."
"Kau menuduhku?" tanya Tuan Horsling tenang. "Menurutmu, aku yang merencanakan semuanya? Menjebakmu di sana, begitu?"
William belum melepaskan tangannya dari belati. Ia tak mau lengah, jika seandainya tiba-tiba Tuan Horsling hendak mengambil kembali belati itu lalu menggunakannya untuk menyerang William.
Ia balik bertanya, sedikit gugup, "Apa aku salah?"
"Ya, kau salah. Aku benar-benar tidak tahu. Aku hanya merasa."
"Merasa?"
Melihat William belum mengerti maksudnya, laki-laki pemilik bar itu melanjutkan, "Begini, Nak. Khusus untukmu, akan kuceritakan sedikit tentang diriku. Aku sudah pernah mengalami banyak kejadian mengerikan di masaku, jauh lebih banyak daripada yang mungkin baru saja kau alami. Orang seperti aku tak akan bisa hidup lama di tempat semacam ini jika tidak mempunyai kemampuan merasa. Aku tidak sekuat yang kaubayangkan, tapi aku punya kelebihan kecil yang tidak dimengerti orang lain, dan itu sangat penting."
Ia mendekatkan tubuhnya ke arah William, kemudian berbicara lebih pelan, "Kau mengerti maksudku? Aku bisa merasa, menilai, setiap orang yang masuk ke dalam kedaiku, dan memperkirakan apa yang akan mereka lakukan kemudian. Kau lihat empat orang yang sedang berjudi itu? Mereka tampak kasar dan berbahaya. Tetapi mereka tak punya niat jahat. Kebanyakan pengunjungku seperti mereka. Ya, mungkin karena sejak awal mereka memang segan padaku."
Ia terkekeh begitu melihat William masih tegang. "Ayo, minumlah dulu. Lepaskan keteganganmu. Memangnya kau benar-benar tidak haus?"
William tercenung. Kata-kata Tuan Horsling justru membuatnya semakin penasaran. Ia tahu ia harus segera pergi. Muriel menunggunya, demikian pula Rogas, tapi ia ingin tahu apa sebenarnya yang ingin disampaikan Tuan Horsling.
Ia meneguk arak yang disodorkan si pemilik kedai.
"Terima kasih," katanya.
"Nah, begitu lebih bagus. Sampai di mana tadi?"
"Sampai ... tentang para pengunjung ..."
"Begitulah, mereka ini tidak berbahaya. Licik, tapi tidak berbahaya. Tapi," senyuman Tuan Horsling menghilang, "perasaan berbeda muncul ketika aku melihat kedua temanmu tadi saling berbicara." Ia menoleh ke arah meja dan kursi kosong yang sebelumnya digunakan Rogas dan Mornitz. "Mereka berbahaya."
"Mereka?"
"Si prajurit dan si jubah hitam. Mereka berdua temanmu, bukan?"
"Cuma satu yang temanku. Satunya lagi bukan. Maksudku tadi, mereka, dua-duanya, berbahaya? Bukan hanya salah satunya?"
"Dua-duanya." Mata si pemilik kedai berkilat, seperti senang berhasil membuat William kaget. "Aku tak tahu apa yang mereka rencanakan, tapi niat buruk di kepala mereka terasa jelas olehku. Jadi saat mereka pergi, aku perkirakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Akan ada yang mati, kurasa."
"Berarti kau memang tahu akan terjadi sesuatu!" seru William kesal. "Dan kau membiarkannya!"
"Memangnya aku harus melakukan apa? Jika keduanya sama-sama orang jahat dan ingin saling membunuh, memangnya aku harus ikut campur?"
"Bagaimana jika perkiraanmu salah? Bagaimana jika hanya satu yang benar-benar jahat? Kau akan membiarkan orang yang tidak jahat mati?"
"Perkiraanku jarang salah." Si pemilik kedai tampak sedikit menyombong. "Lagi pula, aku bukannya tidak berbuat apa-apa. Karena, bukankah kemudian kau datang lagi?"
Dahi William berkerut. "Apa maksudmu?"
"Kau datang padaku, lalu bilang kalau hendak mencari mereka. Aku pikir, ya sudah, biar ini jadi urusanmu saja. Biar kau yang membereskannya." Tuan Horsling terkekeh.
"Membereskannya? Kau hampir membuatku terbunuh!" seru William marah.
Sesaat kemudian napasnya tertahan, begitu menyadari ucapan kerasnya membuat para penjudi menengok. Untungnya para pemabuk itu tidak peduli dan kembali melanjutkan permainan.
"Tapi ternyata tidak. Betul?" Tuan Horsling menyeringai. "Malah kau yang membunuh mereka, atau salah satu dari mereka. Sekali lagi perkiraanku tidak salah."
"Aku tidak membunuh mereka. Dua-duanya masih hidup."
Tuan Horsling manggut-manggut. "Tapi ... kau memang sudah membunuh orang, kan? Ada darah di belati ini."
William gundah. Ia teringat saat ketika menghunjamkan belati ke musuh-musuhnya di tepi sungai. Satu demi satu. Darah yang menyembur dan melekat di tangannya. Rintihan dan wajah kesakitan orang-orang itu.
Matanya menatap Tuan Horsling tajam.
"Kau membuatku melakukannya," bisiknya geram.
"Tidak usah kesal. Aku percaya kau bisa melewati saat-saat seperti ini," jawab Tuan Horsling dengan gaya tenang yang menyebalkan, "dan kemudian belajar sesuatu."
"Aku tidak merasa belajar sesuatu yang baik dari semua ini!"
"Cukup dengan tidur nyenyak malam ini, dan kau akan mengerti besok."
"Tidak. Aku tak mau mendengar omong kosongmu lagi!" William berdiri. "Belatimu kukembalikan. Itu telah menolongku, dan aku berterima kasih. Tetapi apa pun alasanmu tadi, kau telah membuat hidupku berubah, dan aku tidak yakin itu menjadi lebih baik. Seharusnya aku tidak mengikuti saranmu."
Tuan Horsling tersenyum. "Sebenarnya aku bisa memberimu lebih banyak saran. Tapi, melihat keadaanmu, mungkin sebaiknya tidak. Biar nanti kau sendiri yang membuktikan apakah ucapanmu tadi itu benar atau salah. Tetapi ... aku ingin mengatakan satu hal lagi, jika kau tidak keberatan."
"Katakan."
"Aku bisa merasakanmu."