38. Tombol panik

169 35 7
                                    

"Tru, bertahanlah! Pasukan gabungan sedang menuju ke sini." Yin tidak berhenti menghangatkan tubuh dinginnya. Ia bahkan menarik taplak besar yang terkubur di antara pecahan kaca dan patahan kayu untuk menyelimutinya.

Sementara itu, Tru hanya bisa mengangguk. Beberapa kali ia menutup mata, tetapi Yin sama sekali tidak mengizinkan. Berkali-kali ia menggoyang tubuh lemahnya, seakan takut kalau perempuan yang berada di pelukannya akan menutup mata untuk selamanya.

Suara senjata kembali terdengar dari kejauhan. Kepanikan Yin tergambar jelas di wajahnya. Pandangannya beralih dari pintu besar di depannya lalu ke wajah pucat Tru.

Apa yang harus aku lakukan? Kalau aku diam dan mereka mencapai tempat ini, maka nyawa Tru akan kembali terancam. Karena aku belum tentu bisa menjaga dan membawa tubuhnya ke mana-mana kalau hal itu terjadi.

Tapi apa aku sanggup melawan mereka semua sendirian? Aku bahkan tidak tahu berapa orang dari mereka yang tersisa.

Bagaimana ini?

"Yin, lari!" pintanya lemah. "Selamatkan dirimu!"

"Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu!" Yin mengigit bibirnya. Dia jelas sedang bertarung melawan pikirannya sendiri.

Namun, melihat wajah pucat dan napas temannya yang semakin tidak teratur membuat Yin mengambil keputusan final.

"Kamu tunggu di sini. Aku akan ke depan untuk mengadang mereka. Bertahanlah! Sebentar lagi bantuan pasti akan datang." Yin meletakkan tubuh temannya perlahan ke lantai. Kemudian ia mengambil senjata dan peluru cadangan yang mencuat dari balik jas El.

Mendengar Yin menutup pintu dan mengisolasinya. Tru hanya bisa terbaring menatap langit-langit. Ruangan yang tadinya riuh dengan suara desing peluru dan letupan senjata kini sunyi, di mana hanya ada mayat tergeletak di lantai dan sepertinya tak lama lagi ia akan menjadi bagian dari mereka.

Merasakan bulu halus karpet mengelus kulitnya dan kehangatan kain berbahan beludru tebal yang membuainya, ia benar-benar siap untuk terlelap dan mengistirahatkan tubuh lelahnya. Namun, pikirannya memutuskan untuk melanglang buana ke waktu di mana ia habiskan bersama Mo.

Selama ini otaknya sudah mematri Mo sebagai pria yang baik, bertanggung jawab, selalu melindungi, dan mencintainya. Tidak pernah sekali pun dia menunjukkan sifat jeleknya, kecuali jika Tru melakukan hal bodoh yang bisa membahayakan nyawanya. Yang ternyata hal itu dia lakukan untuk kepentingannya sendiri.

Mo tidak mungkin berubah. Pasti ada sesuatu yang mengancamnya untuk berbuat seperti itu.

Lagi. Ia mencoba untuk menyingkirkan fakta dari otaknya dan memilih berpikir dengan hatinya. Sampai akhirnya suara Zan menyusup masuk ke dalam otaknya yang sedang memutar masa-masa indah dengan Mo.

"Kalau memang Theo bertanggung jawab atas misi yang sudah membunuh seluruh temanmu. Kenapa dia masih bisa mendapat kenaikan jabatan?" Ucapan Zan satu tahun yang lalu tiba-tiba terngiang di telinganya.

Aku bodoh, benar-benar bodoh. Kenapa tidak sekali pun aku berpikir kemungkinan lain saat tahu bahwa Theo masih bisa mendapatkan kenaikkan jabatan di kala pernah memimpin kelompok di mana anak buahnya meninggal di dalam misi. Semua karena Theo tahu ... dia tahu ada pengkhianat di dalam organisasi.

Pantas saja ada beberapa anggota dari gold sampai bronze yang menghilang tanpa kabar setelah kejadian besar itu, pikir Tru.

Ia menolehkan kepala ke sisi kiri dan melihat mayat El yang tergeletak kaku di atas karpet tebal bermandikan darahnya sendiri.

El .... Sebegitu mudahnya dia membunuh teman yang sudah membantunya melawan musuh.

Bodoh sekali! Aku benar-benar bodoh! Kenapa aku bisa mencintai orang yang salah?

Silver - XWhere stories live. Discover now