11. Mo

286 52 3
                                    

"Mo?"

Tru terpana saat melihat pria yang selama ini hanya bisa ditemuinya lewat mimpi berdiri di hadapannya. Hatinya tersentuh haru dan jantung memompa rindu saat kedua mata mereka bertemu.

"Tru." Pria itu mendekat. Setiap langkah menyekat tenggorokan dan menyulitkannya untuk bernapas. Seakan pria berhidung mancung itu mengambil seluruh oksigen yang ada di sekitar mereka.

Ia mengulurkan tangan dengan lembut menyapu wajah Tru yang masih melihatnya dengan tatapan tidak percaya. "Ini aku."

Merasakan kehangatan asing di wajahnya, perempuan yang mengikat rambutnya ke belakang tersentak dan bergerak mundur untuk menghindar. Tubuhnya tak lagi mengenali sentuhannya, semua memori dengannya telah terhapus mimpi buruk dan kesedihan yang tak berujung.

Walau ia sangat ingin melempar tubuhnya ke pelukan Mo dan merasakan kehangatan yang lebih, tetapi otaknya tak mengizinkan hal itu. Terlatih untuk menghindar gerakan musuh dan tiga tahun penuh siksaan masa lalu membentuk Tru menjadi pribadi yang tertutup dengan lawan jenis dan perlahan tubuhnya menghilangkan semua bentuk keintiman yang dahulu sering ia dapatkan.

Melihat respons yang diberikan, Mo menarik tangan dan tersenyum ke arahnya.

"Ma-maaf," bisik Tru.

"Tidak apa-apa, aku mengerti. Justru aku yang seharusnya meminta maaf."

"Bagaimana?" tanya Tru setelah yakin bahwa orang yang ada di depannya adalah orang yang sama dengan yang ia cari seharian ini. Bukan ... yang sudah ia cari tiga tahun ini.

"Mari kita cari tempat yang nyaman untuk bicara." Mo tidak menjawab dan berjalan menyusuri trotoar diikuti Tru yang mengekor satu langkah di belakang. 

Kembali berjalan melewati pasir putih dan menerobos deretan pohon kelapa, mereka berjalan di kesunyian malam. Tidak ada bincang-bincang orang dewasa yang terdengar pun tawa anak yang sedari siang mengisi area ini. Hanya ada suara semilir angin menerpa dedaunan dan deburan ombak yang semakin keras terdengar.

Dalam temaram, ia memandang pundak lebar Mo yang tertutup jaket jeans, rambut yang mulai memanjang menyentuh pundak, dan telinga yang kini terpasang anting di salah satu sisi.

Setelah beberapa lama, pria tinggi itu akhirnya berhenti di sebuah bangunan kayu yang menjorok ke pantai. Ia sempat diam membelakanginya selama beberapa saat sebelum akhirnya berputar dan kembali membagi senyum.

"Bagaimana kabarmu, Tru? Tubuhmu baik-baik saja? Bagaimana dengan lukamu?" tanya Mo bertubi-tubi.

"Tidak apa-apa." Ia berbohong.

"Maaf, aku tidak tahu kalau itu kamu. Kalau aku tahu, aku pasti tidak—" Mo menghentikan kalimatnya.

"Justru akan mencurigakan kalau kamu hanya diam dan membiarkanku lolos." Tru terdiam. "Bagaimana ...? Bagaimana kamu bisa ada di sini, sementara tiga tahun yang lalu aku mendapat berita bahwa aku kehilangan seluruh anggotaku?" tanya Tru ingin melupakan fakta bahwa sekarang mereka tidak lagi sejalan.

"Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Terakhir yang aku ingat adalah suara ledakan. Setelah itu aku tidak sadarkan diri dan terbangun di sebuah rumah sakit kecil yang terletak tiga puluh kilometer dari lokasi misi kita," jelas Mo yang membuat Tru membentuk kerut di keningnya.

"Bagaimana mungkin? Siapa yang membantumu?" tanyanya penasaran.

"Awalnya aku tidak tahu siapa yang membawa ke sana, pihak rumah sakit hanya menyebutkan sebuah nama yang asing di telinga. Di hari aku diperbolehkan pulang dari rumah sakit, dia datang dan memberi tahu bahwa tidak ada yang selamat pada hari itu." Tru mulai terlihat ragu dengan cerita Mo.

Silver - XWhere stories live. Discover now