20. Final countdown

223 53 10
                                    

Seseorang pernah berkata, kita akan lebih mudah memahami diri sendiri dalam sepi. Namun, hal itu sepertinya tidak berlaku untuk Tru. Semakin senyap lingkungan di sekitarnya maka suara-suara di otaknya akan semakin ramai berbicara dan mengacaukan pikirannya sendiri.

Tiga hari dilewati dengan latihan fisik dan menembak target tanpa henti. Dalam dua puluh empat jam, dua belas jam dihabiskan untuk melatih tubuh, tiga jam untuk berolahraga ringan, dua jam untuk memberi tubuh Tru asupan kalori, dan sisanya untuk menikmati mimpi buruk yang belum juga beranjak pergi dari lelapnya setiap malam.

Hari keempat di saat bulan menggantung tinggi di langit. Tru duduk, berdiam diri di meja makan dengan segelas susu melingkar di jari-jari tangan. Uap hangatnya menerpa sebagian wajah Tru yang tertunduk menatap cairan putih tenang di dalam gelas.

Walau saat ini dia duduk di tengah-tengah kesunyian yang memekakkan telinga, tetapi otaknya tidak sedetik pun berhenti laguh-lagah mengenai misi besok dan hal-hal lain yang sudah mengganggunya beberapa minggu belakangan.

Umur adalah rahasia Tuhan, Tru tahu benar mengenai fakta itu. Namun, dia berharap besok bukanlah saatnya dia untuk pergi, walau di hati kecilnya berharap hal itu segera terjadi. Karena dia tidak ingin kepergiannya akan menjadi akhir dari teman-temannya. Untuk misi kali ini, satu orang petarung sangatlah berharga untuk menyelesaikan misi dengan baik.

"Tru? Apa yang kamu lakukan di sini?" Suara Ao memecah keheningan malam.

Tanpa menunggu jawaban dari si pemilik nama, sang pemimpin terus berjalan dengan tangan kiri menyusuri dinding.

"Jangan nyalakan lampunya," pinta Tru.

Tangan Ao berhenti tepat saat indra perabaannya berhasil menemukan tombol lampu yang berwarna senada dan tenggelam sejajar dengan dinding. Tombol terkutuk yang hanya membuat seseorang kesulitan untuk menemukan cahaya ketika malam menarik sinar matahari pergi. Semua dengan alasan untuk menajamkan indra peraba penghuninya.

"Baiklah." Ao memenuhi permintaan Tru dan menarik kursi yang berada sisi kirinya. Tidak ingin menghalangi cahaya rembulan yang merambat masuk melalui jendela karena ia membutuhkan sinarnya untuk melihat ekspresi Tru lebih jelas.

"Apa yang kamu lakukan di sini? Tidurlah, malam sudah larut. Besok kita harus berangkat pagi."

"Aku tidak bisa tidur," sahut Tru tanpa mengalihkan visualnya dari gelas besar berwarna biru muda yang masih terisi penuh.

"Dan dengan menatap segelas air bisa membantumu terlelap?" Ao mendekatkan wajahnya untuk melihat isi gelas yang masih terisi penuh.

Mendengar kalimat kelakar keluar dari mulut Ao, Tru akhirnya menoleh dan menatap Ao dengan wajah datar. Memberi informasi kalau ucapannya barusan sama sekali tidak mampu menggerakan otot wajahnya sedikitpun.

"Aku cuma bercanda." Ia tersenyum."Serius, kamu harus belajar mengontrol emosi tidak penting milikmu ini. Aku tidak mau kamu terlihat lebih tua dalam satu tahun ke depan." Ao memeluk tubuh anak buahnya dan mengayun tubuh langsingnya ke depan dan ke belakang.

"Ao, lepaskan." Tru menolak kehangatan yang diberikan melalui ucapan, tetapi tidak dengan perbuatan. Jika ini adalah Zan sudah dipastikan pria itu akan terlebih dahulu mati sebelum tangan sempat melingkari tubuhnya.

Semenjak bergabung di bawah kepemimpinan Ao, Tru sudah menganggapnya seperti kakak sendiri. Semua masa sulit yang sempat ia alami di awal tahun ia bergabung berhasil dilalui berkat bantuan dia ... dan Zan.

Tru diam merasakan tubuhnya diayun bagai bayi yang sedang ditimang supaya lekas tertidur. Ia tidak lagi protes dan memutuskan untuk bersandar di bahu Ao dan menikmati kedekatan fisik yang jauh berbeda dengan yang ia dapatkan beberapa hari belakangan ini.

Silver - XDove le storie prendono vita. Scoprilo ora