Bab 41 Pernyataan

159 24 16
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.





Indra duduk dengan angkuh di kursi kebesarannya. Matanya bergulir menatap berkas-berkas yang ada di tangannya.

"Dipta, kenapa harus kamu yang dicintai Hita? Kamu itu gay. Punya ibu saja mantan pasien rumah sakit jiwa pula. Mau taruh dimana wajah saya dan Hita nanti? Tapi lebih dari itu semua, apakah Hita bahagia dengan Dipta yang notabene gay? Bagaimana jika Dipta hanya menggunakan Hita untuk menutupi jati diri aslinya kepada keluarganya? "

Tak ada jawaban karena memang hanya ada Indra di ruangan ini. Ia tak bisa hanya berdiam diri disini. Ia harus merencanakan sesuatu.

"Sepertinya saya harus mengirim Hita untuk perjalanan bisnis ke beberapa tempat ini agar dia dan Dipta semakin menjauh, "

.
























.




























.

"Ta, lo bisa jemput gue di gedung xxx? "

"Emangnya kenapa? Lo gak apa-apa kan? Gak terjadi sesuatu kan? " tanya Hita khawatir pada sosok yang ada di seberang sana.

"Gue tadi jatuh pas turun dari tangga. Pinggang gue rasanya encok semua. Lo jemput ya? Gue tunggu, " Kata Dipta di seberang sana dan ia menutup sambungan panggilan ini.

Hita langsung meletakkan kopernya asal ke lantai. Ia melupakan rasa letihnya karena baru saja pulang dari perjalanan bisnis yang diatur sang ayah. Sudah terhitung 1 bulan, ia pergi ke berbagai tempat tanpa jeda istirahat sedetik pun. Bahkan ia harus melakukan sidang skripsi tepat di 2 jam sebelum keberangkatannya untuk perjalanan ini 1 bulan yang lalu.

Ia berlari ke bawah sambil mencari driver ojol dan untungnya ada driver ojol yang berada di kawasan perumahan ini sehingga saat ia sampai halaman rumah sang driver telah sampai sembari mengulurkan helm berwarna hijaunya.

"Mang ayo berangkat, " ajak Hita yang dibalas anggukan kepala sang driver. Walaupun sebenarnya dalam lubuk hati sang driver sudah merasa khawatir dengan wajah Hita yang agak pucat.

Untungnya hanya memerlukan waktu 15 menit untuk sampai di tempat tujuan. Hita mengembalikan helm sekalian membayar uangnya. "Pak, kembaliannya bapak ambil aja. Saya harus cepat-cepat ke dalam dulu, " kata Hita sambil langsung berlari ke dalam.

"Neng, makasih. Tapi eneng kok pucat ya? Sakit ya Neng??" teriak sang driver ojol yang tak terdengar oleh Hita. Lalu, ia memilih pergi karena hawa udara disini tiba-tiba berubah mencekam menurutnya.

Hita berlari dengan terengah-engah. Memang staminanya sedang menurun drastis karena memang ia sedang lelah dan juga stress akibat pengajuan beasiswanya untuk di MIT ditolak dengan alasan yang tidak jelas pula.

Sweet Pain Where stories live. Discover now