7. Pengemis Buta Mata Dewa

305 17 1
                                    


"Mereka berlima orang-orang asing! Jelas dari raut muka dan pakaiannya. Apa yang mereka lakukan di tatar Parahyangan ini?"

Gumam Tirta sambil terus memandangi kepergian lima orang itu dengan hati bertanya-tanya.

Setelah beberapa lamanya Tirtapun segera pergi ke arah sebaliknya. Meneruskan perjalanannya sambil membayangkan wajah Mei Lan dan gadis yang satunya lagi. Tirta jadi teringat Mintari, gadis cantik bertubuh elok menggairahkan itu. Kecantikan Mintari memang patut diakui, apalagi dengan bentuk tubuhnya yang elok padat menggoda itu. Tidak ada laki-laki rasanya yang tidak akan tertarik hati oleh Mintari. Tapi dua gadis asing itupun memiliki kecantikan yang jarang ditemui, kecantikan yang berbeda dengan gadis-gadis Pasundan pada umumnya. Dan tiba-tiba saja Tirta terbayang pula akan wajah Bidadari Kilat Merah, perempuan bercadar yang walau hanya sekilas saja tapi Tirta masih sempat melihat wajah cantik gadis itu yang rasanya sulit bisa dilupakannya itu.

Tirta beristirahat di tepi sebuah hutan. Saat itu matahari baru saja muncul memancarkan sinar kuning keemasaannya. Terasa hangat sekali membelai kulit membuat rasa kantuk menyerangnya. Terlebih lagi semalaman dirinya terus berlari tanpa henti melakukan pengejaran.

Maka tanpa bisa ditahan lagi pemuda ini tertidur di bawah sebuah pohon di tepi sungai. Entah berapa lama Tirta tertidur, sendirinyapun tidak tahu. Begitu bangun matahari sudah berada di titik tertinggi.

"Sudah siang rupanya,"Ujarnya sambil kemudian menggeliat bangun.

Dilihatnya air sungai mengalir dengan tenang, berkilat jernih tertimpa cahaya matahari siang. Tirta tidak bisa menahan diri langsung membuka pakaiannya dan langsung melompat ke sungai. Cukup lama pemuda ini berenang menyegarkan diri mandi. Setelah puas buru-buru naik kembali ke tepian.

Tadinya ada keinginan untuk menangkap ikan di sungai, tapi setelah dipikir akan lebih enak lagi apabila makan daging kelinci atau ayam hutan. Maka Tirta segera mengambil beberapa buah kerikil untuk dijadikan senjata berburunya dan kemudian memasuki hutan. Pagi hari merupakan saat bagi binatang hutan keluar mencari makanan. Tidak lama bagi Tirta untuk mnemukan mangsa. Beberapa ekor kelinci terlihat di balik semak-semak dan rerumputan hutan. Maka seketika itu juga tangannya bergerak melempar. Satu buah kerikil ditangannya melesat cepat ke arah kelinci-kelinci itu.

Tukk!! Seekor kelinci roboh dan mati seketika. Kepalanya bolong kena lemparan kerikil yang tepat mengenainya. Dengan senyum senang Tirta segera melompat untuk mengambil buruannya. Tapi saat bangkai binatang itu baru disentuhnya tiba-tiba satu seruan nyaring terdengar. Lalu sebuah bayangan tubuh berkelebat dan seorang pemuda berpakaian putih sudah berdiri di hadapan Tirta.

"Hei, kenapa kau mengambil buruanku?"

Tentu saja Tirta terkejut lalu memandang pada orang yang baru datang itu. Seorang pemuda berwajah sangat tampan dan berpakaian ringkas warna putih kebesaran yang diperkirakan seusia atau mungkin lebih muda satu dua tahun dari usianya sudah berdiri dan menatapnya dengan tajam.

"Eh, apa maksudmu, sahabat?"Tanya Tirta penuh keheranan. Jelas tadi dia yang menyambit dan membunuh kelinci ini, mengapa tiba-tiba orang mengakui bahwa itu buruannya. Dengan suara terdengar ketus, pemuda tampan ini berkata.

"Kau telah mengambil buruanku. Apa kau tidak melihat luka di kepalanya itu?"

Tirta tentu saja jadi penasaran dan juga jengkel, tapi dilihatnya juga bangkai kelinci itu lebih teliti. Jelas sekali kepalanya memang bolong mengeluarkan darah dan Tirta yakin itu hasil sambitannya. Tapi alangkah terkejutnya murid mendiang Ki Ageng Saketi ini ketika melihat ada dua buah kerikil yang menancap di tempat luka yang sama. Berarti pemuda tampan ini tidak berbohong. Tapi sambil tersenyum Tirta kemudian berkata dan memperlihatkan kepala kelinci itu.

Geger ParahiyanganWhere stories live. Discover now