37. Memaknai Cinta

307 28 4
                                    

Mintari duduk sambil memeluk kedua lutut, kepalanya disusupkan diantara keduanya. Isaknya tangisnya yang tertahan membuat tubuh gadis ini tersentak-sentak. Perasaan Mintari saat itu bagai dikoyak-koyak ratusan pedang. Hancur, perih dan dadanya terasa begitu sesak. Beginikah rasanya patah hati? Sakit. Benar-benar sakit! Teringat kembali olehnya kejadian beberapa saat yang lalu ketika dengan tanpa sengaja dirinya melihat Tirta dan Pandan Arum sedang berpelukan dengan mesranya di hutan. Dan mereka berciuman begitu mesra. Terbayang pula Tirta yang melumat bibir Pandan Arum dengan penuh perasaan dan gadis bernama Pandan Arum itu ternyata membalasnya dengan tidak kalah mesranya.

Mintari tidak pernah tahu sejak kapan Tirta mengenal gadis murid Dewi Kerudung Emas tersebut. Yang dia tahu, gadis cantik bernama Pandan Arum ini baru saja datang beberapa hari yang lalu. Tapi ternyata Tirta sudah ditunangkan dengan gadis ini. Begitu cepatkah Tirta jatuh cinta pada gadis ini? Atau mereka memang sudah mengenal sejak lama?

Yang disesalinya kini adalah nasibnya sendiri yang sangat tidak beruntung. Sepasang mata Mintari yang sudah sejak awal memang sudah berkaca-kaca menahan linangan air matanya, kini tak bisa ditahannya lagi. Hati gadis mana yang tidak kecewa mengetahui pemuda yang sejak lama dicintainya dan diharapkan menjadi pelabuhan cintanya ternyata sudah memiliki tunangan. Dengan hati yang bagai ditusuk sembilu, tangis Mintari akhirnya pecah tak terbendung lagi. Suara tangisnya terdengar begitu memilukan dan menyayat hati di tengah kesunyian di tepi sungai itu. Mintari yang dalam kepiluan hatinya tidak menyadari bahwa sejak tadi ada seseorang yang memperhatikannya dari balik sebuah pohon di belakangnya. 

Sosok seorang perempuan berpakaian serba merah seperti Mintari. Bedanya adalah bentuk dan bahan pakaiannya yang terbuat dari sutera halus dan perempuan ini mengenakan sebuah cadar menutupi wajahnya. Hanya sepasang matanya yang bening terus memperhatikan ke arah Mintari yang masih sesenggukan menangis di tepi sungai.

"Siapakah gadis ini? Di tepi sungai yang begini sepi menangis seorang diri?"Perempuan bercadar yang bukan lain Bidadari Kilat Merah ini berkata dalam hatinya. 

Dalam pengembaraannya mencari pemuda bernama Tirta Bidadari Kilat Merah rupanya telah tiba ke wilayah gunung Salak. Terasa lelah Bidadari Kilat Merah bermaksud mencari tempat istirahat. Tanpa sengaja gadis ini mendapati seorang gadis yang sedang menangis. Sebenarnya Bidadari Kilat Merah tidak mau mencampuri urusan orang yang belum dikenalnya. Dan tubuh gadis bercadar ini sudah akan berbalik untuk meninggalkan tempat tersebut. Tapi entah kenapa, tiba-tiba saja hatinya tergerak untuk kembali memperhatikan Mintari. Malah setelah terlihat termenung beberapa lama, perempuan bercadar ini akhirnya berjalan keluar dari balik pohon kemudian berjalan menghampiri Mintari.

Mintari yang sedang menangis akhirnya menyadari kehadiran orang lain. Bukan hanya gerak langkah perempuan ini, tapi juga Mintari mencium bau wangi harum tubuh orang yang mendekatinya ini. Gadis ini segera hentikan tangisnya dan segera menoleh. Kalau yang datang seorang laki-laki gadis ini tentu akan segera membentak mengusirnya. Tapi dilihatnya yang datang adalah seorang perempuan berpakaian dan bercadar merah sudah berdiri di belakangnya. Mintari buru-buru menghapus air matanya yang membasahi wajahnya kemudian melompat bangun, berdiri berhadapan dengan perempuan yang baru muncul ini.

"Kau... kau siapa?"Dengan suara serak Mintari segera ajukan pertanyaan. Sepasang mata murid Ki Antasena ini menatap tajam ke arah sepasang mata perempuan bercadar ini penuh curiga. Dan Mintari dapat melihat sepasang mata yang bening bagus bercahaya milik perempuan ini dari balik cadar yang dikenakannya.

"Maapkan aku, sahabat,"Bidadari Kilat Merah berkata dengan rendahkan kepala dalam sikap sopan,"Aku tidak sengaja lewat tempat ini dan mendengar suara tangisan. Karena khawatir seseorang sedang mendapat kesulitan makanya aku menyelidik kemari dan melihatmu yang duduk sendirian dengan tangis kepediahanmu yang memilukan hati bagi siapa yang mendengarnya. Karena merasa sebagai sesama perempuan maka aku menghampirimu. Tidak hendak ikut campur, tapi mudah-mudahan bisa membantu mengurangi kesediahanmu. Itupun kalau kau bersedia. Sekali lagi maapkan jika mengganggumu. Dan aku bernama Wulan Sari."

Geger ParahiyanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang