46. Dewi Kilat Putih

277 23 17
                                    

Dari balik sebuah pohon berdaun rimbun yang berada di seberang sungai mendadak muncul satu sosok perempuan tua berpakaian kebaya putih panjang selutut. Rambutnya yang dari kejauhan saja jelas terlihat sudah berwarna putih disanggul dengan tiga kundai perak. Sebatang tongkat kayu warna kuning tergenggam di tangan kanannya. Sekali genjot, tubuh perempuan berkebaya putih ini sudah melayang melewati sungai dengan gerakan enteng. Saat sepasang kakinya menapak tanah tidak ada suara sedikitpun dan kini si nenek berdiri dihadapan dua orang yang masih terkejut dengan kemunculan nenek ini. Sepasang mata nenek ini menatap dua orang ini dengan tajam tapi mulut menyeringai.

"Guru!" Tiba-tiba Bidadari Kilat Merah berseru memanggil perempuan itu. Ada nada gembira dari suara seruannya walau raut muka memperlihatkan keterkejutan. Gadis bercadar merah ini segera mendatangi si nenek, mencium tangan dan kemudian memeluknya.

Tirta jadi tertegun kaget mengetahui bahwa perempuan tua yang baru muncul secara mendadak ini ternyata guru dari Bidadari Kilat Merah. Untuk beberapa saat pemuda ini berdiri mematung, mengusap-usap ujung hidung dan memperhatikan dua orang yang sedang saling berangkulan itu.

Si Nenek kemudian melepaskan rangkulannya pada Bidadari Kilat Merah. Kemudian si nenek berpaling ke arah Tirta yang masih berdiri melongo di tempatnya. Dengan suara yang terdengar lembut, nenek ini buka mulutnya menyapa.

"Apakah kau pemuda yang bernama Tirta itu?"

Sepertinya nenek ini sudah tahu perihal dirinya. Tahu si nenek ajukan pertanyaan, sambil bungkukkan tubuh memberi penghormatan Tirta segera sahuti pertanyaan sesopan mungkin.

"Betul Nyai, saya Tirta. Maapkan kalau aku yang masih hijau ini tidak mengenali Nyai. Kalau boleh tahu siapakah Nyai ini?"

Melihat kesopanan si pemuda, nenek ini tersenyum dan berucap."Namaku Durgandhini, tapi dahulu orang-orang lebih mengenalku dengan sebutan Dewi Kilat Putih. Aku adalah guru gadis bercadar ini."

"Tunggu dulu, guru."Bidadari Kilat Merah segera menyela pembicaraan dua orang itu. ditatapnya gurunya itu penuh penasaran." Sebelum itu maukah guru menjelaskan bagaimana guru bisa jauh-jauh berada di tempat ini seorang diri? Kemana saudara-saudaraku yang bertugas menjaga guru?"

"Jangan marah dulu, muridku."Devi Cempaka Putih tersenyum lembut ke arah muridnya itu."Aku sebenarnya berangkat meninggalkan pertapaan bersama tiga orang saudarimu. Sekarang ketiganya sedang beristirahat di lembah sana."

"Guru sendiri mengapa bisa berada disini? Apakah menyusulku?"Tanya Bidadari Kilat Merah masih penasaran dan heran atas kemunculan gurunya yang dia ketahui sudah puluhan tahun tidak pernah meninggalkan kediaman mereka.

"Selain memang aku datang untuk menyusulmu, tapi masih ada lagi alasan lain mengapa aku bisa berada di tempat ini."Jawab si nenek penuh teka-teki. Bidadari Kilat Merah memandangi gurunya heran. Dan sebelum gadis ini membuka mulutnya, si nenek sudah melangkah ke hadapan Tirta. dan pada si pemuda si nenek kembali bertanya.

"Anak muda, bagaimana kabar gurumu Ki Brahma? Apa masih betah mendekam di pertapaannya? Sudah lama aku tidak bertemu dengan tua renta itu."

Tentu saja Tirta melengak kaget atas pertanyaan si nenek yang ternyata mengenal gurunya yaitu Ki Brahma. Dengan tatapan heran Tirta balik bertanya.

"Nek, bagaimana kau bisa tahu aku muridnya Eyang Brahma?"

Sambil tertawa terkekeh si nenek menengadahkan kepalanya hingga sanggulnya bergoyang-goyang. Kemudian si nenek kembali berkata ke arah Tirta.

"Tidak ada orang lain yang mampu melakukan jurus Sapta Hasta Braja yang tadi kau gunakan sewaktu mengambil ikat rambut muridku itu selain Ki Brahma. Kalau kau mampu melakukannya berarti kau adalah murid kakek itu. Walau harus kuakui kecepatanmu ternyata sangat hebat. Ku perkirakan tadi kau menggabungkannya dengan jurus lain."

Geger ParahiyanganWhere stories live. Discover now