12. Kehilangan Kesaktian

312 16 1
                                    

Seorang perempuan yang mengenakan sehelai cadar merah yang menutupi wajahnya siang itu baru saja tiba di sebuah perkampungan yang cukup padat penduduknya. Perempuan ini bertubuh ramping tapi padat berisi. Pakaian ringkasnya yang juga sewarna dengan cadar yang dikenakannya terbuat dari bahan sutera. Sambil berjalan memasuki perkampungan, sepasang matanya yang bening bagus dan dinaungi dua alis hitam memperhatikan keadaan kampung tersebut seperti mencari sesuatu. Dan yang dicarinya itu ternyata berada tidak jauh di depannya, sebuah kedai makanan yang berada dibawah kerindangan sebuah pohon beringin besar di barisan sebelah kirinya.

Perempuan bercadar ini langsung masuk ke dalam kedai tersebut. Di dalam kedai ternyata hanya ada beberapa orang pengunjung saja yang langsung berpaling memperhatikan ke arah perempuan yang baru datang ini. Cadar yang dikenakan menutupi wajahnya inilah yang menjadi perhatian orang-orang itu. Tapi melihat gerak gerik dan cara berpakaiannya, semua orang langsung tahu bahwa perempuan ini orang rimba persilatan. Maka tidak seorangpun yang berani berucap sesuatu. Perempuan bercadar ini mengambil tempat duduk di sudut ruangan dekat sebuah jendela. Seorang pelayan langsung mendatanginya dan menanyakan pesanan perempuan ini.

"Sediakan nasi dan dagingnya. Jangan lupa sayuran sambel juga minumannya." Ujar perempuan bercadar tanpa menoleh ke arah pelayan. Perempuan pelayan ini anggukkan kepalanya dan segera pergi lagi ke dalam. Sedangkan perempuan bercadar ini duduk dengan pandangan tertuju keluar, tapi pandangannya jelas pandangan kosong belaka. Banyak hal yang dipikirkan perempuan ini. Termasuk tujuan perjalanannya saat ini. Saat itu hatinya sedang berkata-kata.

"Aku masih bingung dengan keputusanku meninggalkan kediamanku di Alas Jati. Tapi perintah guru dan sumpah yang pernah kuucapkan tidak bisa diingkari. Hanya saja kemana aku harus mencarinya di dunia yang luas ini? Dan aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaan pemuda itu terhadapku terlebih setelah bentrokan beberapa waktu yang lalu di hutan. Mungkin dia membenciku." Membatin perempuan bercadar merah ini sambil tetap memandang kosong keluar.

Siapakah perempuan ini? Pembaca pasti sudah bisa menebaknya. Perempuan ini adalah Wulan Sari atau lebih dikenal dengan sebutan Bidadari Kilat Merah, gadis cantik jelita yang atas perintah gurunya sedang mencari Tirta. Satu-satunya laki-laki yang sudah berhasil membuka cadar dan melihat wajah aselinya. Akibatnya Wulan Sari harus memenuhi sumpah yang pernah diucapkannya, siapapun laki-laki yang berhasil membuka cadarnya dan melihat wajahnya maka harus menjadi suaminya. Dan Tirta lah yang telah melihat wajahnya yang selama ini ditutupi. Hal itu terjadi ketika mereka bertempur saat membantai para kawanan begal.

Hidangan datang dan segera disajikan. Bidadari Kilat Merah memutus lamunannya dan dengan lahap menyantap semua makanan tersebut. Ketika selesai bersantap, dan pelayan datang lagi untuk memberekan bekas makannya, Bidadari Kilat Merahpun bertanya pada si pelayan.

"Maap Ceu, apakah beberapa hari ini ada seorang pemuda yang mengenakan pakaian biru dan membawa buntalan kain datang ke warung ini?"

Si pelayan terdiam beberapa lama sambil kerutkan kening mengingat-ingat, tapi kemudian sambil gelengkan kepala perempuan setengah baya ini menjawab."Rasanya tidak ada pemuda yang seperti itu, Nden. Lagian susah untuk mengingat semua pengunjung yang datang ke sini."

"Terima kasih ceu!" Ucap Bidadari Kilat Merah dengan nada kecewa kemudian berdiri. Dikeluarkannya beberapa keping uang logam dan disimpan di atas meja kemudian tanpa meminta kembalian gadis bercadar ini meninggalkan kedai.

Bidadari Kilat Merah langsung tinggalkan kampung tersebut menuju ke arah Barat. Sepanjang perjalanan pikirannya terus berputar, memikirkan langkah selanjutna untuk mencari pemuda bernama Tirta. Matahari bersinar cukup terik siang itu. Bidadari Kilat Merah sudah mulai memasuki sebuah belantara yang cukup lebat. Tiba disebuah perbukitan yang dikelilingi pepohonan, gadis bercadar ini hentikan langkah. Telinganya yang tajam menangkap suara mencurigakan dari arah sebuah pohon waru yang berdaun lebat di sebelah kanan jalan. Suara erang kesakitan dan lapat-lapat juga terdengar suara bentakan-bentakan!

Geger ParahiyanganWhere stories live. Discover now