6. Jurus Langkah Dewa Menapak Awan

274 20 1
                                    

Pemuda belia berpakaian biru itu kini sampai di sebuah lembah yang dilewati sebuah sungai kecil berair jernih yang mengalir tenang, pemuda itu berhenti. Ketika pemuda itu hendak mengeluarkan perbekalan berupa makanan keringnya, hidungnya mencium bau aroma daging bakar yang sangat menggugah selera. Tirta mengendus dan menoleh kesana kemari untuk mencari sumber aroma daging bakar tersebut. Ketika melihat ke arah utara lembah, dilihatnya asap putih mengepul dari sebuah pembakaran api unggun. Karena tertarik oleh bau daging yang membuatnya meneteskan air liur Tirta segera berlari ke arah datangnya asap berasal.

Di sebuah tanah yang cukup luas dan banyak ditumbuhi rerumputan hijau, sebuah perapian menyala dengan api yang bergoyang-goyang tertipu angin malam. Di atas perapian tersebut terlihat dua batang ranting yang menusuk dua potong daging kelinci besar yang sudah matang terbakar. Aroma sedap daging bakar semakin santar tercium dari perapian.

Duduk mencangkung seorang laki-laki tua berjubah hitam dan berambut putih keperakan keseluruhannya di depan perapian. Sambil memutar ke arah depan sosok itu Tirta meneliti orang tersebut. Tiba-tiba laki-laki yang sedang duduk mencangkung didepan perapian itu menggerakan tangannya ke arah Tirta. Satu kesiuran angin tajam menghantam si pemuda. Ternyata orang itu sudah melakukan suatu serangan jarak jauh.

Tentu saja pemuda ini terkejut tidak menyangka akan diserang orang secara tiba-tiba, tapi sambil keluarkan seruan kaget Tirta segera melompat dan mendorong perlahan telapak tangannya dalam jurus Sayap Elang Mengibas Angin untuk memapas angin pukulan tersebut.

Dess!!

Api unggun meliuk cepat dan padam ketika tersambar angin bentrokan dua tenaga dalam tersebut.

Terdengar laki-laki berambut putih itu terkekeh tertawa lalu berdiri menghadap ke arah Tirta. Begitu melihat wajah orang, Pemuda itu terkejut karena mengenali kakek yang pernah dia lihat sebelumnya di sebuah rumah makan waktu pertama kali dirinya turun gunung. Tadinya Tirta mau menyapa kakek ini dan mengaku bahwa mereka pernah bertemu, tapi begitu dilihatnya si kakek hanya berdiri memandang padanya dengan pandangan menyelidik curiga, Tirta urungkan niatnya dan segera bungkukkan badan ke arah si kakek dan buru-buru berkata.

"Maapkan saya kek kalau mengganggumu. Tapi saya tidak berniat jahat, saya hanya kebetulan lewat karena mencium harumnya daging pangang. Tapi mengapa kau menyerangku tiba-tiba tanpa alasan?"

"Anak muda, aku sedang duduk sendirian dan kau datang tiba-tiba dengan cara mengendap-endap. Tentu saja aku curiga dan menyerangmu. Apakah menurutmu aku salah?"kata si kakek balik bertanya dengan sorot mata tajam.

Tirta terdiam karena merasa ucapan kakek berambut putih ini ada benarnya. Maka sambil tersenyum sadar kembali Tirta berkata.

"Maapkan saya kek. Saya memang yang salah. Tapi tidak ada niat jahat sedikitpun. Sekali lagi maap saya mengganggu ketenangan kakek. Kalau begitu saya mohon diri." Tirta sudah balikkan tubuhnya bermaksud segera pergi, tapi didengarnya kakek itu berseru menahannya.

"Apa kau lapar, bocah ingusan?"

Tirta balikan tubuhnya lagi ke arah si kakek. Hatinya merasa jengkel ada, tapi geli juga ada dipanggil bocah ingusan oleh kakek itu.

"Aku memang lapar, kek. Makanya aku akan pergi mencari makanan."Jawab Tirta sambil tetap tersenyum.

"Malam-malam begini bakal susah mencari makanan. Sudah, kau makan saja kelinci panggangku itu, aku rasa aku tidak mungkin menghabiskan semua daging itu." Kata sikakek berambut putih sambil dengan sikap acuh tak acuh kembali duduk di depan perapian, mengambil tusukan daging panggang lalu dilemparkan ke arah Tirta. Walau terkejut karena si kakek berubah jadi baik, tapi pemuda ini segera sambuti daging panggang tersebut.

Geger ParahiyanganWhere stories live. Discover now