33. Mengemban Misi Penting

286 25 5
                                    

Rombongan para jago pimpinan Ki Antasena, Nyai Rompang dan si Golok Maut sudah tiba di Gunung Salak. Begitu rombongan tiba di kaki gunung, Ki Antasena mengeluarkan suitan panjang dua kali. Tiba-tiba delapan orang segera muncul dari beberapa sudut tersembunyi dan menyambut mereka. Orang-orang yang masih terluka diminta oleh Ki Antasena dan Nyai Rompang untuk segera dibawa untuk mendapat perawatan. Sedangkan Ki Antasena bersama sahabat-sahabatnya melanjutkan perjalanan mendaki ke lereng untuk langsung menemui para tokoh dengan mengajak serta Tirta sekalian untuk menemui Ki Winangun.

Tirta bisa melihat jelas bahwa lereng gunung Salak dijaga sangat ketat. Dengan sepasang matanya yang tajam Tirta pun bisa mengetahui bahwa di beberapa titik-titik tertentu di sekitar Gunung Salak ada beberapa orang mendekam secara tersamar dan tersembunyi. Jelas bahwa mereka mengawasi keadaan di sekitarnya untuk mengetahui kedatangan manusia ke sekitar Gunung Salak. Rombongan terus mendaki ke atas. Ada sebuah jalan setapak yang bisa dilalui, tapi seperti di kaki gunung sebelah bawah beberapa orang muncul seperti menyambut mereka kemudian kembali menghilang setelah mereka memasuki pintu berpagar kayu tinggi. 

Keadaan lereng Gunung Salak jelas terlihat sudah dirubah menjadi pemukiman darurat. Belasan bangunan beratap rumbia dan jerami berdiri berjejer dari bawah lereng sampai atas gunung dengan dikelilingi benteng kayu gelondongan yang bagian atasnya sengaja dibuat runcing dan tingginya mencapai tiga empat meteran. Beberapa orang dengan wajah serius dan sigap terlihat berjaga-jaga di pintu gerbang. Di kepalanya masing-masing mengenakan sehelai kain sebagai ikat kepala.

"Ada empat buah pintu gerbang yang dibuat di sekeliling benteng. Satu pintu sebagai jalan masuk utama yang sebelumnya kita lalui, dan tiga pintu lainnya sengaja disamarkan seperti pos penjagaan karena hanya sebagai lubang darurat. Setiap pintu dijaga oleh enam orang jago golongan putih. Selain itu, dari bawah lereng gunung sudah disebar beberapa orang pengintai untuk mengawasi keadaan. Begitu ada apa-apa yang membahayakan akan segera dikirim tanda rahasia ke atas sini. Dengan kata lain markas kita ini dijaga dengan sangat hati-hati." Tanpa diminta Ananta menjelaskan keadaan markas jago golongan Putih pada Tirta. Anak muda ini tersenyum dan angguk-angukkan kepala karena dengan kepala sendiri bisa melihat bagaimana ketatnya penjagaan sekitar Gunung Salak.

Ki Antasena membawa rombongan langsung ke arah pondok kayu terbesar dari bangunan lain yang dijadikan sebagai tempat berkumpulnya para tokoh pergerakan. Dan saat itu hampir semua tokoh jawara sedang berkumpul. Pengemis Buta Mata Dewa, si Jari Maut, Dewi Kerudung Emas, Nyi Ayu Kinasih atau bergelar Selendang Maut, dan tentu saja Ki Winangun atau dikenal Tua Gila Berambut Perak sedang berada di dalam pondok tersebut. 

Begitu melihat paman gurunya, Tirta segera datang bersimpuh dan mencium tangan paman gurunya ini. Ki Winangun sesaat pandangi muridnya ini. Bibirnya tersenyum gembira tapi kemudian mendadak terdengar makiannya pada Tirta.

"Dasar keponakan tolol! Kemana saja kau selama ini? Tidak ada kabar berita menghilang tidak ada juntrungan. Ku kira kau sudah mati dimakan hantu hutan."

"Maapkan aku, paman. Banyak hal yang sudah terjadi hingga keponakanmu yang tolol ini tidak bisa segera menemui paman guru seperti pesan terakhirmu." Jawab Tirta sambil usap hidungnya dan pencongkan mulut keki dan malu karena dimaki di hadapan begitu banyak orang yang memandanginya dengan senyum geli.

"Ah! Banyak alasan kau!" Bentak Ki Winangun dengan wajah merenggut seperti kesal." Sudah. Nanti saja kau lanjutkan ceritamu. Sekarang segera kau temui beberapa orang tokoh dan haturkan hormat."

Tirtapun segera menyalami semua tokoh yang hadir di tempat itu yang dia ketahui jelas para tokoh jawara sakti yang tidak sembarangan. Sewaktu tiba di hadapan Pengemis Buta Mata Dewa Tirta pun menyalami kakek ini pula.

"Kakek Mata Dewa! Apakah kau masih ingat padaku?". 

Sewaktu menerima tangan Tirta yang mencium tangannya kakek ini tertawa. Lengan Tirta tidak segera dilepaskannya tapi digenggam cukup lama.

Geger ParahiyanganWhere stories live. Discover now