22. Dua Tokoh Sakti Misterius

281 22 9
                                    

Tirta menemukan sebuah warung makan kecil di pinggiran sebuah kampung. Pemuda ini sangat gembira dan langsung masuk ke dalam. Pemilik warung adalah sepasang suami isteri yang sudah berumur. Dengan ramah keduanya mempersilahkan anak muda ini duduk dan menanyakan pesanan.

"Tolong siapkan nasi putih dengan ikannya, ki. Jangan lupa sambal dengan lalapannya." Pesan Tirta sambil menyimpan buntalan kain usangnya di samping tempat duduknya. Sepasang suami isteri ini langsung sibuk menyiapkan pesanan si pemuda.

Sudah berbulan-bulan Tirta tidak merasakan nikmatnya makan pakai nasi dan lauk pauknya. Selama di dalam goa batu pemuda ini hanya makan buah-buahan atau daun-daunan yang ada. Maka tidak mengherankan begitu makanan datang Tirta langsung melahapnya dengan nikmat dan menghabiskannya dalam sekejap tanpa sisa sedikitpun.

Selesai makan, Tirta menanyakan pada pemilik warung apakah ada rumah yang bisa disewakan untuk dirinya tidur malam itu. Tapi rupanya di dudun kecil itu tidak ada penginapan satupun, dan warga dusunpun belum tentu mau menerima seorang pendatang baru. Untungnya si pemilik warung yang ternyata baik ini mempersilahkan Tirta untuk tidur di warungnya malam ini. Mungkin karena kasihan melihat keadaan anak muda ini yang memprihatinkan. Tentu saja Tirta gembira dan berterimakasih sekali.

Malam harinya, sambil berbaring diatas-bale-bale bambu tanpa alas Tirta kembali berpikir merenungkan tujuan hidupnya setelah ini. Dia tidak tahu lagi apa yang akan dilakukannya setelah dirinya menjadi lemah. Yang jelas, dia tidak akan kembali ke puncak Kamojang dan hidup menyepi. Apakah dia harus menjalani hidup seperti orang kebanyakan, mencari tempat tinggal, bekerja mencari penghidupan dan melupakan kehidupan persilatan? Tirta teringat bahwa saat ini dirinya masih membekal sebagian kecil uang emas dan perak dalam buntalannya. Sisanya dia sengaja disimpan bersama dua buah kitab silat di dalam goa yang ditinggalkannya. Rasanya kalau hanya untuk membeli sebidang tanah dan rumah sederhana bekalnya pasti cukup. Dia bisa hidup dengan bertani. Tapi dimanakah dia akan mencari tempat tinggal? Dan apakah itu memang tujuan hidup yang diinginkannya?

Kepalanya malah dibuat pusing. Akhirnya pemuda ini menutup matanya dan tertidur. Keesokan paginya, sebelum pergi Tirta menyelipkan sekeping kecil perak di lobang bilik tempat tidurnya sebagai ucapan terimakasih pada pemilik warung kemudian baru melanjutkan perjalanan. Keluar dari dusun itu Tirta mendaki sebuah bukit kecil subur dan kemudian tidak berapa lama sudah memasuki sebuah hutan kecil. Matahari sudah mulai tinggi, tapi keadaan dalam hutan terasa segar karena sinar surya terhalang oleh dedaunan yang rimbun. Semakin lama berjalan, pepohonan semakin rapat dan keadaanpun sekitar semakin temaram. Tirta mendongak ke atas. Pepohonan besar dan tinggi semakin banyak dia temui dengan kerimbunan daun yang semakin lebat. Padahal Tirta tahu bahwa saat itu matahari sedang terik-teriknya bersinar dan mencapai titik tertingginya tapi cahayanya terhalang oleh kerapatan pohon.

Tirta mulai merasakan perutnya berbunyi minta diisi. Maka segera pemuda ini mencari tempat untuk beristirahat. Bekal sisa makanan yang dibelinya dari warung di dusun dikeluarkan dan memakannya sampai habis. Walau hanya berupa dua buah ubi rebus tapi lumayan untuk pengganjal, pikirnya. Selesai mengisi perut alakadarnya Tirta melanjutkan perjalanan. Ketika menemukan sebuah kali berair jernih pemuda ini menyempatkan untuk mengambil air minum dan memasukan kedalam kantong kulitnya untuk bekal diperjalanan.

Sepekan melakukan perjalanan Tirta kini tiba di kaki sebuah bukit berbatu cadas dan dilalui oleh sungai. Sepanjang mata memandang hanya batu cadas yang terlihat. Sekalipun ada pohon hanya tanaman perdu yang kemerahan. Matahari bersinar cukup terik membuat tubuh pemuda ini basah keringat hingga pakaiannya kuyup. Tidak ada tempat untuk berteduh maka terpaksa Tirta melanjutkan langkah. Untuk mendaki ke atas dalam keadaan panas terik seperti saat ini rasanya sungkan maka Tirta sengaja memilih jalan memutar. Saat itulah Tirta menangkap suara tawa bekakakan keras membuat langkah kakinya terhenti. Kepalanya tengadah ke atas puncak bukit. Sesaat kemudian suasan kembali sunyi. Tapi tidak lama kemudian kembali terdengar suara tawa menggelegar dan Tirta picingkan matanya dengan jantung berdebar.

Geger ParahiyanganWhere stories live. Discover now