55. Nyai Pingitan

277 26 9
                                    


Wajah si nenek kelihatan murung, dan Marni bisa melihat sepasang mata cekung itu berkaca-kaca. Tidak bisa menahan diri, Marni sendiri mulai meneteskan air mata.

"Saat itu juga aku meninggalkan kediamanku untuk mencari suamiku. Bagaimanapun aku merasa sangat bersalah. Iblis Timur sangat banyak berharap pada putra kami. Aku akan mengajaknya kembali menata hidup kami dan melahirkan putra yang lain untuk menggantikan kehilangan kami. Aku kembali berkelana, mencari keterangan tentang Iblis Timur. Selama itu banyak sekali berita yang kuterima. Semuanya berita yang membuat hatiku semakin sedih dan tertekan. Nama Iblis Timur semakin terkenal, tapi dalam hal kebengisan dan kekejaman yang kian menjadi-jadi. Orang lain mungkin menganggap hal itu biasa, karena dari awal sudah mengenal Iblis Timur sebagai momok pembunuh. Tapi aku yang sudah sangat mengenalnya tahu ada perubahan besar dalam diri suamiku. Sebelumnya Iblis Timur hanya membunuh orang-orang yang melakukan kejahatan itupun kalau terdesak, dan kalaupun membunuh tidak pernah melakukan penyiksaan. Tapi Iblis Timur yang kudengar kini berbeda, walau tetap hanya membasmi orang jahat golongan hitam tapi Iblis Timur yang baru membantai dengan tanpa perikemanusiaan. 

Tiga tahun mencarinya aku pun berhasil bertemu dengannya. Tapi keadaannya saat itu sudah sangat jauh berbeda dengan orang yang ku kenal sebelumnya. Pakaiannya sudah berganti jubah seperti pakaian pertapa. Sikafnya padaku dingin. Aku menajaknya untuk kembali menyepi dan hidup bersama lagi. Tapi dia tidak menanggapi ajakanku sedikitpun. Hanya menatap dengan pandangan dingin dan tidak bicara. Kemudian dia pergi tanpa berkata apa-apa dan tidak mampu kucegah. Sejak saat itulah aku merasakan penderitaan teramat sangat. Aku tidak mampu menahan kesedihan ditinggalkan laki-laki yang kucintai."

Perempuan tua ini menunduk, menghela nafas panjang seperti ingin melepaskan beban kesedihannya. Marni termangu melihatnya. Begitu hebat pengalaman hidup si nenek gara-gara cinta. Tanpa sadar Marni berkata dengan nada kesal.

"Suamimu sangat kejam, Nyai. Meninggalkan dirimu yang sudah menderita kehilangan putra kalian. Iblis Timur malah menambah penderitaanmu,"

Si nenek menatap Marni, walau dengan wajah rawan tapi kembali berucap.

"Pada awalnya akupun berpikir demikian. Aku merasa salah menilainya, mencintainya. Iblis Timur sudah mencampakanku dengan begitu gampang hanya dengan alasan kematian putra kami. Aku malah sempat berfikir dia menyalahkanku atas kematian bayiku. Itu sebabnya beberapa kali aku sempat berniat bunuh diri. Malah ada sedikit dendam ku rasakan pada suamiku. Setelah berfikir beberapa bulan akhirnya aku memutuskan untuk memperdalam ilmu kesaktian. Saat kepandaianku sudah tinggi hingga menandingi suamiku aku akan menantangnya untuk bertarung, untuk membuktikan bahwa aku bisa menjadi pendamping hidupnya dan pantas mencintainya. Sepuluh tahun aku berusaha keras memperdalam semua ilmu. Dan ketika kurasakan kepandaianku tinggi aku kemudian mencari Iblis Timur. Aku menantangnya, dan dia tidak menoaknya. Kami bertarung, tapi kepandaiannya semakin hebat, masih jauh diatasku dan aku kalah. Yang menyakitkan adalah, dia tidak pernah bicara padaku sedikitpun. Wajahnya datar saja dan tidak pernah mau menatap wajahku. AKu semakin dendam dan sakit hati. Kembali aku pergi menyepi diri. Dua kali aku bertemu lagi setelah menyepi dan menantangnya, tetap saja aku kalah. Hingga akhirnya setelah kalah dalam pertarungan terakhir kami, dalam keputusasaan aku pergi tanpa tahu kemana arah tujuan. Aku terpesat ke air terjun di sebuah hutan dan menemukan goa ini. Sejak itu dua puluh tahun yang lalu aku berdiam diri di sini sendirian. Aku memutuskan dan bersumpah tidak akan kembali ke rimba persilatan dan juga tidak akan meninggalkan goa ini sampai kematian datang menjemput."

"Apakah Nyai tidak merasa bosan terus-terusan diam di dalam goa sempit ini?"Tanya Marni terdorong rasa simpatinya. SI nenek tersenyum.

"Bagaimana tidak merasakan kesepian? Aku juga manusia, pasti merasakan hal itu. Tidak ada teman berbagi, tidak ada kawan di kala sepi. Sungguh menyedihkan. Tapi sumpah sudah aku ucapkan dan pantang ku langgar."

Geger ParahiyanganWhere stories live. Discover now