58. Goa Api Es

254 26 16
                                    



Tiga orang itu terus berjalan memasuki sebuah lembah yang di kiri kanannya tumbuh banyak tanaman perdu hijau. Setelah lebih dari sepenanakan nasi ketiganya berjalan, Tirta dan Sagita Devi dapat melihat bahwa mereka kini tiba di sebuah lembah di kaki gunung dengan pohon-pohon yang tumbuh cukup rapat. Ki Brahma terus berjalan dan kini berbelok ke arah kiri, mengikuti sebuah aliran sungai. Tirta maupun Sagita Devi terus menguntit dari belakang. Hingga sampailah ketiga orang ini di sebuah tempat yang di kiri kanannya diapit sebuah tebing batu tinggi. Ki Brahma tiba-tiba berhenti di depan sebuah semak belukar tinggi.

Tirta dan juga Sagita memperhatikan apa yang kemudian dilakukan si kakek sakti ini. Ki Brahma menggunakan kedua tangannya menyibakkan semak belukar tersebut. Dua orang di belakangnya terkejut ketika dibalik semak belukar terdapat sebuah lobang mulut goa lebar setinggi tubuh orang dewasa. Tanpa memperdulikan Tirta dan juga Sagita, kakek yang sebenarnya hanya raga pecahan Ki Brahma ini masuk ke dalam goa tersebut.

Kedua muda mudi ini sesaat saling pandang satu sama lain, tapi kemudian masuk mengikuti Ki Brahma memasuki goa tersebut. Ternyata lorong goa yang gelap itu tidak terlalu panjang. Sekitar sepuluh langkah berjalan, Tirta dan Sagita Devi sudah sampai di tengah goa yang ternyata selain cukup terang karena ada rembesan cahaya dari atap goa, bentuknyapun melebar dan cukup ditempati beberapa orang. Raga pecahan Ki Brahma saat itu agak jauh dari Tirta dan Sagita Devi sedang berdiri di depan dua buah batu datar persegi yang memiliki warna aneh. Yang disebelah kiri berwarna putih pucat dan yang di sebelah kanan berwarna merah menyala.

Ki Brahma membalikan tubuhnya menghadap ke arah Tirta dan Sagita Devi yang masih memandang ke sekeliling ruangan goa dengan pandangan takjub. Hawa dalam goa ini sering berubah-rubah, terkadang sejuk dan terkadang hangat.

"Tirta!" Terdengar raga pecahan Ki Brahma memanggil membuat Tirta juga Sagita Devi palingkan kepala ke arah si kakek."Duduklah kalian berdua disini."

Tirta dan Sagita Devi menghampiri si kakek dan duduk dihadapan Ki Brahma. Saat itu barulah dua orang ini mengetahui bahwa hawa sejuk dan hangat ternyata berasal dari dua buah batu aneh di belakang Ki Brahma.

"Seperti yang ku katakan tadi, aku menemuimu karena ada satu hal sangat penting yang harus ku sampaikan padamu, dan juga pada gadis cucu Datuk Merapi ini."

Tirta dan Sagita Devi diam saling pandang karena menunggu tentang hal apa yang ingin disampaikan orang tua sakti ini.

"Kemampuanku memecah raga memiliki batasan waktu hingga matahari terbenam nanti. Maka aku akan mengatakan hal penting itu satu kali saja. Kau dan gadis itu dengarkan saja apa yang akan ku sampaikan jangan banyak bertanya. Setelah itu kalian masing-masing memiliki kesempatan untuk bertanya. Apakah kalian mendengar ucapanku dengan jelas?"

Tirta dan Sagita Devi buru-buru anggukkan kepala masing-masing. Kemudian Ki Brahma lanjutkan ucapannya.

"karena suatu keadaan, peperangan antara jago golongan putih dengan kelompok Tengkorak Putih akan berlangsung dalam waktu tidak lama lagi. Di antara kelompok Topeng Tengkorak Putih ada dua orang yang memiliki kesaktian tinggi yang sulit dicari lawannya oleh kelompok golongan putih. Tapi aku memiliki firasyat kaulah yang akan bisa menghadapinya dengan Ilmu Panca Tunggal dan Raga Dewa Ngalih. Ilmu Panca Tunggal Dewa Bumi yang telah kau warisi dari mendiang Wira Geni memang pengembangan dari ilmu Raga Dewa Ngalih. Tapi ada beberapa bagian inti ilmu Panca Tunggal yang setelah kuselidiki ternyata belum sempurna meresap. Untuk berjaga-jaga akan kemungkinan terburuk maka kupikir kau harus menguasai kedua ilmu ini sekaligus sebelum kekacauan terjadi. Goa ini adalah goa yang pada puluhan tahun lalu pernah dipakai olehku untuk menguasai ilmu Raga Dewa Ngalih dan disebut Goa Api Es. Dan hanya tempat ini yang memungkinkan kau menguasai ilmu Raga Dewa Ngalih dalam waktu singkat."

Geger ParahiyanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang