// lost control

734 98 26
                                    

"Annaaa buka pintu udah tiga hari lo gak ngampus, lo mau sampe berbulan-bulan ngurung diri? Di dropout lo mau, hah?"

Aku terdiam, mengusap wajahku kasar dan menarik selimut tebalku ke seluruh tubuh tanpa peduli teriakan dari luar apartemen. "Na ayo dong lo gak kasihan apa gue di kampus sendirian? Naaa... gue bawa bubur nih, ayo bukaa makan bareng yuk!" Katanya masih berusaha membujukku dan seperti kemarin-kemarin, aku hanya diam tak menjawab seakan hatiku sudah sangat dingin.

"Na lo gak kasihan gue udah setengah jam disini berdiri teriak-teriak dilihatin tetangga lo, hah? Gue telpon siapa biar lo mau keluar? Bang Drico?"

Aku masih terdiam, tidak menjawab juga tidak peduli lagi. "Oke, gue udah gak tau lagi. Gue harap lo bakal berubah pikiran ya, Na. Gue harus ke kampus ada presentasi yang gak bisa gue lewatin. Have a nice day."

Lalu hening.

Seperti yang Keera bilang aku sudah 3 hari tidak ke kampus, tidak keluar, dan mengakitfkan ponselku. Kenapa? Tentu aku masih sedih akan kejadian satu minggu yang lalu dimana hubunganku kandas tidak jelas dengan Arden. Lelaki yang kupikir adalah lelaki terakhir yang akan mencintaiku, tapi ternyata aku lagi-lagi salah. Rasanya sangat lelah untuk kembali mengenal seseorang dari nol lagi, dan aku benar-benar di posisi sepertinya aku tidak akan bisa membuka hati lagi. Mungkin bahagiaku adalah dengan diriku sendiri, bukan dengan pasangan lagi. Kamu salah Cam.

Entahlah pikiranku sudah sangat kacau, aku tahu hidup bukanlah tentang percintaan masi banyak yang harus kuhadapi dan kulalui, umurku masi panjang, tapi sebelum aku kembali membuka hati pada Arden hidupku baik-baik saja tanpa 'cinta'. Menyesal? Sepertinya iya, aku menyesal membuka hati pada sosok lelaki yang tidak tahu diri. Harusnya aku lebih berhati-hati dan tidak terburu-buru.  Waktuku terasa terbuang-buang sekali. Tapi kalau boleh jujur Arden memanglah tipeku.

Aku menghela panjang, memilih untuk terbangun dan mencuci mukaku yang sangat bengkak karena menangis tiap hari berturut-turut. Aku menatap diriku di depan kaca, menatap setiap inci wajahku yang sudah sangat tidak terawat karena kantung mata yang membesar dan menghitam. "Liat tuh Na kelakuan diri lo. Bego banget bisa-bisanya luluh karena bullshit cowok?! Udah bukan anak SMA lagi, Naa... dongo banget ish." Omelku pada diriku sendiri di depan kaca dan lagi-lagi aku kembali menangisi diriku.

Aku menghela berat, menggeleng kepala tidak tahu apa yang aku lakukan sekarang ini. "Capeek... kamu gak bisa apa turun dari atas cuma buat peluk aku sekali aja Cam? Aku butuh banget pelukan kamu... aku capek cari sosok yang kamu maksud, sosok yang kamu bilang bahwa dia kebahagiaanku... nyatanya cuma kamu Cam... kamu satu-satunya yang buat aku bahagia." Tangisku kian pecah, nafasku tidak beraturan... ini benar-benar menyakitkan. Jujur sedih sekali melihat diriku kembali terpuruk seperti ini.

Aku menyerka air mataku kasar, berjalan ke arah kamar mengganti pakaianku dengan celana jeans longgar dan  memakai jaket abu-abu untuk menutupi tanktop yang kupakai. Aku meraih ponselku, memesan ojek online dan mengunci pintu apartemenku.

Sampailah aku di depan rumah bercat warna putih, tanpa banyak pikir aku memasuki rumah itu, mengetuk pintu berwarna coklat kayu agak kasar, lalu terbukalah pintu dengan cepat aku memeluk wanita paruh baya didepanku dengan tangisanku yang sangat pecah. "Maaaah... Maaah... Cameron manaaa... tolong Mah dia masih hidup kann? Maah aku capekk, aku maunya Cameron gak mau siapa-siapaa... Maaah... tolong Annaa jawab jujur Mah... tolongg..." Ujarku bergetar akan tangisku.

"Kakk... Kakk ini Athalaa... Kakak kenapa? Ayo masuk dulu yuk, jangan begini Kak..."

Aku tidak peduli aku masih memeluknya, "Kakk..." ia menarikku susah payah seraya menutup pintu, lalu mencoba menopangku ke ruang tengah dan membuatku terduduk di sofa masih dengan memeluknya. "Aduh... Maaah! Mamaah ada Kak Annaa Mah...!"

Metanoia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang