// kencan? (2)

3K 192 20
                                    

Kami keluar dari restoran itu dengan perut sedikit belum puas untuk makan malam, tapi sungguh makanan disana sangatlah unik hanya saja untuk perut Indonesia sepertiku sepertinya kurang masuk saja begitupun Arden tampaknya. Aku memasuki mobil Arden, wangi sekali dan bersih. Senyumku mengembang sedari tadi, aku sangatlah senang hari ini seperti hari yang penuh makna bagiku. Arden tampak menyalakan mobilnya dan memandang ke depan terlihat bingung. "Oit! Kenapa lo?" Tanyaku.

Arden menyengir, "Gue belom kenyang anjir, udah malem juga lo pasti gak mau makan kan," ujarnya disana membuat pikiranku langsung menangkap ucapan Arden. Aku jelas menyengir mendengar itu, rumor basi untukku. Mungkin untuk sebagian perempuan makan malam adalah hal yang dosa, entahlah beberapa temanku juga bilang seperti itu. Tapi untukku itu tidak berlaku, aku tidak akan bisa tenang bila perutku masih mengemis minta makan.

"Apaan sih, masih aja ngomong begituan. Gue mau lah makan mau malam kek, pagi, orang gue laper masa di tahan. Gak sejahtera hidup gue, hidup cuman sekali," kataku walaupun aku agak merutuki ucapanku karena prinsip itu juga berat badanku bertambah. Pipiku sangatlah besar, aku bisa melihat bagaimana lemakku bergelantungan di lenganku. Tapi bodonanan dengan itu, yang penting aku kenyang. "Hah?! Serius lo? Lah yaudah ayo kita pesta malem, mau seafood, junkfood, atau angkringan?"

Senyumku makin mengembang melihat energi positif Arden disana. "PECEL AYAM FOR LYFE!" teriakku sama semangat.

"OLRAITT, LEGOOO!!!"

🖤🖤🖤

Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam dan aku masih terduduk menatap piring kosong di depanku dengan tatapan kosong. Benar-benar aku seperti orang bodoh sehabis makan dua piring nasi sementara Arden tampak menghisap rokoknya dengan tatapan kosong. Sepertinya kami benar-benar kenyang bego. "Naa, sehat?"

Aku menoleh sebentar menatap Arden lalu menggeleng dengan tanganku yang mengibaskan tangan ke udara membuat lelaki itu terkekeh. "Sumpah gue kenyang banget emang paling bener dah makan pinggiran," ujar Arden terdengar menyesal akan plan nya hari ini.

Aku tertawa membenarkan dudukku, "Tapi sumpah gue tetep seneng kok sama plan lo, juga baru pertama kalinya gue ke restoran kayak gitu jadi lumayan punya cerita kalau orang nanya,"

Arden tertawa dengan anggukan kepala dan kembali menghisap rokoknya sebelum ia injak. "Yuk pulang," katanya sudah berdiri menyodorkan tangannya membantuku berdiri dari duduk. "Apaandah dikira gue apaan kali sampe diginiin," protesku membuat Arden kembali tertawa. "Kan kenyang bego," katanya lagi dibalas dengusan olehku.

Malam itu jalan pulang kerumahku sangatlah ramai ditambah lagi ponselku berdering sedari tadi dari Bang Drico. Aku mengangkat panggilan tersebut dan dibalas omelan dari seberang sana. "Heh! Lo ya sekarang jadi bandel banget ditelpon gak bisa, kemana sih lo?! Gue udah di apartemen lo ini,"

Aku melongo kaget mendengar ucapan Bang Drico karna pasalnya aku tidak tahu kalau Bang Drico akan ke Jakarta apalagi ke apartemenku, dan lebih yang membuatku merinding adalah aku sedang bersama Arden. Aku menatap Arden disana yang ikut menatap heran. "Hah—eh? Lo dimananya?"

"Lobby lah kan ke atas harus make kartu, cepet apa lagi diluar lo, ya?! Jam segini masih ngelayap?!" cerocos Bang Drico layaknya ibu-ibu kostan. Bang Drico jadi lebih over kepadaku semenjak kepergian Cameron dia selalu jadi lebih tegas dan cerewet karena takut aku melakukan hal konyol walaupun jujur aku pernah hampir ingin bunuh diri, ya gila bukan? Itulah aku satu tahun yang lalu. Sangat hancur.

"Yaudah tunggu situ aja," jawabku singkat.

"Apaan? Parkiran? Oke, gue tunggu."

Dan sambungan terputus.

Metanoia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang