// pengungkapan rasa

2.4K 163 28
                                    

"Dan abis itu mereka coba pendekatan lama karena Ivana punya trust issue jadi agak susah sampai akhirnya bulan mei mereka baru benar-benar pacaran." ujar Gaffriel mengakhiri cerita.

Aku terdiam cukup lama menafsirkan bagaimana cerita Gaffriel tentang Cameron di masa lalu. Aku membayangkan bagaimana rasa sakit Cameron kala itu melihat orang yang ia sukai dengan tulus lebih memilih dengan sahabatnya sendiri, mungkin rasa sakitnya sama sepertiku saat ini. Aku menghela cukup panjang juga mendengar Gaffriel menceritakan bahwa Aldo menyalahkanku jatuh cinta dengan perlakuannya, sungguh Anna yang malang. Mungkin bila tau begitu aku akan memilih untuk memutuskan hubunganku. Entahlah. Ini kenyataan yang cukup sulit untukku terima lagi dan lagi. "Pasti Ivana bahagia banget sama Cameron." gumamku.

"Mereka bahagia Na, bukan Ivana doang," kata Gaffriel membenarkan.

Aku mengangguk setuju. Ivana perempuan yang beruntung bisa dicintai oleh Cameron segitu dalam, dan aku kesalahan yang fatal di hubungan mereka. Ivana berhak melanjutkan kebahagiaannya, tapi kalau tidak begini juga aku tidak akan bisa dicintai dan mencintai Cameron. Hidup memang tidak adil. "Kalau lo... gimana bisa sama Shanon?" Tanyaku menyadari Gaffriel tidak cerita banyak tentang bagaimana ia bisa menaklukan seorang Shanon.

Aku bisa melihat senyum simpul Gaffriel disana, ia masih sangat mencintai Shanon layaknya aku pada Cameron. "Dia... beda Na dia perempuan yang sangat periang, jadi kalau di dekat dia pasti ikutan kebawa suasana Shanon,"

"Terus?"

"Gitu deh, kepo lo," ujarnya seraya mengambil ponselnya di saku celana. Aku mendelik kesal dengan Gaffriel yang masih sedikit dingin padaku, mungkin karna sudah lama merubah diri sifat barunya jadi agak melekat di Gaffriel. "Lo dulu asik ya makanya Shanon suka sama lo? Lo pendekatannya lama juga, ya? Lamaan lo atau Cam?" Tanyaku berubi-tubi membuat Gaffriel mengalihkan tatapannya padaku.

"Lo suka sama gue ya?"

Aku membulat mata tidak percaya akan pertanyaan konyol Gaffriel. "Hah?! Kok jadi geeran sih?"

Ia menggidik bahu, "Lagian gue ceritain Cameron lo jadi nanyain gue."

Aku mendengus menatapnya tidak percaya, memangnya salah ingin tau bagaimana masa lalunya? Aku kan tidak tau banyak soal dia. "Lah, emang kenapa? Gak boleh?"

"Boleh, tapi kan gak ada untungnya lo tau,"

Aku menghela sabar akan sikap Gaffriel, tapi memang benar sih untungnya di aku tidak ada. "Lama banget Drico,"

"Keluar dulu kali sama Bunda soalnya gue nitip beliin cemilan gitu,"

"Oh, pulang kapan?"

"Besok kayaknya, kenapa?"

"Nanya doang. Yaudah gue pamit ya, ada urusan,"

Aku menautkan alis mengingat seorang Gaffriel mempunyai urusan penting? "Oh lo punya urusan penting juga ternyata,"

"Iya, gak boleh?"

"Yaa... boleh... gue kira lo gak punya temen,"

"Kalo gue gak punya temen lo apa? Dajjal?"

Aku memukul cepat lengan Gaffriel mengingat mereka sedang dirumah sakit dan sudah malam. Kurang ajar sekali meninggalkanku di kamar rumah sakit sendirian setelah mengucapkan hal-hal aneh. "Ish Gaf! Lagi di rumah sakit anjir,"

"Lo takut?"

"Nggak gituuu! Jangan asal ngomongnya ih,"

"Lemah. Yaudah ah, telat gue ntar,"

"Mau ketemu siapa sih? Mentri? Pejabat?"

"Om-om." Ujarnya lalu melenggang pergi meninggalkankuu.

Metanoia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang