// promise

660 87 12
                                    

Sore itu hujan turun cukup deras dengan angin yang kencang membuat Arden terhambat untuk pulang ke kostannya. Aku mengambil selimut dari kamar membawa ke ruang tamu agar kami bisa menonton film seraya berselimutan di bawah AC apartemenku. Jujur ini seru tapi aku kasihan dengan Arden karna tidak bisa pulang cepat mengurus skripsinya. Arden menoleh menatapku dan meraih selimut besar di lenganku, "Ih ujannya awet banget Na kalo gak berhenti sampe pagi gimana?" Tanya Arden cemas.

"Lagian bukannya parkir di Lobby kamu," sahutku tenang.

"Ya, kan, niat cuma mampir sebentar sayang emangnya aku dukun tau bakal hujan,"

Aku menyengir kuda, "Yaudah ih di syukurin aja ada berkahnya tau,"

"Apaan?"

"Dih?!"

"Hah? Ditanya malah dih,"

"Ish malesin banget."

Arden menatapku bingung tetapi tidak ia ambil pusing, ia memilih untuk mencari film yang seru untuk kami tonton. Aku berdecak melihat respon Arden layaknya Gaffriel yang tidak peka dan dingin, padahal disaat hujan dan berduaan begini asik untuk saling romantisan. "Yaudalah ya yang penting aku bisa berduaan sama kamu," ujarnya dengan wajah polosnya. Aku mengernyit, ini yang kumaksud tapi kenapa tadi responnya malah beda? Menyebalkan.

Aku mendengus, menarik selimut hingga dagu dan menatap lurus ke depan TV. "Kenapa kamu?" Tanya Arden sesekali melirik ke arahku. "Enggak... ini jadi mau nonton apa?"

"Ini aja kali ya film nangis galau,"

"Romantis?"

"Iya kaya kita,"

"Apanya?"

"Romantis kaya kita,"

Aku mengigit bibirku menahan senyum agar tetap terlihat seperti sedang marah tetapi sialnya Arden melihatku dan berdecak. "Alah segala ditahan senyumnya,"

Tapi tiba-tiba saja otak randomku dengan konyol mengingat pembicaraan tempo lalu dimana Arden bilang bahwa ia akan ke Belanda dan mengajakku ikut dengannya. Tenggerokanku seketika kering membuatku berdeham cukup keras dan membenarkan duduku. Arden menoleh padaku dengan alisnya menaik, "Mau minum?"

Dengan cepat aku menggeleng dengan helaan berat. "Nggak, gapapa."

Sudah seminggu dan tinggal 1 minggu lagi Arden akan sidang sementara topik pembicaraan kami tergantung begitu saja tanpa Arden perpanjang, entah karena lupa atau tidak enak padaku untuk ia bicarakan. Beberapa hari ini tingkah Arden tidak berubah sih, hanya saja terkadang ia sibuk dengan skripsi dan baru hari ini lagi kami benar-benar bertemu dengan durasi lama, biasanya hanya sekedar menjemputku ke kampus dan makan bareng, bahkan 2 hari kemarin ia hanya mengantrku ke kampus sisanya kami luangkan waktu berdua di telfon. Mungkin ini waktunya untuk di bicarakan? Entahlah.

"Arden... udah mau nonton?" Tanyaku memulai pembicaraan membuat lelaki itu menatapku cepat seakan terkejut dengan pertanyaanku. "Iyaa... kenapa? Mau ada yang dibicarain?" Tanyanya.

Aku menghela, meraih remote TV, menaruhnya di atas meja lalu menatap serius ke arah Arden. "Den... ngobrol bentar yuk. Udah lama kita gak ngobrol tatap muka begini, kamu juga pasti sadar ada yang belum beres," kataku tegas.

Arden mengusap wajahnya, berdeham beberapa kali lalu mengangguk. "Iya nih," sahutnya singkat membuatku terkejut akan tanggapannya tetapi tidak kuambil pusing. "Seminggu lagi Arden sidang, ya? Udah pasti banget lulus nih yaa... amiinnn..."

Arden dengan senyum sumringahnya tersenyum lebar sambil mengacak rambutku gemas, "Aminn sayang, aku yakin banget sih biar bulan depan Wisuda,"

Aku mengangguk ikut senang. "Terus ke Belanda, ya?"

"Iyaa..."

Aku menghela, jujur seminggu ini aku sudah berpikir sangat panjang dan pasti dengan keputusanku. Jujur aku takut tapi ini keputusan bulatku untuk ajakan Arden, aku tidak bisa menunggu lama dengan jawaban bulatku karena keputusanku sangat berpengaruh dalam hubungan kami. Aku mengangguk cukup lama sebelum mengucapkan kata-kata yang entah detik selanjutnya aku akan menangis atau bahagia dengan respon Arden. Tapi inilah jawabanku, jawaban yang sudah bulat kuambil. "Aku enggak bisa ikut kamu, Den. Aku minta maaf." Ujarku cukup tegas.

"Aku tau itu jawabanmu kok,"

Aku mendongak cepat menatap wajah Arden, "Terus?" Jujur bila jantungku bisa loncat mungkin saat itu juga sudah keluar dari tubuhku dan loncat keliling apartemen. "Aku gak bisa LDR, Na,"

Detik ketiga mungkin tangisku pecah tetapi ucapan Arden cukup membuat tangisku tertahan dan tersenyum lebar. "Tapi aku sayang sama kamu jadi aku akan usaha buat terus sama kamu Anna." Ia menarikku dalam dekapannya yang sangat erat memelukku, begitupun aku membalas pelukan hangat Arden.

"Sama-sama kita jalanin ya, Den. Aku percaya sama kamu," kataku dalam tangis, ya aku cengeng masalah begini. "Iyaa, yaudah ayo lanjut nonton aja yuk. Jangan menye-menye ah gak bisa aku," kata Arden langsung mengambil remote TV dan memulai film.

Aku memeluk erat lengan Arden, menyenderkan kepalaku yang ikut ditimpa oleh kepala Arden. "Jangan tinggalin aku ya, Na?"

Aku melirik ke arah Arden, "Enggak, enggak akan."

"Minggu depan aku sidang skripsi kamu harus dateng, ya? Pokoknya aku gak mau tau kamu dateng."

"Iyaaa Arden, aku pasti dateng kan kamu lulus,"

"Amiinn..."

"Amin."

Malam itu kami meluangkan waktu berdua kami hingga entahlah aku tertidur setelah setengah film berjalan, aku merasa hangat dalam dekapan Arden tanpa berpikir hal yang negatif untuk hari ini saja. Minggu depan... jujur tidak rela membiarkan Arden pergi ke Belanda bila ia lulus dari sidang skripsinya hanya saja setidaknya hubungan kami tetap berjalan, semoga saja ini keputusan yang baik.

☄️☄️☄️

tbc.

Metanoia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang