// masa lalu

1.6K 138 38
                                    

Aku menatap lurus ke depan memperhatikan dua laki-laki yang tengah berlari kesana-kemari untuk merebut bola tangan yang sedang di pegang oleh Dylan. Oh ya, Dylan adik Arden yang membuatku terpana oleh wajah tampannya apalagi ketika tersenyum... sudahlah aku bisa gila bila memikirkan adik Arden itu. Jam empat nanti aku akan bertemu Bang Drico dan Kak Syira kuharap mereka tidak ada acara mendadak sehingga membuatku tidak bisa bertemu mereka, aku ingin sekali bercerita kepada Kak Syira bahkan sudah kubayangkan bagaimana reaksi Kak Syira pas tau aku membawa Arden.

"Na! Gak mau ikutan?" Teriak Arden dari lapangan membutku tersentak. "Enggak ah panas," sahutku dari ujung lapangan.

Arden melempar bola basketnya asal dan berlari ke arahku dengan kedua lengannya yang sudah terbuka lebar berniat memelukku dengan penuh keringat, segera kuhindari pelukan Arden yang berniat memeperkan keringatnya padaku. "Ardeeeennn! Bau ishhh gak mauu sanaa ah capeeek!" Teriakku mengelilingi lapangan seraya berlari sekencang mungkin hanya saja Dylan entah darimana menutup jalanku tiba-tiba sehingga aku terjatuh menabrak dada bidang Dylan. Oh Tuhan... aku mimpi apa?

"Eleh! Kok jatoh hahahh!" Tawa Dylan disana tidak berniat membantuku ataupun meminta maaf sedikitpun. Jujur aku belum berkenalan lebih jauh dengan Dylan, bahkan kami belum sempat mengobrol tapi tiba-tiba Dylan mencoba berinteraksi padaku.

"Si Dylan belegug," ujar Arden dengan tawanya, ia berjongkok menatapku tengah meringis sakit memegangi hidungku. "Ish durhaka lo semua sama gue!"

Arden masih tertawa memukul paha Dylan, "Minta maaf bego cewek gue ngambek noh, di adu lu ntar sama dia mampus," Dylan kembali tertawa seraya mengulurkan tangannya padaku, "Maaf Kak gak sengaja aing teh, niat mau meluk juga eh malah kejedot sia," jelasnya dengan nada Sunda diiringi suara berat halusnya membuatku merinding. Jujur.

Aku berdeham, mengapa suasananya seperti di novel-novel yang kubaca sih. "Gak gue maafin." Kataku seraya meraih tangan Dylan hanya saja detik selanjutnya lelaki itu melepas pegangannya membuatku kembali tergeletak jatuh. "Anjirt!" Pekikku.

"Yaudah kalo gak mau mah gak aing bantuin berdiri," ujarnya lagi.

Arden tertawa melihatku kembali terjatuh, "Jahat lo Dyl, ntar lecet di marahin bapaknya aing goblok!"

"Lecet gak Kak? Aman kan?" Tanya Dylan kepadaku memastikan.

Aku mendengus memilih berdiri tanpa satu katapun. "Mau minum gak? Biar gue beliin di warung," tawarku memilih mengganti topik lagi pula aku hanya bercanda dengan mereka. "Boleh, aing mau air jernih aja," pinta Dylan membuatku mengernyit. "Jernih?" Tanyaku bingung.

"Iya jernih. Kan air jernih bukan putih atuh Teteh,"

Aku menggeleng kepala dengan kekehan, "Terserah dah ah, kamu mau apa?" Tanyaku kali ini kepada Arden.

"Gak usah dah aku aja yang beliin, sekalian mau beli rokok bentar kamu disini aja sekalian di sembuhin dulu tuh hidung nya, bengkok kagak? Mau di panggilin ambulan?" Aku mendengus, "Kurang ajar lo ya Den, biarin aja biarr," sahutku di balas tawa lalu mengicir pergi meninggalkan aku dengan Dylan di lapangan basket.

Aku berjalan ke pinggir lapangan tempat tadi menunggu Arden dan Dylan bermain basket. Aku duduk diikuti oleh Dylan duduk di sebelah kananku seraya mengusap keringatnya dengan handuk yang ia bawa. Suasana menjadi kaku memang sepertinya mulutku seakan di steples bila berhadapan dengan cogan dan aku malu mengakui mempunyai kelebihan seperti ini. Nggak deng bohong, itu bukan sebuah kelebihan justru kekurangan bagiku. "Kakak mau dipanggil Teteh apa Kakak sama gue?" Tanya Dylan tiba-tiba membuatku tersentak kaget.

"Kakak aja tapi kalo lo suka ngomong logat Sunda gitu Teteh juga gapapa," jawabku melirik sebentar ke arah Dylan yang masih sibuk mengusap keringat dengan handuk.

Metanoia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang