// be friend

5.1K 323 18
                                    

Aku membulat mata tidak percaya siapa yang Arden tangkap, jantungku berdetak masih kencang walau kenyataan nya masih sama bahwa dia bukan Cameron. Aku segera mendorong bahu lelaki itu kasar dan menangis entah mengapa. "Gaffriel! Kok lo tega, sih!" Jeritku dalam tangis.

Gaffriel mencoba melepaskan cengkraman Arden, "Lepasin gue." Kata Gafriel singkat dan tegas seperti biasa. "Anna dia siapa?" Tanya Arden masih belum mengerti keadaan apa yang terjadi. Aku berjongkok menenggelamkan wajahku dalam tangis.

"Lepasin aja, Den,"

Entahlah itu siapa yang menarikku dalam pelukan, aku masih mencoba menutupi wajahku yang masih menangis. Drama sekali bukan? "Elo kenapa?" Oh, ternyata Gaffriel yang menarikku dalam peluk.

Aku cukup terkejut, "Gak usah meluk gue!" Teriakku.

"Lo boleh ninggalin kita berdua?"

Aku segera mendongak menatap Gaffriel tidak percaya, mengapa Arden harus meninggalkan aku bersama dia? Aku punya janji dengan Arden. "Apa, sih lo!" Aku segera berdiri di sisi Arden. "Nggak usah sok kenal," Sinisku.

Arden menatapku beberapa kali, mungkin ia mencoba menafsirkan apa yang terjadi. "Anna batalin aja hari ini, kayaknya elo sama cowok ini ada masalah yang harus di selesaiin," Arden menjauhkan diri dariku. "Gue duluan, ya? Kabarin gue kalo udah di apartemen," Lalu dia pergi meninggalkanku bersama Gaffriel.

Apa dia marah? Entah, tapi terlihat Arden mencoba mengerti. Aku langsung menatap Gaffriel kesal akan apa yang dia lakukan hari ini. "Lo ngapain lari? Segala make jaket hitam sampe bawahan nya juga," Tanyaku penuh penekanan. Dia menatapku biasa seperti biasa, tidak memperlihatkan wajah nya yang panik ataupun grogi.

"Gue kaget jadi refleks," Ujarnya singkat.

Aku memutar bola mata, "Terus kenapa lo suruh Arden tinggalin lo sama gue? Lo ada perlu apa sama gue?"

Gaffriel mendekat ke arahku, "Ada yang pengen gue omongin sama lo."

✨✨✨

Suasana kafe siang hari yang ramai, di atas mejaku sudah ada dua kopi dingin dan juga makanan ringan biasa yang kafe sediakan. Aku menikmati makanan tanpa ingat apa yang harus di bicarakan. "Mau pesan lagi?"

Aku mendongak menatap Gaffriel yang menatapku begitu intens, dan lagi makanan Gaffriel belum di sentuh sama sekali. "Enggak ah, abisin dulu," Jawabku yang berarti nanti aku akan memesan lagi.

"Gue mau ngomong sama lo," Katanya.

Akupun mengalihkan tatapanku pada Gaffriel, "Apaan?"

"Gue mau jadi teman lo."

Aku menatap wajah Gaffriel heran, tetap saja wajah lelaki itu tidak memperlihatkan serius atau tidak nya karena begitu datar. Dan aku sedikit terkekeh akan ucapan formal Gaffriel yang ingin menjadi temanku. "Yaudah, kok ngomong-ngomong?"

"Lo bilang gak suka sama sifat gue yang nggak banyak omong, gue pikir itu alasan lo selama ini nggak suka kalau ada gue,"

Aku mengibaskan tanganku ke udara seraya tertawa. "Ya, itu salah satu faktor nya. Cuma, ya, selama lo—"

"Gue mau lo ngubah gue, Na," Potongnya cepat.

Aku mengernyit heran, "Ngubah lo?" Dia bicara apa, sih?

"Iya, biar lo suka sama gue,"

"Suka sama lo?" Lagi-lagi aku membeo dengan ucapan Gaffriel yang kurang bisa otakku tangkap. "Suka biar jadi teman," Lanjutnya lebih menjelaskan.

"Gue kan enggak berhak ngubah lo, soal berubah itu kan tergantung di diri lo. Kalau lo emang begitu sifat nya masa harus berubah? Bagaimana pun itu diri lo,"

"Gue juga ngerasa aneh," Timpalnya cepat.

"Terus gue harus ubah lo gimana? Gue kan bukan ahli pengubah sifat orang?"

"Cukup lo selalu sama gue makin lama gue akan berubah, gue akan mulai terbiasa sama lo yang banyak bicara, kayaknya cukup?"

"Lo mau gue selalu sama lo?"

"Ya,"

"Ta-tapi kan—"

"Arah kampus? Gue usahain bisa antar jemput lo. Rumah gue juga dekat dari apartemen lo,"

Aku menggeleng cepat, begitu cepatnya kah dia berpikir? "Bukan, Gaffriel! Gue punya kehidupan enggak mungkin selalu sama lo terus,"

"Memang nya gue bilang setiap detik sama gue?" Tanya nya lagi menohok hatiku.

"Ish, pusing ngomong sama orang pinter. Udah deh gak usah ngomong, otak gue lelet," Ujarku kesal karena pembicaraan Gaffriel denganku terkadang tidak sampai entah dengannya dan denganku.

Dia menatapku heran mungkin karena ucapanku yang lagi-lagi tidak sampai ke otak lancarnya. "Maksud gue lo sama gue terus pergi bareng, tapi tetap buat janji dulu, Na," Kekeuh Gaffriel memperjelas ucapannya.

Aku menghela, "Kenapa lo yakin—"

"Lo mau nggak, itu aja."

Aku kembali menghela kali ini aku menghela kasar. Mungkin dirinya merasa bahwa tidak aku saja yang merasa risih dengan sifat es balok yang dimiliki nya sejak dari janin mungkin? Tapi pilihan untuk mengubahnya adalah dengan cara aku terus bersamanya, apa akan berjalan lancar? Kenapa dia begitu yakin, secara Kak Ben saja sudah cukup bawel bagiku melihat belakangan ini dia semakin gemar menasehatiku.

"Ngomong sama tembok, ya gue?" Ujarnya lagi merasa aku tidak memberi jawaban.

"Cukup, Gaffriel. Iya, gue mau. Capek batin kalau lo begini terus, oke kalo lo merasa gue bisa bantu lo," Jawabku.

Dia mengangguk, "Yaudah, lanjut makan,"

Detik selanjutnya dia baru memakan makanan pesanan nya. Aku mengernyit heran akan tingkah Gaffriel yang membuatku harus memutar otakku berkali lipat untuk mengerti sifatnya. Unik juga pikirku, tapi melelahkan batin juga.

Mobil Gaffriel berhenti di depan apartemenku, aku turun dan Gaffriel membuka kaca nya tanpa perlu kuketuk dahulu. Aku memberi senyum walau percayalah terpaksa sekali. "Maka—"

"Besok ada kelas jam berapa?" Tanya Gaffriel tanpa membuarkan aku menyelesaikan ucapanku dahulu. Begitu baik sekali dia. "Gak tau belum liat," Jawabku seadanya.

"Oke, nan—"

"Mulai besok kalo orang ngomong dengerin dulu apa, Friel elah kesel gue sama lo." Potongku cepat. Biarin saja dia marah sampai meledakpun, dia saja memotong ucapanku lebih cepat. Menyebalkan.

"Oke, maaf. Kalo gitu kabarin, gue duluan,"

Aku terdiam menatap nya tanpa menyahuti Gaffriel. Aku tetap berdiri menunggu mobil Gaffriel pergi meninggalkan lingkungan apartemenku, tapi tampak nya hingga detik ke sepuluhpun dia masih membuka kaca menatapku. Aku di buat heran. "Lo mau nginep?" Tanyaku heran.

"Katanya nunggu orang ngomong dulu nggak boleh motong," Jawabnya begitu polos. Percayalah itu tidak seperti bocah berumur 2 tahun yang sangat lucu, tapi polos Gaffriel inginku unboxing mobilnya selayak vidio unboxing motor Scoopy yang viral belakangan ini. "Emang gue mau ngomong?"

"Kan ucapan gue bisa di jawab sama lo,"

"Maksud lo?"

"Lo bisa sahut, hati-hati atau terimakasih ke gue," Katanya lagi.

Cukup lucu. Aku tertawa kecil dengan tingkah Gaffriel yang lugu atau sok lugunya itu. "Kesan nya mau di sahutin banget, ya?"

Dia menggidik di sela kaca yang menampakan dirinya di bangku mengemudi. "Oh, lo nggak mau sahutin?" Tanya nya lagi.

"Enggak. Tapi karena lo mau gue sah—"

Dan yap, mobil Gaffriel pergi begitu saja meninggalkanku yang belum selesai mengucapkan kataku. Mungkin untuknya jawaban 'tidak' ku cukup membalas pertanyaan nya. Sungguh tragis diriku kedepan nya karena harus mengasuh bayi tua digin macam Gaffriel. "GUE BELUM SELESAI NGOMONG, RAFLESIA ARNOLDI!!!" Teriakku di sela jalan raya yang begitu ramai.

Metanoia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang