30. Hari Akad

101 21 0
                                    

Hari bersejarah besar dalam hidup Caca akhirnya akan terjadi. Di jam sembilan pagi gadis itu bersimpuh di depan meja rias dengan didampingi seorang MUA terkenal. Sengaja Ismail gunakan perias yang memiliki bayaran mahal, katanya sih agar tak memalukan. Pria itu tak mau membuat para tamu kecewa dengan make up sang putri yang kurang memuaskan. Apalagi, akad dilangsungkan di ibu kota Indonesia. Sementara Caca hanya diam wajahnya dipolesi berbagai warna. Kesedihannya masih terlukis. Ia masih menduga jika hari ini adalah mimpi yang menghiasi tidurnya.

"Mbaknya coba senyum. Saya mau pakaikan blash on, biar merata soalnya," titah wanita di samping Caca.

Gadis berpakaian serba putih di sana mengikuti apa yang dikatakan sang perias. Caca memancarkan senyuman hampa. Raganya ada di kamar yang terletak di lantai dua itu, namun jiwanya di tempat lain. Bahkan kecantikannya sedikit memudar karena tatapan kosong dari sang netra.

Sementara di lantai dasar, Ismail melirik arloji branded berwarna silver untuk yang ke sekian kalinya. Waktu akad yang direncanakan sudah terlewat. Pria itu berjalan menuju pintu rumahnya, menatap ke segala penjuru arah. Laki-laki muda yang ia harapkan jadi menantu, tak kunjung datang juga. Para tamu sudah menunggu. Di dalam juga sudah ada penghulu. Kemana sebenarnya Samudra?

Ismail kembali memasuki rumahnya yang sudah terhias. Berbicara kepada sang penghulu dan kepada para tamu. Ia berencana akan menjemput mempelai pria beserta sang keluarga. Ismail tak bisa menunggu lagi, sangat tak bisa.

"Sebenarnya pernikahannya bakal dilanjutin ga sih? Saya udah jenuh banget ini," ujar seorang wanita yang mengenakan kebaya merah.

"Gatau tuh jeng. Kayanya sih batal," balas wanita berambut coklat disampingnya dengan kebaya ungu tua.

Setelah beberapa lama ditinggalkan, ruangan yang semula hening menjadi riuh. Para tamu dengan mulut ember mulai berbincang asal. Mereka mengutarakan kalimat apa saja yang ada dalam benak. Sang pemilik acara juga tak ada di sana. Sebenarnya mereka ada untuk apa?

Semenjak make up usai menghiasi wajah cantiknya, riasan itu tak terlihat indah karena terbasahi air mata. Sepeninggal sang MUA dari ruangan, Caca langsung mengeluarkan semua cairan bening yang sudah mengantre. Ia menatap pantulannya di cermin, terlihat seperti apa yang dibilang Ammar; jelek. Berbicara tentang Ammar, pemuda itu masih belum menjawab pertanyaan Caca hingga sekarang.

Pernah sempat terlintas dalam benak Caca, hidup bersama dengan Ammar, menimang anak bersama, hidup di bawah atap yang sama, dan saling mencintai. Namun sepertinya itu hanya khayalan saja. Impiannya untuk menikah dengan sang pangeran seketika sirna terbawa oleh embusan angin.

"Sah."

Tangisan Caca semakin pecah setelah mendengar satu kata yang diucap banyak orang. Dengan begitu, seorang Khalisa Syafa Faradina telah resmi menjadi istri dari Samudra, lelaki yang tak dicintainya. Caca meletakkan tangan kiri di depan hidung dan mulutnya. Tangisan yang semula hening, kini terdapat sebuah isakan kecil.

Sementara di mulut pintu penghubung ruang rias dan bahu jalan, berdiri seorang pria berpakaian seperti sang wanita di dalam kamar. Dilihat dari belakang, postur tubuh pria itu sangat tegap. Pakaian serba putih yang membalut tubuhnya begitu indah, apalagi dengan tambahan peci putih serta kain batik yang mengitari pahanya. Detik berikutnya, pria itu mendekati Caca yang masih setia di tempat. Tiap langkahnya terasa sangat lambat, membuat Caca yang hanya bisa melihat pantulan kaki sang pria menutup rapat kedua netra.

"Assalamu'alaikum Syafa. Mengapa kamu menangis dan menutup mata?" ujar pria itu begitu tiba tepat di belakang Caca.

Gadis itu membuang napas kasar lewat mulutnya. Suaranya pria itu tak asing baginya. Lalu nama siapa yang pria itu panggil? Isakan tangis pun semakin keras. Caca membuka matanya dan membalikkan badannya. Ia menatap wajah pria itu yang tersenyum manis padanya. Begitu tulus hingga terasa menyejukkan.

Pangeran Impian✓Where stories live. Discover now