7. Benih Cinta

145 39 7
                                    

Gadis itu kini tengah sibuk dengan alat tulis di kamarnya. Tak ada orang lain disana selain dirinya sendiri yang masih terbebas dari kegiatan belajar mengajar dan teman-temannya saat ini sedang ada kelas bahasa Arab.

Ditulisnya huruf hijaiyah satu per satu. Dan dapat di buktikan bahwa tulisan Arab Caca memang belum cukup untuk dikatakan sempurna. Jika saja bukan karena Ammar, Caca sama sekali enggan untuk melakukannya.

Caca mendongak dan menghentikan pekerjaanya saat mengetahui ada seseorang yang masuk ke dalam kamar.

“Eh Sayu... kelasnya udah selesai?”

“Udah,” jawab Sayu singkat tanpa melihat ke arah Caca.

Tak lama santri lain penghuni kamar B-37 berdatangan. Tetapi orang yang Caca butuhkan belum hadir di antara mereka.

“Yasmin dimana Yu? Kok dia nggak ada sih?”

“Yasmin lagi ke depan sama Raida, disuruh beli sapu sama ustadzah Nur.”

“Emangnya ada perlu apa sama Yasmin?” tanya Sayu penasaran.

“Aku mau tes surat Al-Falaq ke dia, soalnya belum terlalu lancar,” ujar Caca riang semberi memutar-mutakan pulpen yang ia pegang.

“Sama aku aja yuk...” ajak Sayu dengan sedikit senyuman di wajahnya.

Caca kemudian beranjak dari tempat kediamannya dan mendekati Sayu yang tengah duduk di kasurnya.

A’udzu billahi minas-syaitonir-rajim... Bismillaa hirrahmaa nirrahiim... Qul a’uuzu birobbil-falaq... min syari ma kholaq... wa min syarri naffa---”
Sayu menggelengkan kepala, “Salah. Ulang lagi.”

Sudah hampir 10 kali Caca mengulang surat Al-Falaq, tetapi dirinya masih belum bisa mengucapkan dengan benar.

A’udzu billahi minas-syaitonir-rajim... Bismillaa hirrahmaa nirrahiim... qul a’uuzu birobbil-falaq... min syarri ma kholaq... wa min syarri ghoosiqin izaa  waqob... wa min syarrin-naffasaati fil-‘uqod... wan min syarri haasidin izza hasad...”

Sayu tersenyum, “Nah itu baru betul. Ingat-ingat ya soalnya waktu isya masih lama.”

----

Seusai shalat isya berjamaah, kini di dalam masjid An-Nabi hanya ada beberapa santri yang akan melakukan test hafalan. Di wilayah depan masjid ada santri putra bersama ustadz muda bernama Ruhya selaku ketua komite keamanan putra. Dan di bagian belakang ada santri putri dengan ditemani ustadzah Nur selaku ketua komite keamanan putri. Santri putra dan putri keduanya terpisahkan hanya dengan selembar kain besar sebagai pembatas.

“Silahkan, giliran kamu.”

“Baik ustadz.”

Antum setor surat apa?”

Ana setor surat Al-Muzzammil Ustadz.”

Dapat didengar dengan jelas oleh Caca perbincangan kedua orang di depan sana. Dahi Caca mengerut saat santri putra tersebut menyebutkan nama surat yang akan disetorkan. Asing baginya.

“Caca!” ujar Ustadzah Nur, pasalnya sejak tadi Caca tak mendengarkan ucapannya.

Caca tersontak kaget, “Maaf Ustadzah.”

“Kamu hari ini setor surat apa?”

“Surat an-Nas sampai surat al-Fil Ustadzah.”

“Baik, silahkan.”

Detik berikutnya Caca menyetorkan 10 surat tersebut dengan lancar dan sukses. Bahkan surat Al-Falaq yang sebelumnya dianggap susah, tadi Caca menyampaikan dengan sangat lihai. Dan dibalik sana Ammar yang mendengar suara khas Caca membentuk sedikit garis lengkungan di bibirnya.

Mengapa jantungku berdegup seperti ini mendengar suaranya?” batin Ammar.

-----

Hari telah berganti. Pemuda ini mendatangi salah satu tempat yang berdiri di bangunan pusat Pondok ini. Hari ini Ammar memiliki jadwal mengajar Tafsir di kelas ulya. Karena belakangan ini dirinya sibuk mengurus para santri yang melanggar aturan, jadi ia mengunjungi perpustakaan untuk mencari buku paduan. Walaupun dirinya sudah khatam materi tafsir, tetapi tetap saja buku adalah gudang ilmu yang tak bisa dilupakan.

Ammar menyusuri tiap rak buku ruangan tersebut. Sudah lima menit ia mencari keberadaan buku tersebut, namun belum di temukan juga.

“Nah ini dia,” ujar Ammar seraya mengambil buku tujuannya.

Ternyata gerakan Ammar bersamaan dengan gerakan tangan gadis yang kini ada disampingnya. Tangan gadis itu tepat berada di bawah telapak tangan Ammar yang besar. Menyadari itu, Ammar langsung menarik kembali tangannya.

“Maaf.. Saya nggak sengaja,” lirih Ammar.

“Maaf untuk apa Gus Ustadz?” Gadis yang tak lain dan tak bukan adalah Caca, kini menatap Ammar dengan binaran di matanya.

“Tangan kita kan bersentuhan,” ujar Ammar dengan nada dinginnya.

“Emang tangan saya kotor ya Gus Ustadz?”

“Siapa bilang?”

“Terus kenapa Gus Ustadz minta maaf?” Raut wajah gadis ini terlihat begitu serius menunggu jawaban dari orang di dekatnya itu.

“Kita bukan mahram, jadi kita nggak bisa bersentuhan.”

Gadis yang sangat paham apa kata mahram itu, memasang raut wajah seolah-olah tak mengerti dengan ucapan Ammar.

“Berarti kalau kita ingin bersentuhan, saya harus jadi mahram Gus Ustadz?” tanya Caca dengan wajah polosnya.

Pemuda itu tersenyum kemudian berkata, “Iya..”

Ammar yang mengetahui jawaban dirinya sedikit keliru, menggigit gigi bawahnya. Bagaimana jika gadis di depannya bertanya hal yang aneh?

“Kalau begitu saya mau jadi mahram Gus Ustadz sekarang juga. Gus Ustadz mau kan?” goda Caca.

Baru saja terpikirkan oleh Ammar, Caca sudah melontarkan pertanyaan ini dan dirinya kini wajahnya sedikit memerah karena mendengar pertanyaan tersebut.

“Kamu ngapain di sini?” Ammar berusaha mengalihkan pembicaraan, karena dirinya merasa tak bisa menjawab pertanyaan Caca.

“Lagi cari buku Tafsir Gus. Habis ini ada mata pelajarannya.”

----

Seusai menyelesaikan kelas Tafsir hampir seharian, kini gadis berpakaian maroon ini berdiri di rooftop asrama sembari menatap gurat langit yang semakin menggelap. Desis angin sore ini begitu dingin. Caca tak menyangka, jika Pondok ini memiliki sebuah tempat yang begitu menabjubkan. Dirinya yang sebelumnya tak pernah melihat senja, kini Caca berlabuh di bawahnya untuk menyaksikan kepergian sang mentari.

“Duh gue kangen kegiatan gue yang dulu. Setiap  jam segini gue pasti lagi ngumpul sama temen-temen di markas,” ucapnya bersamaan dengan hewan-hewan yang bertebrangan bebas di langit.

“Eh tapi kan gue udah di buang ya sama si Sam.” Memori Caca mengingat fakta menyakitkan.

------

Tbc!!

Jika ada kesalahan silahkan sampaikan dengan baik.

Jangan lupa vote dan comment teman-teman. Sampai jumpa di part berikutnya.

Pangeran Impian✓Where stories live. Discover now