9. Untuk Kedua Kalinya

132 31 4
                                    

Happy reading

----

Langkah pria di depan Caca begitu cepat, kaki kecil Caca sama sekali tak bisa mengejarnya. Kini jarak keduanya adalah lima meter jauhnya. Dengan mengadahkan kepalanya ke bahu jalan, Caca masih dapat mendengar dengan jelas bisikan-bisikan para santri yang membicarakannya.

"Dia santri baru kan?"

"Perasaan baru kemarin deh dia dapat hukuman."

"Gila-gila, Gus Ammar teh mau apain dia?"

"Mantan preman atuh da dia mah."

"Ustadz Ammar mau hukum dia nih kayaknya."

Begitulah perkataan-perkataan santri untuknya. Sungguh geram mendengarnya. Namun Caca harus kuat menahan emosinya. Sudah sejauh ini, ia tak boleh gagal.

Menurut rumor yang berkembang di pondok, pria yang jauh di depannya itu merupakan seseorang yang sangat disiplin. Ammar jarang sekali memberikan toleransi kepada santri yang melakukan pelanggaran. Baik santri itu adalah seorang perempuan maupun laki-laki hukuman yang akan diberikan akan tetap sama.

Ammar menunggu di depan pintu ruang komite. Kedua tangannya ia lipat di depan dada bidangnya, matanya terpejam dan disana ada bayang-bayang Caca bersama pria asing itu.

Kaki Caca melangkah masuk ke dalam ruang komite dan tak lama kemudian, Ammar menyusul di belakangnya.

"Kamu ya!! Tata krama dalam diri kamu mana? Masuk ruangan nggak ketuk atau ucap salam dulu?" komentar Ammar.

"Maaf Ustadz."

Caca yang baru saja satu minggu lebih berada di pondok, perilaku lamanya itu masih dengan setia lekat dalam tubuhnya. Berinteraksi dengan lingkungan baru adalah hal yang cukup sulit bagi Caca.

Sedangkan netra coklat Caca kini menatap interior ruangan di hadapannya. Di ruangan empat kali lima meter itu Caca melihat ada beberapa kursi sofa melingkari meja kecil bak tata letak sebuah ruang tamu.

"Ada apa ini Ustadz?" tanya ustadzah Nur mendapati keduanya di dekat pintu.

Ammar dan Caca sama-sama diam mendengar pertanyaan Nur karena keduanya tengah sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Ammar masih terbayang-bayang kejadian beberapa menit lalu, sedangkan Caca sibuk memutar-mutar ekor khimarnya.

"Silahkan kamu duduk di sana." Ammar melupakan sejenak bayangannya dan memerintah Caca untuk duduk di kursi sofa berwarna maroon.

Caca menarik nafas dan menghembuskannya pelan. Gadis itu kemudian duduk dengan sangat percaya diri. Tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Coba Caca jelaskan siapa pria yang berbicara denganmu di depan?" tanya Ammar yang masih setia berdiri di samping pintu ruangan.

"Saya tidak tahu Gus Ustadz. Saya tidak mengenalnya," jawab jujur Caca.

Sementara ekor mata Nur berganti melirik Ammar dan Caca. Dilihatnya raut wajah mereka yang memiliki ada apa-apa. Apakah Caca membuat masalah lagi di pondok atau bagaimana. Pertanyaan-pertanyaan pun akhirnya keluar dalam pikiran Nur. Karena itu ia angkat bicara.

"Coba-coba jelaskan apa yang terjadi," Nur menambahkan.

"Tadi saya beli garam di depan Ustadzah. Waktu saya mau balik lagi kesini, pria itu menggenggam erat tangan saya. Sungguh saya tidak tahu siapa dia Ustadzah," Caca menjelaskan walau logikanya begitu malas membayangkan kejadian yang baru saja menimpanya.

"Bohong," tukas Ammar.

"Itu semua benar Gus," suara Caca seketika naik satu oktaf.

"Lalu mengapa pria itu berkata jika kamu adalah pacarnya?" pekik Ammar tak mau kalah.

"Saya tidak tahu Gus," kini air mata itu tak dapat Caca bendung lagi. Beberapa tetes air mata itu membasahi pipinya. Sungguh ia takut jika Ammar menjauhinya karena melihat adegannya dengan pria asing itu.

"Ngga usah akting kamu!! Pake nangis-nangis segala!!"

Caca terkejut. Mengapa Ammar sangat tak mempercayainya. Ia merasa apa yang dikatakannya memang benar dengan kenyataan. Berbagai pertanyaan akhirnya timbul dalam benak Caca. Sungguh dirinya tak paham akan semuanya.

"Biarkan dia menjelaskan Ustadz," ujar Nur lembut.

"Tidak perlu Ustadzah. Saya tahu semuanya."

Caca semakin bingung, hal apa yang telah diketahui Ammar. Memangnya siapa pria itu, apakah Ammar mengenalnya?

Sedangkan Ammar berpikir sembari memejamkan matanya. Setelah dirinya merubah posisi menjadi duduk, dirinya mengetuk-ngetuk jari telunjuknya ke meja kecil yang ada di depannya. Dirinya memikirkan hukuman apa yang pantas untuk gadis pembuat masalah itu. Rasanya jika Ammar memberikan hukuman seperti kemarin, Caca tak akan pernah jera.

"Saya ingin kamu membersihkan semua toilet akhwat. Ingat!! Semuanya ya." Ammar menghirup udara kasar dan melanjutkan ucapannya, "Jika Utadzah Nur ingin menambahkan, silahkan saja."

"Apa Gus Ustadz? Saya nggak salah denger kan? Toilet kan jijik ya ampuunnn.." erang Caca sembari memutar kedua bola matanya.

Ammar merasa pasti hukuman kali ini akan membuat gadis di hadapannya itu jera. Pasalnya kan ia hanya memiliki hobi balapan, bukan membersihkan rumah.

"Baik kalau begitu Ustadz. Saya ingin menambahkan," ujar Nur pada Ammar.

"Saya ingin kamu tulis semua nadhom yang hari ini kamu pelajari, buat seperti kamu menulis juz 30."

Hukuman Caca yang kemarin saja bahkan belum tuntas ia kerjakan. Dan kini dirinya harus mendapat hukuman baru dan jauh lebih parah. Hingga hati kecilnya berkata jika ia harus meninggalkan pesantren ini. Namun disisi lain otaknya itu memikirkan akan nasibnya bersama Ammar sang pangeran hati. Jika dirinya tak ada di pondok, bisa saja Ammar menjadi milik orang lain. Sungguh itu adalah hal yang tak diinginkan olehnya. Bagaimanapun juga pangerannya harus menjadi miliknya. Dengan sangat terpaksa, akhirnya ia harus mengikuti hukuman dari para asatidz itu.

Tbc!!

Terimakasih untuk teman-teman yang sudah membaca cerita bdjwkzian sampai sini.

Maaf karena aku telat update, soalnya kuotaku habis hehe. Ini bisa update karena pakai WIFI sekolah.

Maafkan juga karena part ini sedikit. Jujur aku udah nggak ada ide lagi buat adegan di part ini. Tapi tetap tunggu part selanjutnya ya teman-teman. Aku jamin part berikutnya bakal menarik.

Jangan lupa untuk selalu tinggalkan jejak teman-teman. Jika ada kesalahan, silahkan kritik dengan sebaik-baiknya.

Pangeran Impian✓Where stories live. Discover now