33. Begitu Ceritanya

80 16 0
                                    

Jam dinding berlabuh di pukul enam pagi. Dua minggu setelah pernikahan Syafa dan Pangeran, di awal hari ini, semua orang di rumah Ammar sudah disibukkan dengan berbagai aktivitas. Caca bolak-balik dapur-ruang makan membawa masakan yang sudah dibuat. Farah menata piring dan gelas di meja makan. Bi Tati---asisten rumah tangga keluarga Firdaus---mengambil buah di kulkas. Ketiganya sibuk menyiapkan sarapan. Ya, sarapan di awal pagi memang sudah menjadi kebiasaan di keluarga ini, karena sebagian besar anggota keluarganya meninggalkan rumah di saat masih pagi.

Sedangkan kedua pria di rumah tersebut masih belum menampakkan batang hidungnya; Ammar dan Kiai Zul.

"Kamu mau mulai mondok lagi, Fa?" tanya Caca pada Farah sembari meletakkan piring berisi tempe goreng.

"Iya Kak. Soalnya aku males kuliah hahaha," jawabnya yang kemudian tertawa. "Omong-omong, bang Ammar mana nih Kak? Penganten baru kok nggak barengan?"

"Tadi sih dia lagi mandi."

Belum genap mulut Caca tertutup, yang menjadi topik pembicaraan datang. Dari jarak lima meter, Ammar tersenyum pada Caca. Namun, gadis itu justru membuang pandangan. Masih terlalu pagi untuk membuat jantung Caca bertingkah abnormal. Di samping juga ada Farah.

"Pagi istriku yang cantik," sapa Ammar yang kemudian duduk di kursi ujung.

"Bucin...! Bucin...! Mentang-mentang udah nikah ya," Farah berkomentar. Caca hanya terkekeh ringan meresponnya. Sedangkan Ammar, terlihat acuh seperti biasanya.

Meja makan sudah lengkap. Saatnya sarapan, namun kiai Zul masih belum menunggangi singgasananya.

"Aku panggil abi ya," tawar Caca kepada semua.

"Ndak perlu Mbak, bapak itu selalu tepat waktu. Bentar lagi pasti juga datang, sudah biasa seperti ini." Apa yang dibilang bi Tati benar adanya. Bukannya bertingkah seperti raja yang datang dikala semua sudah siap, hanya saja kiai Zul selalu disibukkan oleh pekerjaan saat di dalam kamar.

Lima menit kemudian, kiai Zul datang dengan terburu. "Maaf, semuanya sudah menunggu ya. Tadi saya terima telepon dulu."

Bi Tati pamit ke dapur, setelah itu Caca, Ammar, Farah, dan kiai Zul memulai sarapan. Alhamdulillah, sepertinya masakan Caca tak mengecewakan. Semuanya makan dengan lahap. Apalagi Ammar, seperti orang kelaparan. Untung saja Caca belajar memasak saat di pondok.

Seusai sarapan, Caca, Ammar dan Farah menatap kiai Zul yang memasang raut wajah serius. Sepertinya ada yang ingin dibicarakan.

"Ammar. Saat kamu menikahi Caca, siapa yang menjadi wali?"

Itu yang selalu mengganggu pikiran kiai Zul saat sebelum tidur, saat makan, bekerja, dan kapanpun pasti kepikiran. Ia khawatir jika pernikahan anaknya tak sah karena saat itu Ammar terlalu mementingkan ego. Mau bagaimanapun, jika pernikahannya tak sah, maka Ammar dan Caca sangat berdosa karena berduaan diluar mahrom.

"Abi kenapa tanya itu?"

"Sudah, jawab saja."

Ammar diam sejenak, heran dengan pertanyaan abinya. "Ilyas Abi. Kakaknya Caca."

Kiai Zul menatap Caca, sepertinya masih ada keraguan dalam dirinya. Walaupun ia sudah mengucap hamdalah dalam hati. "Benar itu Caca?"

"Benar Kiai, eh maksudnya Abi. Waktu itu ayah tidak ada, jadi wali nikah diserahkan ke bang Ilyas," jawab Caca kaku. Ia masih belum terbiasa bicara dengan kiai Zul, karena sebelumnya kiai Zul hanyalah seorang pemilik pesantren. Sedangkan kini, ia menjadi mertua Caca.

"Yasudah. Kalau begitu, mari kita buat acara resepsi agar semua orang tau jika kalian sudah menikah."

Mata Ammar, Caca, dan Farah membulat sempurna mendengar keputusan kiai Zul yang tiba-tiba. Pasalnya, sebelum itu kiai Zul bersikap cuek dan kurang peduli terhadap pernikahan Ammar dan Caca; mungkin karena dirinya yang masih ragu. Setelah itu, seluruh penghuni ruang makan tersenyum.

Pangeran Impian✓Where stories live. Discover now