4. Hari di Pesantren

199 61 17
                                    

Wanita berperawakan 152 sentimeter berusia 24 tahun ini mengiring Caca yang kini mengenakan baju gamish berwarna navy memasuki bangunan berlantai tiga berbentuk huruf U. Walaupun hanya mendapatkan cahaya dari lampu LED, tetapi Caca dapat melihat dengan jelas interior bangunan yang kini ada di sekitarnya dan ia juga melihat beberapa kamar yang lampunya telah padam.

Gedung hijau yang kini Caca lewati itu pun memiliki mading, koperasi, kantin, mushola dan ada pula puluhan sepeda yang berjejer rapih di pinggir tanah berumput jepang. Sama halnya seperti sekolahan, yang membedakannya disana ada beberapa pakaian yang tengah di jemur.

"Ini asrama santri wati. Mulai sekarang kamu tinggal disini," ucap wanita berjilbab ungu bernama Nur Ainun selaku ketua komite keamanan putri.

"Sekali lagi saya tanya, kamu bener adiknya Mas Ilyas yang kemarin sore datang ke kyai kan?"

"Iya."

Sungguh Caca bosan dengan pertanyaan yang telah terlontar hampir 5 kali itu. Memang dirinya adalah mantan anak jalanan, tetapi kan wajah cantiknya tak memberikan isyarat jika dirinya nakal.

"Ayo lepas sepatu kamu. Kita sudah sampai di tempat tujuan," Nur berkata lembut.

Bagaimana Nur bisa tenang, pasalnya gadis yang bersamanya itu mengenakan sepatu boots yang terlihat mencurigakan. Gadis ini mau mondok atau mau main, pikirnya.

Setelah Caca membuka sepatunya, Nur membawa dia ke depan kayu coklat persegi panjang yang di depannya menggantung papan berisi tulisan B-37. Artinya kamar itu berada di blok B nomor 37. Bangunan yang memiliki nama asrama ini terdiri dari 4 blok. Dan semuanya diisi oleh santri perempuan di Pondok Pesantren Al-Firdaus.

Nur membuka pintu perlahan karena ia khawatir akan membangunkan santri yang sudah pergi ke alam mimpi. Setelah pintu terbuka tampak dari beberapa orang disana tengah mengerjakan sebuah pekerjaan. Sedangkan beberapa orang lainnya sudah tertidur pulas.

"Assalamu'alaikum," ujar Nur.

"Wa'alaikumussalam ustadzah," balas mereka gembira menangkap sosok gadis bersama sang guru.

Indra penglihat Caca menyapu seluruh penjuru ruangan di depannya. Sangat jauh dari harapannya. Disana hanya ada beberapa ranjang kasur yang ukurannya jauh lebih kecil dari yang ada di rumahnya. Disampingnya pula ada balok kecil yang memiliki pintu dan diatasnya tergeletak beberapa buku yang asing baginya.

"Namanya Khalisa, mulai sekarang dia akan menjadi teman sekamar kalian." Setelah mengucapkan kalimat itu, Nur langsung pergi dari hadapan para santi wati.

Benar dengan apa yang selalu di tanyakan Nur kepada Caca. Kemarin sore tepat sebelum Ilyas kembali ke Jakarta, Ilyas menghubungi sang kyai pemilik pesantren yang pernah ia tinggali selama 10 tahun. Ya... Ilyas merupakan salah satu santri yang lulus tiga tahun lalu dari Pondok Pesantren Al-Firdaus. Saat mendaftarkan Caca, sebenarnya dirinya telah mengajak sang adik. Tetapi Caca menolaknya dengan alasan belum mandi.

Ketiga santri yang masih bangun kemudian mengajak Khalisa berkenalan, mereka adalah Yasmin gadis alim nan jelita, Raida gadis putih dari Jakarta dan ada Sayu gadis yang paling cuek dan dingin.

"Caca!! Panggil gue pake nama itu!" suara Caca naik beberapa tinggi nada.

"Lagian kalian ngapain sih tengah malam gini ngerjain tugas nggak jelas kayak gitu? Kan masih ada besok."

Sifat asli Caca yang keluar, hanya membuat ketiga gadis itu mengucapkan istighfar.

"Sekarang gue mau tidur! Kasur gue yang mana?" tanya Caca seraya membuka jilbabnya.

Pangeran Impian✓Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora