12. Perubahan Membawa Berkah

124 27 1
                                    

Bandung, 23 Maret

Perempuan bergamis tosca serta jilbab coklat tua, berjalan perlahan seraya menyeret koper besar miliknya di Bandara Husein Sastranegara. Tak jauh di sampingnya, ada laki-laki berpakaian rapih mengenakan kemeja navy yang terlipat hingga siku. Keduanya kini menuju tempat tunggu yang disediakan di tempat tersebut.

"Ca saya sudah menghubungi Bang Harist, kakak ipar saya. Nanti saat kamu sudah tiba di Surabaya tunggu saja di pintu keluar bandara, beliau yang akan jemput kamu di sana," ujar Ammar dengan menatap tajam netra Caca.

"Iya Gus Ustadz," Caca kemudian tersenyum.

"Jangan pernah kamu merepotkan kakak saya di sana. Selalu bersikap baik. Apa yang kamu lakukan di sini, jangan kamu lakukan di sana," Ammar kembali berbicara.

Caca mengangguk seraya tersenyum kecil. Baru kali ini dirinya menemukan sosok yang perhatian lebih setelah abangnya. Perasaan di hati Caca makin hari makin saja menggebu-gebu. Detik berikutnya Caca melangkahkan kakinya menjauhi Ammar.

"Caca..."

Seruan itu membuat Caca tak bisa menolak untuk sekedar menoleh. Di  jarak 5 meter, ia dapat melihat dengan jelas wajah pangerannya.

Dengan gugup pemuda itu berkata, "Hati-hati."

Caca tersenyum sekilas, "Gus Ustadz juga hati-hati."

Kini keduanya sama-sama terseret menjauh. Keduanya juga tak sabar menantikan hari disaat mereka akan bertemu kembali. Dalam hati berat, keduanya menerima segala hal yang memang menjadi penghambat.

----

Surabaya, 23 Maret

Caca menyeret koper menuju gerbang keluar Bandara Juanda. Kedua matanya menyorot lalu lalang manusia yang melebur berhamburan. Helaan nafasnya terdengar lega, akhirnya setelah berjam-jam ia terduduk di pesawat kini bisa tiba di ibukota Jawa Timur ini dengan selamat.

"Mbak Caca ya?" Caca mendongak, melihat ke arah sumber suara.

Dilihatnya sosok pria di depannya bersarung hitam dengan kaus coklat polos. Pria itu berkulit kuning langsat, hidung mancung, rambut hitam dan lesung di kedua pipinya. Pria itu terlihat tak kalah tampan dengan Ammar.

"Iya?" saut Caca kebingungan.

"Saya Harist mbak."

"Oh iya-iya."

"Ayo mbak kita ke mobil," ajak laki-laki yang mempunyai tinggi 183 sentimeter itu.

"Tapi bener kan mas ini kakaknya Ammar?" Caca mencoba menyakinkan, pasalnya ia takut jika pria di hadapannya itu adalah penipu.

Harist yang tengah memegang benda pipih, kemudian menujukkan sebuah pesan singkat antara dirinya dan Ammar pada Caca.

Detik berikutnya keduanya memasuki mobil silver yang sudah disiapkan. Laki-laki berdarah Arab – Indonesia duduk di kursi kemudi disusul dengan Caca yang duduk di sebelahnya.Dengan kecepatan sedang, Harist membawa mobil itu membelah kota Surabaya.

Sekitar 30 menit kemudian, kendaraan roda empat itu melewati pagar dengan tugu bertuliskan kalimat Pondok Pesantren Al-Firdaus Surabaya. Di dalamnya juga berderet bangunan-bangunan klasik berdominasi warna hijau. Bangunan itu tak asing sekali baginya, rasanya ia seperti bernostalgia.

Detik berikutnya, mobil terhenti di dekat seorang wanita yang tengah berdiri. Setelah kendaraan itu terparkir dengan sempurna, keduaya langsung turun dari mobil.

Wanita pemilik wajah yang mirip dengan Ammar itu tersenyum ke arah Caca. "Ini Caca ya? Duh cantiknya."

"Terimakasih mbak," balas Caca dengan tersenyum.

Pangeran Impian✓Where stories live. Discover now