28. Pertahanannya Jatuh

81 18 0
                                    

Pria senja bernama Ismail itu terus saja berkutat di depan sebuah laptop macbook. Memboyong semua karyanya untuk diberikan ke anak buah yang ada di Jakarta. Proyek pembangunan hotel sudah di depan mata, namun Ismail masih belum bisa membawa sang putri ke dalam pelukannya. Karena itu, Ismail tak bisa ikut serta langsung dalam prosesnya.

"Setelah saya selesai mengerjakan tugas, saya akan menjemput anak saya. Tolong siapkan mobil sekarang juga," titah Ismail.

"Baik Tuan," jawab seorang pelayan yang sedari tadi berdiri di belakang Ismail.

Pelayan tersebut langsung mengerjakan perintah yang diberikan. Membawa mobil sedan berwarna hitam ke depan pintu utama vila. Mobil itu terlihat sangat wah.

Tak lama kemudian, Ismail datang membawa tas hitam di tangan kanannya. Sang pelayan dengan sigap membukakan pintu mobilnya. Setibanya di mobil, Ismail langsung melirik benda silver yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ismail tak memiliki banyak waktu.

"Berangkat sekarang juga!" Ismail memberi perintah kepada pemuda yang duduk di kursi kemudi.

-----

Sejak tadi Ammar selalu menatap Caca yang menampilkan wajah gelisah seraya bertanya, "Bukannya hari ini jadwal kamu libur ya, Ca?"

Satu detik, satu menit, tiga menit, bahkan lima menit Caca tak kunjung menjawab pertanyaan Ammar sehingga berhasil membuat pemuda itu berdiri untuk memastikan. Sungguh Ammar tak bisa menahannya lagi, jika Caca tak mendengarnya berarti Ammar harus menyentuh Caca.

Lima sentimeter lagi tangan Ammar akan tiba di lengan Caca yang tergeletak di atas meja, tiba-tiba dengan cepat Caca langsung menangkis tangan yang terbungkus koko putih itu. Mata Caca memerah dan wajahnya penuh emosi.

"Gus Ammar mau apa?"

Anak kedua pemilik pesantren Al-Firdaus itu terdiam, "Gus Ammar? Tumben Caca nggak panggil pake panggilan yang biasanya."

"Kita bukan mahrom Gus, ingat itu!" Setelah mengucapkan itu Caca langsung pergi meninggalkan ruangan itu. Sementara Ammar terus menatap ke arah pintu yang membuat Caca hilang dari hadapannya.

"Bodoh kamu Ammar! Kenapa kamu melakukan itu ke Caca? Kenapa kamu nggak minta tolong ke seseorang?" Sosok Ammar kembali lemah hingga membuat dirinya terduduk di lantai.

Sementara di sisi lain, Caca tengah menuju rooptof pondok pesantren, rencananya Caca ingin menenangkan pikirannya yang mulai berantakan.

Dengan tatapan kosong entah kemana dirinya melihat, gadis yang kini berusia 21 tahun itu memikirkan hal yang selama tiga hari menghantuinya. Ayahnya ingin bertemu dengannya? Untuk apa? Bukankah Caca sudah dibuang? Tapi kenapa dirinya harus hadir kembali? Walau kejadian mengerikan itu sudah berlalu sejak puluhan tahun lalu, tapi semua itu masih terekam jelas dalam benak Caca.

"Astagfirullahal'adzim," ujar Caca sembari mengusap wajahnya. Caca sadar jika melamun itu tak baik.

Semilir angin menerpa Caca yang berdiri di sana. Angin itu begitu sejuk. Suasana seperti ini tak pernah ia dapatkan jika Caca berada di lantai dasar. Setelah pikiran Caca sedikit tenang, ia menatap ke segala penjuru arah. Caca merasa sangat nyaman, pesona alam yang memanjakan matanya begitu menakjubkan. Namun matanya terbelalak sempurna saat melihat sebuah kendara roda empat dari arah jam tujuh. Raut wajah Caca seketika berubah.

Dengan raut wajah yang ketakutan, Caca membuka lengan bajunya. Kemudian ia melirik satu per satu bekas luka yang ada.

"Sekarang mama kamu udah pergi ke neraka dan nggak ada siapa-siapa di sini selain kita berdua," ujar Ismail sembari mendorong Caca ke kasur.

Ismail yang tengah menghisap sebatang rokok, langsung ia lepaskan rokok tersebut. Setelah itu, ia tempelkan pucuk yang menyala di kedua tangan Caca secara bergantian. Jika warna merah itu mati, Ismail akan menyalakannya kembali. Sementara Caca hanya bisa menangis merasakan sakit dari luka bakar yang sangat luar biasa.

"Ayah, Khalisa mohon jangan lakuin ini sama Khalisa," dengan suara lemah gadis kecil itu memohon kepada pria di hadapannya. Namun bukannya berhenti, Ismail justru mambangunkan Caca dan melambungkan dua tonjokan ke perut sang anak. Gadis pemilik nama lengkap Khalisa Syafa Faradina pun tak sadarkan diri.

"Itu kan yang kamu mau? Dasar anak nakal, dikasih yang ringan malah nggak mau."

Sel memori yang terbuka kembali membuat Caca merasakan kondisi seperti saat itu. Tangan dan perut Caca tiba-tiba ngilu hingga kakinya tak kuat menopang berat tubuhnya. Tiba-tiba seorang pemuda berbadan tegap datang dan menangkap Caca yang hampir terjatuh.

"Hei Ca, lo kenapa sih liat mobil bokap langsung lemes gini?"

Merasa tak aman tubuhnya dipegang oleh lawan jenis, Caca berusaha untuk bangkit kembali. Namun nihil, tubuhnya itu sangat tak mampu untuk melakukan keinginannya.

Samudra langsung mendudukan Caca dengan menyenderkan tubuhnya ke tembok pembatas rooftop.

"Saya tidak butuh pertolongan dari kamu. Menjauh dari saya, jangan dekat-dekat," titah Caca lirih dengan matanya yang terpejam.

Mendengar Caca melarang dirinya, membuat Samudra semakin ingin mendekati Caca. Tangan kanannya yang besar itu langsung saja meraih dagu Caca hingga membuat sang empu membuka matanya perlahan.

"Cacaku yang manis, gue cuma mau ngasih tau. Ayah lo datang ke sini itu bukan buat nyakitin lo Ca, tapi dia datang dengan membawa kabar gembira untuk kita."

Caca menangkis lemah tangan Samudra, "Jangan sok tau!"

Mulut dan batinnya lain. Mulut Caca berujar seperti itu, namun di batin ia bingung dengan ucapan Samudra beberapa detik lalu. Memang kabar apa yang dimaksud Samudra? Mengapa ada kata kita di sana?

Melihat Caca yang kebingungan, dengan spontan Samudra memeluk gadis yang sangat dicintainya itu. Caca yang tengah tak sadar, di dalam pelukan itu hanya bisa menangis.

Dan di tangga sana ada sepasang mata yang memperhatikan dua insan yang tengah berpelukan. Dengan napas yang masih terengah-engah Ammar mengontrol hati dan emosinya. Apa yang dilihatnya tak mungkin hanya kebetulan semata. Dirinya tahu jelas jika kondisi mental Caca sedang kurang baik, jadi Ammar akan berusaha menerimanya.

"Tapi hatiku tetap sakit melihatnya. Di ruangan tadi Caca menolak untuk aku sentuh, tapi sekarang dia justru berpelukan dengan laki-laki lain."

Kakinya yang gemetar serta perasaan campur aduk akhirnya membawa Ammar untuk mendekati Caca dana Samudra. "Ca. Di ruangan abi ada ayah kamu, beliau ingin ketemu sama kamu katanya."

Suara Ammar berhasil menyadarkan Caca dari keterpurukannya. Gadis itu langsung mendorong Samudra kasar. Setelahnya Caca hanya bisa beristigfar.

"Hei ada apa? Apa pelukan aku terlalu erat?"

Kali ini Caca jauh lebih kacau dari sebelumnya. Pandangannya bahkan sangat kabur, rasanya seperti dalam mimpi. Gadis yang seluruh tubuhnya gemetar itu, langsung berlari dengan sempoyongan menuruni tangga dan tak jauh dari itu Ammar mengikutinya.

"Hati-hati Ca, nggak perlu lari."

Tbc!!

Hoho akhirnya update juga. Coba tebak deh, ayahnya Caca mau bawa kabar apa? Kabar baik atau kabar buruk?

Udahlah jangan lama-lama hehe. Tekan icon bintang lalu komentar sebanyak-banyaknya. Setelah itu lanjut deh ke part selanjutnya.

~Nurul Widya~
01 November 2020

Pangeran Impian✓Where stories live. Discover now