6. Pekerjaan Indah

138 42 7
                                    

Usai shalat Shubuh berjamaah dan taddarus bersama, kedua kaki Caca membawanya ke sebuah ruangan yang didalamya terdapat berbagai pekakas. Diambilnya ember besar berisikan cat tembok berwarna putih, roller, kuas, ember kecil, baki cat dan sarung tangan karet yang akan Caca gunakan untuk memperbaharui warna aula pondok pesantren.

Kemarin Caca hanya sempat membersihkan debu-debu yang menempel di tembok. Ia juga memasang koran-koran di lantai guna untuk menghindari cat jatuh yang secara langsung mengenai keramik. Dan di hari Rabu ini, Caca gunakan untuk menyelesaikan tugas utamanya sesuai dengan agenda yang telah ditentukan.

Dengan mengenakan kaos belang hitam putih dan dipadukan bersama rok hitam serta di lengkapi khimar berwarna abu, gadis ini mengecat tembok dengan begitu lihai.

"Padahal ya gue ini kan santri baru, nggak dikasih keringanan apa? Hukumannya malah seberat ini. Harus ikhlas Ca, tegar, kuat dan sabar. Ini semua demi buat dapetin Pangeran Ammar. Ayo semangatt..!!!" Tanpa adanya seseorang yang membantunya, Caca hanya bisa mengumpat seperti itu.

"Perlu saya bantu tidak?" Tawar seorang pria yang kini tengah berdiri di pintu utama aula.

Mendengar bunyi suara seseorang membuat tubuh Caca terlompat karena terkejut. Pasalnya beberapa detik yang lalu disana belum ada sesosok manusia yang menemaninya.

"Mati gue, tadi pangeran denger apa kata gue nggak ya?" batin Caca berbicara.

"Kalau Gus Ustadz mau bantu silahkan, kalau nggak mau juga nggak apa-apa," jawab Caca seraya tetap melanjutkan pekerjaannya.

"Oh oke."

Caca kira Ammar akan membantunya, tetapi harapannya itu patah. Pria itu justru meninggalkan Caca. Akhirnya di ruangan 10 meter kali 25 meter itu dirinya berdiri sendirian lagi melaksanakan tugasnya.

Duggg!!!

Terdengar bunyi suara dari arah pintu. Seketika Caca langsung menoleh ke arah sumber suara. Dan betapa terkejutnya indra penglihat Caca menangkap orang yang sama untuk kedua kalinya. Namun kali ini berbeda dengan sebelumnya, pria itu membawa beberapa peralatan cat di tangannya.

"Gus Ustadz mau ngapain?" tanya Caca pada Ammar yang semakin mendekat kearahnya.

Di pesantren ini hanyalah Caca yang memanggil Ammar dengan sebutan itu. Santri-santri lain menyebutnya dengan panggilan Gus Ammar atau Ustadz Ammar. Dan Ammar mendapatkan panggilan itu dari Caca semenjak gadis itu mendapatkan hukuman darinya.

"Ya mau bantu kamu. Memangnya kamu nggak capek ngecat ruangan sebesar ini sendirian?" tanya Ammar dingin.

Caca tersenyum pahit, "Itu kan hukuman dari Gus Ustadz. Mau tidak mau saya kan harus melakukannya," ketus Caca.

"Saya hanya bercanda."

Saat itu juga Caca benar-benar merasakan kekesalan yang amat luar biasa. Rasanya ia ingin sekali meluapkan emosinya. Tetapi dirinya sadar Ammar bukanlah tandingannya, jika Caca mengeluarkan askinya bisa-bisa ketua pusat keamanan itu menghukumnya lagi menjadi lebih berat.

"Kamu itu pendek. Nggak perlu paksain ngecat di area yang tinggi, biar saya aja."

Pemuda itu langsung berjalan ke arah Caca, tangannya merebut roller yang sedang Caca pegang. Ammar kemudian mengecat bagian tinggi tersebut. Sungguh kedua netra coklat Caca dapat melihat dengan jelas wajah pria berhidung mancung itu. Seketika jantung Caca tak bisa diam disana. Wajah Caca juga memerah bak kepiting rebus. Menyadari itu gadis penyuka kentang ini langsung mundur beberapa langkah. Ia tak mau jika hatinya luluh untuk yang kedua kalinya terhadap pangeran yang sama.

"Kenapa?" tanya Ammar terkejut.

"Tadi wajah Gus Ustadz terlalu dekat dengan saya."

"Oh. Maaf."

Pangeran Impian✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang