27. Riri dan Pak Adi

73 21 0
                                    

"DUDUK KAMU!!!" titah Caca membentak. Suaranya yang keras pun dapat terdengar hingga ke dua kelas yang ada di sebelah ruang komite.

Riri sangat terkejut. Ada wanita lain yang berani membentaknya selain sang ibu sekarang, bahkan lebih keras. Riri langsung bernapas dengan terengah-engah, seperti kelelahan. Keringat dingin juga mulai bercucuran di semua tubuhnya. Riri tak mau dibentak lagi. Riri takut.

"Ada apa? Saya suruh kamu duduk Riri!" ujar Caca yang tak menyadari perubahan pada Riri.

Caca berpikir jika Riri adalah gadis yang keras kepala. Apa dirinya kurang galak dalam menanggapi murid seperti Riri? Padahal Caca sudah mengeluarkan semua kemampuannya, ia tak bisa lebih lagi. Sungguh, ini membuatnya tak nyaman. Tapi itu adalah tugasnya. Ia harus melakukannya.

"Riri!!!" panggil Ammar semakin geram karena Riri justru mematung di tempat.

Caca kembali melihat gadis itu dengan seksama. Caca ingat. Gadis itu adalah gadis yang waktu itu ia temui di depan kamar yang dulu pernah ditinggalinya. Saat itu gadis tersebut pergi dengan pakaian tak berhijab.

"Astagfirullah, ternyata dia belum berubah," imbuh Caca pelan seraya menghalangi mulut dengan telapak tangannya.

Suara dering telepon membuat ketiga insan di ruangan komite terkejut. Caca dan Ammar yang masih melihat Riri baru menyadari ada yang berbeda dengan Riri. Gadis itu dipenuhi keringat. Apa yang terjadi padanya? Apakah Caca terlalu berlebihan?

Caca langsung berjalan mendekati telepon yang masih saja berdering. Caca menjawab panggilan tersebut.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," jawab Kiai Zul di sebrang sana.

"Ada apa Kiai?"

"Ada seseorang yang mencari kamu, Ca. Katanya ada hal penting yang ingin beliau bicarakan. Bisa kamu kemari nak?"

Caca melirik Riri sekilas. Untuk saat ini gadis itu selamat dari hukuman. Namun bukan Caca jika tak menyelesaikan tugasnya, ia pasti akan menghukum Riri di suatu hari nanti. Entah nanti sore, besok, lusa atau kapan pun.

"Baik Kiai. Saya ke sana."

Telepon langsung ditutup. Tak lupa pula Caca dan Kiai Zul saling melontarkan salam sebagai penutup panggilan.

"Gus Ustaz. Sepertinya anak ini, em maksud saya Riri. Hari ini saya akan memberi keringanan lagi buat dia. Sekarang saya harus menyelesaikan urusan saya yang lain. Saya titip dia ya Gus. Tapi tolong Gus, jangan kasih dia ke ketua komite pusat, biarkan saya sendiri yang akan memberi peringatan untuknya."

Ammar mengangguk paham. Semakin hari Caca semakin baik dalam menjalani tugasnya. Rasanya ia semakin kagum pada Caca. Ammar sangat tak percaya bisa dekat dengan Caca kembali.

"Baik Ustazah," balas Ammar dengan senyuman khasnya.

Pandangan Ammar langsung tertuju pada Riri. Entah kenapa, Ammar merasa jika hari ini adalah hari terakhir kalinya ia menasehati Riri. Ammar sangat yakin, pasti besok Riri akan berubah sepenuhnya. Sementara Caca, gadis itu langsung pergi meninggalkan dua orang yang di sana.

-----

Setelah menemui seseorang di ruangan kiai Zul yang tak lain dan tak bukan adalah satpam dari vila kediamannya, Caca kembali melanjutkan aktivitas seperti biasanya. Walau tadi dirinya sempat beradu argumen dengan Pak Adi, Caca tetap bersih kukuh tak mau menemui sosok yang pernah menyakitinya di sepuluh tahun yang lalu. Batin dan jiwanya sudah tak bisa lagi membendung rasa sakit darinya lagi.

"Buat apa ayah kembali ke Indonesia? Dan buat apa ayah ingin ketemu aku?" imbuh Caca seorang diri di ruang komite putri, karena anggota yang lain sedang berpatroli.

Sudah sekian lama Caca tak merasakan perasaan yang seperti itu dan kini dirinya merasakannya kembali. Kebencian yang meluap, rasa ingin menangis, berteriak, semuanya menjadi satu. Namun saat akan ia keluarkan, semua itu hanya bisa tertahan.

Gadis yang tengah menunduk itu mengusap gusar wajahnya dengan kedua tangan. Kemudian menyilangkan semua jarinya dan meletakkan di depan dahi. Akhirnya air bening menetes juga dari matanya.

Caca langsung menghapus air mata setelah mengetahui ada seseorang yang datang.

"Ada apa Riri?" tanyanya lemah karena belum mengumpulkan banyak energi.

Riri yang berdiri seketika langsung ambruk dan menopang tubuhnya menggunakan kedua lulutnya. Tatapan Riri terlihat kosong, gadis itu pun menangis. Caca yang melihat itu langsung menghampiri Riri.

"Ada apa Ri? Duduk yuk di kursi."

Napas Riri terengah-engah. "Maafin saya ya ustazah. Setelah ustazah membentak saya tadi, saya jadi sadar jika kelakukan saya salah."

"Iya tidak apa-apa."

Selanjutnya Caca langsung menenangkan Riri dan setelah Riri benar-benar tenang, Caca bertanya kembali. Riri langsung menjawab dan menceritakan masa lalunya. Mengungkapkan fakta jika ibunya sering menyiksa dirinya dan sang kembaran sesaat setelah keluarganya bangkrut dan ayahnya sakit parah. Keduanya pun terus bercerita hingga tiba azan Ashar.

Tbc!!

Maaf jika pendek, karena ini lanjutan dari part sebelumnya.

Bandung, 26 Oktober 2020
Salam Cinta, Nurul Widya

Pangeran Impian✓Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα