19. Tahun Berikutnya

101 20 3
                                    

Happy reading💜💜

----

Di atas sebuah perahu. Hanya berdua. Dengan hembusan angin yang cukup kencang serta langit yang biru, membuat kedua kakak beradik ini sangat menikmati pemandangan kota Cairo dari atas kendaraan yang tegak di atas air sungai.

Ilyas menerima dua cangkir berisi teh asal Mesir dari pramusaji. Diraihnya minuman tersebut, kemudian ia berikan satu cangkir pada Caca yang tengah melihat ke arah danau.

"Syukron Abang," ujar Caca berterimakasih.

Ilyas tersenyum tulus, "Sama-sama Adikku sayang."

Menit berikutnya, Caca mengarahkan gelas yang ada di tangan ke mulutnya. Meminum minuman yang sudah menjadi jamuan di setiap harinya.

"Masya Allah, makin hari teh karkade makin enak aja ya Bang."

Karkade sendiri merupakan teh asal Mesir yang terbuat dari bunga hibiskus atau yang lebih dikenal dengan nama bunga sepatu. Bunga hibiskus ini adalah tanaman semak suku Malvance yang berasal dari Asia Timur dan banyak ditanam sebagai tanaman hias di daerah tropis maupun subtropis.

"Kamu nggak bosen minum teh Karkade terus Ca?" tanya Ilyas tak yakin. Ia takut jika adiknya itu justru akan mengomel tak jelas padanya.

Caca menatap burung-burung yang melintas di atasnya, kemudian melirik Ilyas yang berada di depannya.

"Terimakasih Bang Ilyas, karena Abang udah ajak Caca ke Cairo. Caca begitu bersyukuuuuur banget bisa dateng ke sini, makasih Bang," kata bersyukur yang Caca ucapkan begitu panjang sekali, tapi tak sepanjang lintasan kereta api.

"Iya sama-sama," balasnya seraya menyentuh jahil ujung hidung Caca yang masih menghadap ke atas.

Pandangan Caca langsung teralihkan ke Ilyas.

"Bang Ilyas," ujarnya dengan tahapan mata yang tajam.

Ilyas hanya menanggapi dengan kekehan yang tak kunjung reda.

"Abang kok jadi makin jahil?"

"Tapi kamu suka kan?" goda Ilyas yang mendapat respon dengan meronanya pipi Caca.

Lucu pikirnya. Sungguh Ilyas sama sekali tak bosan melihat wajah imut Caca di kala merona seperti itu, apalagi dengan paduan warna hijab yang Caca kenakan hari ini. Setelah dua tahun lamanya ia melihat wajah adiknya, hari ini Ilyas merasa jika kecanduannya semakin bertambah. Itu juga membuat jika rasa sayangnya pada sang adik semakin membesar.

"Iya," jawab Caca malu-malu dengan kepala yang tertunduk.

"Sama Abang nya sendiri aja merah tuh pipi, gimana kalo sama suami ya?" Ilyas kemudian tertawa renyah. Ia sangat suka sekali menjahili adiknya itu.

"Ih Abang." Kini wajah Caca cemberut.

Setelah penculikan Caca dan Ilyas terjadi, Ilyas memutuskan untuk pergi membawa Caca ke Mesir. Negeri dimana dirinya menimba ilmu. Ia pikir jika meninggalkan Caca sendirian lagi di Indonesia, adiknya itu akan mengalami hal yang sama. Diculik dan disiksa oleh orang terdekatnya.

Oh iya, mengapa waktu itu Ilyas di Bandung? Ya, bagaimana lagi jika bukan karena Yasmin. Gadis itu menelpon Ilyas, katanya nyawa Caca sedang dalam bahaya. Padahal kala itu Caca masih berada di Surabaya. Ilyas yang tengah bersantai dengan teman sekampusnya, langsung memesan tiket untuk terbang ke Indonesia. Setelah sampai di tempat tujuan, bukannya Ilyas mendapati Caca, tapi dirinya justru menjadi tahanan Yasmin dan teman-temannya.

"Kamu beneran nggak ada niatan kuliah disini, Ca?" tanya Ammar di saat minuman yang ada di mulutnya tertelan dengan sempurna.

"Engga Bang, Caca nggak punya niatan kuliah. Belajar sama ustadzah Nur juga udah lebih dari cukup buat Caca."

Nur Fathiya itulah namanya. Sosok ustadzah yang pernah menjadi guru Caca di Pondok Pesantren Al-Firdaus. Namun, beliau kini sudah tak mengajar lagi di sana. Setahun yang lalu Nur di perintahkan orang tuanya untuk menyelesaikan pendidikannya di Cairo yang sempat tertunda selama tiga semester. Walau bukan di kampus ternama, tapi itu tak membuat Nur bersedih. Justru sebaliknya, Nur sangat senang dan bersyukur karena bisa menuntut ilmu di negeri orang lain. Di Cairo, Nur juga menjadi salah satu guru di sekolah agama dan salah satu muridnya adalah Caca.

"Masyaa Allah Caca, kita ketemu lagi. Ustadzah kangen banget sama kamu."

Seperti itulah kalimat yang terlontar dari mulut Nur saat pertama kali bertemu Caca di sekolah tersebut.

-----

Suara ayat suci Al-Qur'an menggema di seluruh wilayah Pondok Pesantren Al-Firdaus. Ada pula para santri yang berlarian kesana kemari mencari sesuatu yang mereka butuhkan. Hari ini, tepat pukul 9 pagi akan. diadakan upacara kelulusan para santri SMA sederajat. Setelah 3 tahun lamanya mereka mencari ilmu di pondok ini, akhirnya akan tiba waktu dimana mereka mengakhiri kisahnya.

Puluhan orang tua di setiap menitnya berdatangan untuk menghadiri acara di pondok buah hati mereka.

"Fafa," panggil salah seorang santri di sana.

Gadis yang hanya mengenakan setelan pakaian sehari-harinya dengan sedikit polesan make up di wajahnya menoleh ke arah pemuda yang memanggilnya.

"Udah berapa kali saya bilang, jangan panggil saya dengan panggilan seperti itu. Saya tidak menyukainya Kak," jawab Farah dengan pandangan yang terarah pada jarinya yang tengah memainkan ujung hijabnya.

"Udah berapa kali saya bilang, jangan panggil saya dengan panggilan itu. Saya tidak suka Fa, panggil saya Reza. Kita seumuran dan Reza adalah nama saya," ujarnya mengikuti apa yang Farah katakan dengan menambahkan beberapa kata di akhir kalimatnya.

Pemuda itu bernama lengkap Reza Ghania Alfarizi. Tampaknya ia berbohong pada Farah. Usianya 2 tahun lebih tua dari gadis itu, namun dirinya bilang mereka seumuran. Ck!
Reza sendiri merupakan salah satu santri yang baru datang tepat satu minggu setelah Farah menuntut ilmu di pondok sang abi.

Reza. Ia sangat menyukai Farah. Tipikal wanita yang begitu menggoda hatinya. Sejak awal bertemu dengan Farah, dirinya merasakan gelora cinta di hatinya. Dengan bermodal mendekati Farah, ia berharap gadis itu juga berbalik menyukainya.

"Hari ini kita akan berpisah Fa. Aku nggak bisa terima fakta ini. Nanti aku akan berjauhan dengan kamu di setiap harinya, apa aku bisa menahan rinduku?" ujar Reza dengan kalimat terakhir yang dapat membuat Farah menahan malu.

Ammar yang tak sengaja melihat keduanya tengah berbincang, menghentikan langkahnya dan bersembunyi di balik pohon. Ia memasang mimik wajah sendu kala mendengar ucapan Reza.

"Kamu bisa menahan rindu kamu Za, tapi itu kehampaan yang cukup berat untuk dinikmati." Kiranya seperti itulah Ammar berujar ketika Reza selesai mengucapkan pertanyaannya.

"Kakak tidak sepatutnya untuk merindukan saya. Kakak bukan siapa-siapa saya dan saya bukan siapa-siapa Kakak. Saya permisi." Farah langsung berlalu begitu saja meninggalkan Reza yang masih mematung di tempatnya.

Menit berikutnya, ada dua santri putri yang tengah berbisik.

"Gus Ammar teh jadi nggak ganteng lagi ya, rambut sama jenggotnya juga jadi panjang sekarang," ujar santri berbaju gamis tosca dengan nada khas Sundanya.

"Ya itu salah dirinya sendiri lah, kenapa juga Gus Ammar ngeluarin teh Caca dari pondok?" balas santri berbaju gamis pink muda.

Gadis berbaju gamis tosca kemudian mengangkat telapak tangannya ke udara, seakan-akan berkata, "Ya mana aku tahu."

Farah yang mendengar itu, hanya bisa tersenyum simpul. Tak hanya fisik Ammar saja yang berubah, tapi sikap abangnya itu pun berubah. Yang sebelumnya ceria dan usil padanya, kini menjadi seseorang yang cuek. Tak jarang pula para santri saat ini menganggap jika Ammar adalah ustadz yang mengerikan.

----

Tbc!!

Jangan lupa vote dan komentar.

👤 Nurul W

📋 Bandung, 15 April 2020

Pangeran Impian✓Where stories live. Discover now