34

1.1K 106 9
                                    

🍁Bayangmu menampik untuk disirnakan, menuntut akan perjuangan. Namun, bisakah kutentang takdir Tuhan? Yang telah tergariskan membentuk sebuah kenyataan, bahwa aku dan kamu tak akan bisa bersatu di pelaminan. Menyerah, kulantangkan!🍁

Mata membidik lekat sebuah figura dalam genggaman, tepat pada gambar seorang wanita cantik berbusana putih yang tersenyum seolah tanpa beban tengah menggandeng pria menawan yang dulu ramah dan penuh senyuman.

Iya, mediang sang istri telah lepas dari beban. Ia telah tenang dan berbahagia di alam sana. Sementara pria di sisinya itu kini menampung begitu banyak beban kehidupan dalam dasar hatinya, memikul sejuta impian di bahunya dan menyimpan beribu banyak harapan dalam pelupuk matanya.

Tak terasa embun melapisi bola mata, kala ingat tekadnya untuk menyimpan setia dengan tidak menumbuhkan lagi cinta.

Mubin mengusap mata, itu harus dilakukannya. Ia harus menyingkirkan rasa semu sementara waktu itu pada gadis khadamah yang berani memungut hatinya yang tergolek lemah kehilangan cinta.

Ia mengembus napas berat saat memutuskan menghampiri Kyai Mustafa yang duduk termenung di ruang tengah. Pria sepuh itu nampak memikirkan sesuatu yang Mubin tak ketahui apa itu.

"Bah?"

"Eh, Bin?" Kyai Mustafa menepuk sofa kosong di sebelahnya menyuruh agar putra sulungnya duduk.

"Bagaimana usahamu, lancar?"

Mubin mengulas senyum simpul lalu mengangguk, "alhamdulillah, Bah."

Terdengar embusan berat dari Kyai Mustafa setelah keduanya memilih hening sedikit lama. Pria berkalung surban itu menatap lurus menerawang. "Memikirkan Fajri itu tidak semuda memikirkan kamu dulu," ujarnya pada akhirnya buka suara.

"Dulu saat kami merencanakan perjodohan antara kamu dan almarhumah Fiqoh semua langsung setuju, pernikahan itu berjalan lancar dan kalian saling mencintai tidak butuh waktu lama."

"Beda sama Fajri, entah ada apa dengan anak itu," sambung Kyai Mustafa disusul desah napas berat.

"Bah ... Fajri sama Mubin kan beda dari segi apa pun, dulu Mubin sudah mateng buat nikah tapi belum ada calon, lawong Mubin ndak punya keberanian mendekati wanita. Sedangkan Fajri bertolak belakang, Bah ... dari abege dia berani main cinta sampe dulu pernah kena takziran, 'kan?"

Kyai Mustafa manggut-manggut ingat akan memori lalu.

"Mungkin Fajri punya pilihan sendiri, Bah," ujar Mubin menyakinkan.

"Tapi bagaimana, perjodohan ini sudah direncanakan dari dulu."

"Bukahkah masih ada kesempatan untuk lepas saat ijab belum kobul?"

"Bukan itu masalahnya, tapi Abah bingung bagaimana cara mengakhiri semuanya. Ndak enak sama keluarga Gus Zumar."

Mubin menunduk mencari cara lalu terlintas sesuatu ide.

"Kamu yakin begitu?"

Mubin mengangguk pasti setelah bercerita, membuat Abahnya mempertimbangkan usulan sang putra.

"Sebenarnya siapa wanita yang Fajri suka?"

"Apa Abah bakal memberi restu siapa pun wanita yang Fajri suka?"

Kyai Mustafa mengangguk mantap. "Asalkan dia wanita baik-baik dan sholehah," jawabnya membuat Mubin tersenyum kecut, dadanya sakit. Bukankah restu sang abah untuk adiknya yang ingin ia raih? Setelah yakin itu akan didapatkan mengapa hatinya merasa sakit oleh tindakannya sendiri? Ah, itu adalah resikonya.

"Dia santri sini, Bah."

☕☕☕

"Hish! Ulya, kamu ini ndak mudeng juga? Ning Azizah cerita begitu berati secara ndak langsung mengatakan kalo dia itu suka sama Gus Mubin, dalam artian juga dia cemburu liat perlakuan Gus Mubin yang beda ke kamu! Kayaknya Gus Batu emang suka sama kamu."

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now