4

2.1K 217 5
                                    

"Bidadari Syurga ana!"

"Ulya!"

Gadis yang tengah tergopoh-gopoh berjalan di koridor madrasah itu baru menghentikan langkah, berbalik pada sumber suara. Tampak di ujung lorong seorang pria tengah berlari dengan seringai senyum menghampiri Ulya.

"Titip buat Masmu," ujar pria itu seraya menyerahkan sebuah undangan ke depan Ulya. Ragu, gadis itu menerima kemudian memerhatikan seksama undangan pemberian siapa?

"Ini siapa, sih, Mas Amir?"

"Desti, dulunya cinta dalam diam Masmu."

Ulya manggut-manggut paham, perlahan bibirnya terseret membentuk lengkungan. Ingin tertawa saja. Bagaimana mungkin takdir kakak beradik itu nyaris sama, baru saja Ulya patah hati ditinggal menikah. Dan ini, Alam? Ulya tak kuasa menahan tawa, tetapi juga iba sebab ia tahu amat sangat menyakitkan.

"Benerkah?"

Amir mengangguk mantap. "Sampe'in ke Masmu, yoa," ujarnya seraya mengayunkan langkah. Namun, berhenti kembali seperti ada sesuatu yang tertinggal. Pria itu menghadap Ulya lagi.

"Oh, iya satu lagi pesen buat Pak lurah Subhan alias Pacamer, Bapak calon mertua."

"Mas Amir aneh! Buat Bapak ... ada apa?" Ketus Ulya tak sabar karena ia sudah harus mesuk kelas yang hendak diampu.

Amir tersenyum menyimpan arti terselubung. Bola mata cokelat itu bergerik memandang gemas gadis lugu di hadapan. "Bilangin ke Pacamer, udah siap gelar hajatan belum. Mas Amir mau minang Ulya secepatnya dari pada putrinya gegana terus."

Ulya menganga, kemudian menggeleng beberapa kali. Ucapan Amir seperti itu bukan hal baru lagi. Sudah biasa. Bahkan seperti tidak pernah sekali saja tidak menggombal jika Amir berkesempatan berbicara dengannya. Sekalipun dulu ia hendak menikah dengan Arif. Ya, sebatas candaan.

Dan itulah sesuatu tertinggal yang dirasakan Amir, dia merasa ada yang kurang kalau tidak melihat wajah lugu itu ngambek. Amir menyukai tingkah Ulya. Ya, walau sebatas bercanda meski saat ada Alam ia akan langsung kena jitak. Mumpung Alam tidak ada itulah kesempatan luang bagi Amir untuk menggoda adik sahabatnya.

"Mas Amir itu ndak sehat atau kekurangan obat? Mending nanti setelah ngajar mampir klinik, periksa deh pasti demam tinggi. Atau kalo endak kayaknya otaknya udah gesrek."

"Woah, makasi Ulya. Kamu itu perhatian benget. Iya, kata dokter aku difonis pernyakit langka ... namanya cinta cenat-cenut."

"Hah, pernyakit apa itu?"

"Ndak kalah aneh sama yang punya pernyakit," gumam Ulya sembari menghela napas jengah.

"Ya, gitu, deh. Jantungku berdebaran terus kalo jauh kamu, maunya nempel aja gitu."

Ulya menghela napas, menggeleng. Sepertinya teman lama Alam ini sudah tidak waras.

"Haduuh. Kayaknya Mas Amir harus segera di otw-kan ke rumah sakit. Udah parah, Mas."

Gadis itu melangkah lebar meninggalkan Amir yang sedang terpingkal. Buang-buang waktu!

"Eh, Ul! Besok rabi, yoa!"

Ulya mengangguk dengan tersenyum menyapa kembali sesama ustazah yang mengajar di madrasah At Taqwa, ia menghiraukam ucapan Amir meski lantang dan sampai gendang telinga.

(Mas, sahabatnya kumat itu di madrasah.) Ketik Ulya untuk Alam.

Tak lama ponselnya berdering, langsung mendapat balasan.

(Si Kang sandal kata kamu itu? Dia kan wes balik pondok.)

(Kok Kang Sandal? Mas Amir itu, lho. Stresnya udah parah.)

Teruntuk Mantan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang