11

1.8K 178 0
                                    

"Cilukba ...."

Ulya membiarkan sahabatnya bermain dengan si kecil kembaran. Sementara dirinya berdiri menatap lekat sebuah figura besar foto keluarga Kyai Mustafa yang terpajang di dinding ruang tengah. Rumah ini lenggang, tak ada sesiapa pun, semua anggota keluarga seperti sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

Wajah demi wajah diterulusuri lekat. "Jadi ... ibunya Ning Ulyana itu yang mana?"

Ulya duduk di depan Ningsih, menatap gadis itu yang belum menjawab. Ulya benar-benar penasaran dan ingin tahu, sebab dua hari sudah mengabdi di sini belum tahu apa pun soal keluarga ini dan sialnya ia tidak bisa membunuh rasa keingintahuan itu. Wajah kan bila ingin tahu?

"Namanya Ning Fiqoh, beliau sudah meninggal disaat melahirkan Ning Ulyana."

"Innalillahi." Refleks Ulya menangkupkan tangan di mulut. Kedua pasang matanya beralih tatap pada gadis kecil yang duduk di pertengahan dengan sorot iba. Ulya tak tahan ingin mendekap gadis itu, turut prihatin sebab sekecil ia sudah kehilangan ibunya. Ulya saja yang sudah besar jika di rumah manjanya pada sang bunda masih melekat.

"Jadi sejak lahir Ning Ulyana diasuh sama orang lain?"

"Yaps betul."

Ningsih tentu tahu, ia sudah mengabdi lama di pesantren ini jauh sebelum Mubin dan Fiqoh menikah, jadilah sedikit banyak ia paham tentang keluarga itu.

"Ya Allah ... kenapa ndak Umi Nyai yang momong dia?"

"Mana bisa, beliau kan sibuk simakan sama santri. Juga acara pengajian-pengajian gitu. Iya, sih kalo beliau lagi ndak sibuk pasti momong Ning Ulyana."

"Kasian benget, ya." Ulya kembali mengamati figura besar yang terpajang di dinding depannya. "Kayaknya semua sibuk dengan kegiatan masing-masing, ya? Apa semua keluarga Kyai begitu?"

"Dari awal, sih emang udah begini, Ul. Kyai Mustafa, beliau kan ngisi pengajian di berbagai daerah bahkan jauh-jauh non stop. Umi Halimah, beliau ngurusin santri tahfidz. Gus Fajri, yang kamu sebut 'kang sandal' itu ngurus pesantren keseluruhan."

Ulya sedari tadi manggut-manggut saat sahabatnya menjabarkan. Namun, langsung merengut ketika Ningsih menekankan kata 'kang sandal'. Ia jadi malu sendiri jika mengingat nama panggilan itu. Aish! Ulya sudah kurang ajar, syukurlah Fajri konyol sehingga dia tidak marah dipanggil seperti itu justru malah senang. Apa katanya? Berasa seperti panggilan sayang? Aish! Konyol, 'kan? Seandainya saja kalau ia salah memanggil Mubin yang menurutnya super galak bin ketus itu, pasti habis ia diceramahi dan tidak diampuni.

"Kalo ... G-us Mubin?"

"Dia, sih lebih fokus ke usahanya di kota. Konfeksi sarung. Palingan soal pesantren dia terima beres, juga ngajar kalo malem doang karena emang dia kan pulangnya selalu malem."

Ulya mengangguk paham. Mata bulatnya kembali melayang, memanah gambar seseorang yang tersemat di antara foto keluarga yang mana terdiri dari tiga orang pria dan satu wanita dengan sirat pancaran bahagia.

Rupanya Ulya salah anggap? dia pikir Mubin tidak bisa tersenyum sebab raut wajahnya selalu datar dalam kondisi apa pun itu. Entah belum atau memang tidak akan, sebab Ulya tidak pernah melihat pria itu tertawa. Jangankan tertawa tersenyum simpul saja tidak pernah. Ulya jadi penasaran seperti apa senyuman pria itu hingga disembunyikan serapat itu. Apakah bisa sampai membuat bumi takhluk? Tidak mungkin! Namun, di sana Mubin tersenyum lebar dan ... tak bisa menampik lebih tampan. Semuanya memang tersenyum tanpa beban di sana, menyiratkan kebahagiaan dengan saling rangkul dan memamerkannya ke depan kamera.

"Gus Mubin emang gitu, ya?"

"Gitu kepiye?"

"Ndak pernah senyum," ujar Ulya dengan mata memicing.

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now