10

1.5K 155 1
                                    

"Isfa' lana, lana lana ya habibana--"

Seperti sebuah musik putaran dari ponsel, alunan salawat itu langsung terhenti begitu saja ketika pintu yang ditarik sudah terbuka lebar. Dan di dalam sana menampakkan seorang gadis yang sedang berdiri menatapnya jua. Mata mereka beradu pandang sepersekian detik. Namun, hanya senyum yang bisa ditampilkan. Apalagi ia masih hanya mengenakan pakaian ala kadarnya saja, kaus oblong, sarung asal, rambut basah acak-acakan serta handuk mengalung di lehernya. Pun sebelah tangan menjinjing ember baru saja menjemur pakaian.

"Mbak Ul-ya?"

Gadis itu menjatuhkan pandangan setelah tak sengaja menatap pria di depan tanpa berkedip sangking terkejutnya. Ia tidak memersiapkan diri jika di tempat ini akan berjumpa dengan pria itu, bertemankan sejuta rasa malu yang menyelubungi mengingat waktu kemarin-kemarin antara keduanya. Atas sikapnya juga panggilan yang ia sematkan asal-asalan begitu tidak sopan untuk putra Kyainya. Itu karena Ulya tidak tahu, 'kan? Dan pria itu tidak menjelaskan.

Bibir Ulya mengatup, serasa kelu untuk berucap. Bingung mesti memulai dari mana untuk mengutarakan maaf sebab kelancangannya kemarin-kemarin. Ulya menautkan kedua jadi telunjuk, menggigit bibir bawah untuk menguraikan gelisah. Sedang memilah kata-kata yang akan ia lancarkan.

Karena sapaannya tidak ditanggapi, Fajri ke luar menaruh ember di sebelah pintu, tetapi kemudian berbalik lagi menghampiri Ulya. Dari raut yang terpancar dari gadis itu Fajri pikir sepertinya Ulya kaget mengapa ia ada di sini, sehingga Fajri buka suara agar dia tidak curiga.

"Aku baru numpang jemur pakaian di situ ndak dimarahin Kyai atau Guse to, ya?" Ujarnya dengan menunjuk luar.

"G-us Fajri ...."

Pria berkaus oblong berwarna putih itu sontak melempar sepasang mata pada gadis lugu yang berdiri menunduk di depannya, ketika nama itu terucap dari bibir merah jambu milik Ulya. Gadis itu sudah tahu siapa ia yang sebenarnya? Tentu Fajri terkejut, siapa yang memberi tahu Ulya soal ini? Pertanyaan beruntun memadati benak.

Sementara Ulya merasa gagap. Kenapa kata-kata yang sudah dirangkai sempurna dalam angan tak bisa meluncur mulus sampai lisan. Ini sungguh menyebalkan.

"Kenapa, Mbak Ulya? Jujur aja, mau bilang apa? Atau mau bilang kalo sampean bati?"

Ulya menggeleng pelan, bati lagi! Mana mungkin ia berani bati (bawa hati) dengan sang putra Kyai. Harapannya untuk menjadi teman pria itu saja seakan musnah ketika tahu yang sebenarnya, jika Fajri adalah Gus. Dia putra bungsu Kyai Mustafa--pengasuh pondok pesantren tempat Ulya mengabdi. Ia pikir Fajri bisa menjadi teman baru yang menyenangkan sebab tingkahnya sebelas dua belas dengan mas-mas koplaknya di rumah, Alam dan Amir. Hanya saja, kalau Fajri terkesan lebih lembut sikapnya.

"Dan ternyata njenengan adalah Gus saya," lirih Ulya dengan menunduk dalam.

"Maafkan saya, Gus sebab sudah lancang memanggil njenengan 'Kang', Sandal lagi," imbuh Ulya dengan penuh penyesalan bersama kepala yang dibungkukkan dalam-dalam.

"Saya sedih, Mbak."

Ucapan pria itu tentu membuat wajah Ulya terangkat seketika, ia merasa makin bersalah akan itu. Rupanya panggilan kurang ajarnya membuat Fajri bersedih. Pria itu menundukkan pandangan sesaat dengan helaan napas pelan.

"Sedih karena kamu udah tau yang sebenarnya, sebab saya seneng di panggil 'Kang', sandal lagi," ujar Fajri diiringi kekehan kecil yang membuat sesak dada Ulya menguap seketika. Lega rasanya. "Berasa kayak panggilan sayang," imbuhnya.

Pada akhirnya Ulya ikut tersenyum lebar. Kini ia sudah tidak salah menjustifikasi jika pria itu tertular virus konyol Alam dan Amir.

"Njenengan maafkan saya kan, Gus?"

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now