25

970 127 2
                                    

📎Ke pada hati siapakah kapal asmaraku harus berlabuh? Apakah harus aku papah agar tak salah arah?📎

Langkah Ulya spontan berhenti di depan pintu dapur ndalem, ketika ia melihat seseorang pria tengah menjemur pakaian di samping.

Sarung biru dongker garis-garis putih dan kemeja putih itu?

'Itu kan ....'

Ketika melihat paras pria yang baru menjemur pakaian itu Ulya terkejut bukan main. Ia menggeleng kuat, menetralkan prasangka yang menyelubungi benak. Pria itu tidak mungkin seseorang di balik nama samaran Kang subuh.

"Saya ndak nyuruh kamu ke sini," ujarnya membuat lamunan Ulya buyar.

"S-sa-ya ...."

"Mbak Ulya!"

Gadis itu sontak menghadap asal suara, di mana Fajri berdiri di ambang pintu dapur memanggilnya. Sebelum menyambangi Ulya mengangguk sopan pada Mubin.

Jantung berdebaran kencang ketika memijak langkah ke ruang tengah, setelah tadi Fajri bicara bahwa ada yang mencarinya.

Perasaan Ulya campur aduk, gundah gulina serta gemetaran sangat kentara. Ia takut jika yang mencarinya itu adalah Kang subuh. Bagaimana jika pria yang tak diketahui identitas aslinya itu hendak melancarkan aksi.

Namun, bila benar kang subuh hendak melancarkan aksi, berarti Mubin yang Ulya sangka bukanlah pria misterius itu.

"Kenapa berhenti, Mbak?"

Suara Fajri membuyarkan lamunan Ulya. Gadis itu menggeleng kemudian melanjutkan langkah menuju ruang tengah.

Sepasang netra caramelnya bertubrukan dengan bola mata pekat di sana, seorang pria jangkung berbusana muslim rapi dengan balutan sarung hitan dengan sopannya duduk di kursi ruang tengah ndalem bersama Kyai Mustafa.

Jantung Ulya berdebaran saat itu juga, merasakan sesuatu melebur di dada, matanya berembun. Kerinduan yang selalu menuntut temu itu akhirnya terbayarkan.

Alam, kakaknya ingin sekali rasanya Ulya menghambur ke pelukan pria itu.

❤❤❤❤❤

Dengan gurauan yang menghadirkan canda tawa, Ulya bersama kakaknya berjalan menuju parkiran di mana mobilnya terparkir juga keluarganya menunggu.

Di halaman pondok yang luas sudah tampak banyak kendaraan milik wali santri berjejer rapi, lalu lalang orang-orang pun ramai. Kebanyakan wali santri berdomisili jauh datang hari ini, memenuhi undangan untuk menyaksikan haflah khotmil Qur'an.

Panggung besar terdekorasi apik di depan musala pondok, beberapa kang santri juga masih menyiapkan agar semuanya menjadi sempurna.

Ulya tersenyum semringah ketika melihat orang-orang yang paling dirinduinya, ia menghambur ke pelukan sang bunda, mencium tangannya penuh takdzim. Begitu pun kepada bapak.

"Bidadari syurga ana, Mas Amirmu ini rindu serindu rindunya."

Ulya tertawa, ia bahkan baru saja menyadari manusia koplak itu juga turut datang menyambanginya.

"Makasih, ya, Mas Amir udah ikut datang sambang aku."

"Yoai, Ul ... Mas Amir kan paling rindu sama dedek Ulya."

Ulya tertawa sambil menggeleng, jujur saja ia merindukan pria itu juga. Rindu akan canda tawanya.

Namun, ada detik waktu ambigu tatkala seseorang tiba-tiba muncul dari dalam kamar mandi umum sebelah parkiran. Tentunya seseorang yang tidak asing dalam penglihatan Ulya, dia yang dirindu, tetapi tak ada restu untuk meleburnya dengan temu. Dia yang tengah susah payah gadis itu singkirkan dari benak, imajinasi juga hati. Semuanya terdiam seolah mengerti. Di sebelah Alam menepuk bahu Ulya hingga pandangannya beralih menatap sang kakak.

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now