21

2.7K 211 42
                                    

"Jadi ... kalian iki dateng ke sini cuma buat diem-dieman gini?" tanya Alam seraya menyeret mundur tubuhnya untuk bersandar di tembok.

Sepasang matanya bergerak mengamati satu persatu wajah dari kedua pria yang diam tercenung di hadapan. Hanya menanggapi pertanyaan Alam dengan meringis tanpa sepatah kata, kemudian hening di antaranya kembali menyelimuti.

Amir menyangga dagu dengan kedua tangan, kondisi penampilannya acak-acakan, kopyah miring, rambut acakadul, ditambah bibir yang manyun. Berbeda dengan Arif, meskipun sirat galau tak bisa disembunyikan pria itu terlihat baik dari penampilan. Hanya saja, pandangan lurus ke depan dengan secangkir kopi suguhan di genggaman.

Alam pula ikut terseret sama dalam kegundahan, sebab ia juga gelisah lantaran kabar yang ia nantikan dari gadisnya tak jua tersemat ke layar ponsel. Mereka bertiga sedang tertimpa masalah sama, tentang wanita yang membuat hatinya gundah gulana.

"Dateng ke sini sendirian, Rif?" Alam berusaha memecah hening, menguraikan sunyi yang menggerogoti pula melarutkan perasaan dalam nestapa.

"Ke sini sendiri, tapi ke rumah ibuk sama istri," jawab pria berkemeja biru langit di samping Amir sembari menaruh kopi pada permukaan lantai teras.

Alam menanggapi dengan senyum kecut, pertanyaannya benar, hanya saja jawaban Arif terlalu rinci.

Iya, mereka lebih memilih suasana sejuk di teras sehingga menolak ketika dipersilakan masuk. Duduk lesehan di atas tikar, menikmati secangkir kopi dengan teman gorengan seharusnya itu pas sekali menemani malam. Jikalau hati sedang tidak digeluti kegalauan. Namun, berbeda, kopi itu kian dingin tak tersentuh. Gorengan yang amat menggiurkan dengan cabe di sebelah tak lagi menyita perhatian.

Hening lama, angin yang berembus lebih terasa karena tanpa adanya sepatah kata.

"Aku galau."

Kompak, ketiganya bersuara dengan satuan huruf sama. Sehingga saling toleh selama sepersekian detik. Tawa berhamburan membuat suasana menjadi ramai, sebelum semuanya memudar dan kembali saling diam seperti posisi semula.

"Sekompak inikah kita? sampai-sampai galau pun bareng." Alam menyergahkan napas, tangan panjangnya meraih cangkir kopi yang sejak tadi dibiarkan menemani tanpa disentuh. Disesapnya setengah, tetapi ia tahan cairan hitam itu dalam rongga mulutnya sejenak. Mata bulat Alam kembali memanah kedua sahabatnya yang masih larut dalam tatapan kosong. Tegukan kopi yang sempat tertahan tedengar lebih jelas di antara kesunyian.

"Posisi kita sama sekarang. Kalau kalian datang untuk konsultasi hati, aku ndak jamin saran yang ke luar itu benar," kata Alam setelahnya.

"Aku ndak mau konsultasi hati sama orang yang bertindak memperjuangkan cintanya aja lambat, malah nyaris terlambat," ujar Amir terdengar menyindir. Ia nyaris lupa, seorang Amir tidak boleh galau. Bukankah ia pandai menetralisir masalah itu biasanya? Maka dari itu dengan semangat Amir membetulan posisi kopyah, sebelum meraih kopi suguhan kemudian berlanjut menyantap gorengan.

"Alesan! Mukamu itu ketok galau!" Alam menjitak kepala pria berkaus hitam dengan lengan pendek di hadapan. Di sebelah Arif hanya menimpali dengan seulas senyum bersama gelengan beberapa kali.

"Aku emang ndak mau konsultasi hati, tapi mau berbagi duka aja gitu, hoy!" ucap Amir dengan mulut penuh mengunyah gorengan.

"Konco sedeng! Duka dibagi, suka buat sendiri." Kata Alam sembari meraih ponsel yang tergeletak di sebelahnya duduk, tersemai harap ada pesan dari nomor yang dinanti setelah seperempat jam ia tinggal. Melihat harapannya tak terwujud membuat kesadaran pria itu terbawa ke dalam lamunan, sehingga jawaban Amir hanya terdengar samar tak begitu diperhatikan. Alam mengacak rambut frustrasi.

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now