12

1.6K 176 3
                                    

"Ulya, coba tuliskan apa harapan terbesar kamu kelak yang sangat ingin dicapai."

"Ulya pingin--"

"Ndak usah diomongin. Tulis aja di kertas origami ini."

Gesit tangan Ulya meraih sebuah kertas berwarna merah yang disodorkan oleh pria di sisinya duduk dengan jarak terjaga di saung bambu. Ulya meraih bolpoint yang tergeletak di sisinya duduk. Jemarinya bergerak lincah mengukir abjad-abjad hingga menjadi rangkaian kata.

"Selesai," katanya sembari menjulurkan kertas itu.

"Itu akan jadi rahasia. Coba kamu lipat seperti ini."

Mata bulatnya jeli memerhatikan cara pria di sisi melipat kertas origami berubah menjadi sebuah bentuk hati. Gadis itu sesekali memeragakannya, meski acak-acakan. Si pria tertawa lepas sebab Ulya mendumel karena tidak bisa membentuknya. Tentu senyum gadis itu terurai ketika miliknya sudah terbentuk sempurna sebab bantuan prianya.

"Terus?"

"Kita tukeran."

Di sana Ulya hanya mampu mengikuti cara bermainnya dengan dada yang berdesiran oleh rasa bahagia. Ia menerima kertas origami berwarna kuning milik si pria yang telah terbentuk hati.

"Jangan dibuka, ya."

"Sampai kapan?"

"Sampai kita bersama."

Dua anak manusia yang tengah dilanda cinta dan berusaha menjaganya supaya tidak mencelakai. Mengukir senyuman, menyimpan degupan dan merasai indahnya bunga-bunga cinta yang tengah bermekaran.

"Semoga tulisan kita di kertas ini juga diamini malaikat, ya. Lalu diijabah Allah."

Ulya mengangguk masih dengan senyum lebar yang tersungging.

"Besok aku berangkat ke pesantren lagi, Ul."

Senyum yang terpatri di wajah Ulya perlahan mengendur. Pria itu akan pergi lagi dan belum menjerat ikatan pasti yang ia nanti. Ulya hanya bisa mengangguk dan mencoba bersabar lagi.

"Ulya mau berprinsip dengan Mas Arif? Kamu mau percaya? Kita bisa mendaki perlahan untuk naik sampai atas puncak?"

Ulya menunduk, lebih merasai desau angin yang tengah meniup lembut wajah alam.

"Setelah tugas di pondok selesai,  aku akan serius."

"Serius?"

"Menikah."

"Oh, ya. Ini hadiah dari Mekkah. Cuma ada itu, ndak papa?"

Ulya menyimpan senyum. Menerima sebuah tasbih berwarna cokelat dengan bandul berbentuk hati dari Arif dengan menunduk.

"Supaya kamu selalu mengingat nama Allah dan ... aku."

Nyesek! Hanya satu kata itu yang merengek di dalam hati Ulya jika mengingat penggalan-penggalan kenangan manis bersama mantannya. Ambyar! Ketika menyadari dunia mereka sudah berjalan ke arah masing-masing, tidak lagi satu tujuan dan satu pencapaian seperti prinsip-prinsip sok manis yang terucap dulu.

Ia tidak bisa menyalahkan Arif sebab dia juga terdesak oleh suatu keadaan, meski ia tak tahu yang sebenarnya yang jelas pria itu dijodohkan dan Ulya pikir itu sudah cukup sebagai alasan keduanya tidak bisa berontak dari takdir.

Ulya terlalu cepat ambil keputusan dan tak mau memperjuangkan? Ulya sudah tahu Kyai Arif tengah dalam keadaan sakaratul maut, ia memberi wasiat untuk pria itu supaya menikahi putrinya sebab Zulfa sebatangkara. Jika kau di posisi Ulya, apakah tega? Ia tak lagi memedulikan kerapuhan hatinya, Ulya merasa ikut iba sebagai sesama wanita. Ia tak bisa membayangkan akan bagaimana jika dalam posisi Zulfa, alasan kedua yang kokoh untuknya berjalan mundur dan memilih arah melupakan serta ikhlas meski penuh dengan hitam putih.

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now