17

1.4K 171 0
                                    

Kata 'sah' yang terucap serempak membuat genangan air dalam pelupuk mata menetes. Kepalanya menunduk amat dalam, ia memejam. Merasai lagi bahwa ini bukan mimpi, ia tak menyangka semua akan menjadi begini.

Sebuah tangan yang sudah tampak jelas garis nadinya meraih jemari dingin gadis di sebelah, menggenggam erat. Kepalanya meneleng, menatap si gadis yang tertunduk dalam dengan bungkam.

"Ndak popo, Nduk Heni. Semuanya sudah terjadi."

Kata itu terucap membuat Heni menoleh, ia meraih kedua tangan wanita paruh baya yang sedari tadi duduk di sisinya. Heni membungkuk menyalami penuh takzim wanita itu, badannya terguncang oleh tangis. Sebelah tangan Nyai Waqiah mengelus punggungnya lembut.

"Maafkan aku, Umik ...."

"Kanapa kamu minta maaf? Yakin aja ini sudah takdir dari Gusti Allah," jawab Nyai Waqiah sembari mendekap gadis yang kini sudah menjadi menantunya sejak ijab kabul.

Heni dirundungi rasa bersalah yang amat besar, sebab Desti yang seharusnya ada di posisi ini, duduk diijab oleh lelaki sebaik Ahmad. Entah, ia mesti menyemat ini dengan suatu kebahagiaan atau duka. Heni benci dirinya, ia kesal dengan perasaan yang merajai hati.

Selepas ijab, Nyai Waqiah mengantarnya ke kamar pengantin lantaran melihat gadis itu seperti kelelahan karena terus-terusan menangis. Merutuki diri dan memaki raganya sendiri.

Heni duduk di tepian ranjang, kedua bola matanya tak bisa lepas menjelajah sekeliling yang terdekorasi penuh keindahan, dengan nuansa putih serta kelopak bunga mawar dan melati yang bertebaran di papan ranjang sana. Harumnya semerbak menghujam indra penciuman.

Heni mendongak menatap langit-langit kamar, kemudian terpejam membiarkan buliran-buliran bening menetes bebas. Ia menggeleng kuat. "Bukan ... ini bukan untuk aku. Kenapa kamu begitu, Des? Seumur hidup aku akan merasa sangat bersalah ...."

Benaknya melayang-layang pada secarik surat dari Desti dan sebuah keputusan yang dirundingkan secara mendadak dan diambil cepat tadi. Semuanya terjadi begitu saja. Heni memang mencintai Ahmad, tidak absen mendoakan, tetapi untuk kebahagiaan pria itu. Tidak untuk memprotes takdir harus memilikinya.

Suara pintu terbuka membuat gadis itu membuka mata. Menghapus jejak tangis menggunakan ujung jari.

"Umik nyuruh aku buat nemenin kamu di sini," ujar Santi setelah duduk di sisinya. Heni hanya mengangguk saja.

"Ini bukan buat aku ... takdir ini salah. Aku berdosa, San ...."

"Husst! Kamu iki ngomong opo? Heni, kamu tahu, Desti ndak mencintai Gus Ahmad. Jadi bukan sepenuhnya alasan dia pergi itu karena kamu. Desti percaya kamu lebih bisa bikin dia bahagia," jelas Santi menenangkan.

"Terus ke mana Desti?"

Santi mengambil napas dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Ia menggeleng lemah, sebab tidak tahu pasti ke mana Desti pergi.

"Kan ... Desti ke mana? Dia ndak punya siapa-siapa to di sini?"

"Kamu tenang, dia pasti punya tujuan."

Santi menepuk bahu sahabatnya dengan pelan sebelum beranjak dari duduk. "Aku mau ke belakang bentar," katanya sambil berlalu.

Heni mengangguk. Tatapannya kembali kosong. "Maafkan aku, Ya Allah Gusti!"

*****************
Mencintai itu menyakitkan, tapi kenapa terkadang menjadi pilihan?

Air mata tak jua usai berderaian dari pelupuknya. Sesekali tangan digunakan menyeka juga mengusap, pandangan memilih untuk tertuju ke luar jendela mengamati pepohonan serta bangunan yang saling berkejaran jika dilihat dari dalam mobil yang tengah melaju ini.

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now