31

1.2K 116 12
                                    


🍭Cinta tidak punya mata, ia tak bisa melihat hati mana yang mesti dilabuhi. Cinta tak punya lisan, yang bisa melarang atau memerintah di mana ia akan singgah.🍭

Sekelebat gadis berbusana serba putih dengan mahkota bunga melingkar di puncak kepala mengganggu indra penglihatannya.

Tak jelas wajah anggunnya, gadis itu terus berjalan menyusuri pepohonan yang tampak gersang. Entah sebuah dorongan apa kaki pun ikut mengayun, mengejar si gadis yang terus berjalan makin tak terlihat sebab kabut yang menghalanginya.

Berjalan cepat terus mengejar, tetapi kabut yang kian tebal membuat penglihatan tidak jelas. Sementara gadis itu masih berjalan pergi.

"Tunggu!" Dipercepatnya langkah, mata terpaku pada sosok itu yang justru tampak berlari.

"Tunggu!"

Seketika mata terbuka, terbangkit dari tidur, debaran jantung begitu memburu selayaknya orang yang baru berlari, keringat dingin pula turut mengalir di pelipis.

Hanya mimpi?

Mubin mendongak mengusap wajah dengan kedua tangan, berusaha mengatur deru napas agar stabil.

Pandangan beralih pada gadis kecil yang terpejam pulas di samping, rupanya ia tertidur di kamar Ulyana.

Tangan kekar Mubin mengelus kepala putrinya, mengecup lemput pipi tembam sang buah hati. Ulyanalah penenang di seluruh porak-poranda hati.

Mata memanah pada sebuah jam bulat yang tergantung di dinding kamar, pukul satu dini hari. Ia bergerak turun perlahan agar tak menimbulkan suara yang mengganggu tidur si kecil, lantaran Mubin berniat untuk mengambil wudu kemudian melaksanakan salat sunah agar hatinya tenang.

Pintu kamar Fajri yang terbuka membuatnya menghentikan langkah tepat di sebelah, pandangan diiring masuk menilik saudara sekandungnya yang tengah duduk di atas sajadah. Tampak khusyu Fajri melayangkan doa, yang tak Mubin ketahui apa isinya.

"Perjodohan itu ... bukan suatu ikatan janji jadi semuanya masih bisa memutuskan pilihan sendiri."

"Tidak ada yang salah mencintai seseorang, bagaimana pun status dan kedudukannya karena cinta itu buta. Dia timbul begitu saja tanpa direncana. Setiap orang juga punya hak untuk memperjuangkan cintanya, termasuk aku. Aku akan bicara baik-baik ke abah untuk meminta hakku ...."

"... bila memang Kang Mas tidak menyimpan rasa terhadap Ulya. Maka aku akan memperjuangkannya."

Entah mengapa ucapan adiknya tadi sore terlintas begitu saja di dalam benak Mubin, membuat jantunya terpacu oleh detak tak menentu dan perih yang tiba-tiba hadir di kalbu.

Mubin benci rasa itu, ia harus memegang janji di dalam diri tidak akan mencintai lagi. Maka, ia harus menenggelamkan perasaan aneh itu dalam-dalam ke jurang hati.

"Semua orang punya hak untuk memperjuangkan cintanya? Tapi itu tidak denganku, bagaimana jadinya jika seorang kakak beradik berperang dalam doa memperebutkan satu wanita? Argh! Aku tidak mencintainya ... tidak! Tidak akan pernah," kesah Mubin.

"Bantu aku untuk menghapus rasa yang tak seharusnya ini, Ya Allah," pintanya penuh harap. Mata elang itu memanah kran yang dibiarkan mengalir.

Baru selangkah ke luar kamar mandi ia dikejutkan oleh seseorang, seringai yang didapati membuatnya mendengkus. "Tak kira siapa!"

"Hehe."

"Mau ke mana kamu?"

"Mau ke musola, pengen merenung," jawab adiknya dengan cengengesan sebagaimana ciri khasnya.

"Oh, ya, Kang Mas ... aku mau berdoa supaya abah merestui pilihanku, bantu doa, ya."

Mubin terdiam, lagi-lagi hatinya merasa perih. Apakah dengan seperti ini terus menerus ia bisa memendam perasaannya?

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now