5

2.1K 217 6
                                    

#Teruntuk_Mantan_05
#Mantan_Manten

Dengan pakaian rapih membalut tubuh, sebuah kemeja batik dan sarung berwarna hitam juga kopyah senada menyandang kepala, Amir melangkah lebar dengan wajah sumringah. Salawat melantun kecil dari bibir tipis itu. Ia memang selalu begitu, wajahnya tak pernah henyak dari raut ceria, juga suka bersenandung kecil hingga sebagian orang terkadang memfonis Amir pria tak pernah  galau.

Sebenarnya bukan begitu, ia merasakan pelik kehidupan seperti manusia pada umumnya. Hanya saja ia terlalu membawanya dengan santai.  Bagaimana tidak slogannya saja sudah, 'di mana-mana kapan saja hatiku gembira'.

"Amer!"

Baru saja melangkah ke luar dan sekarang tengah bersiul-siul di depan jendela kaca rumah, bersolawat sembari menyisir rambut menggunakan jemari tangan yang sudah diberi uap alami dari mulutnya sendiri. Namun, sudah dikacaukan oleh suara toa dari dalam rumah.

"Yooai, Mak?"

"Mak dari tadi ngomong kamunya malah melipir. Apa yang kamu lalukan itu ja-hat, Amer!"

Amir memasang kembali kopyahnya setelah tatanan rambut lebat ikal itu dirasa lebih rapih. Kemudian menghadap wanita paruh baya yang tengah mengomel-ngomel. Amir sangat paham bagaimana tingkah Emaknya itu, kadang ia sebal karena terlalu demam sinetron. Dan lihatlah kelakuan ala sinetronnya menurun dalam sehari-hari.

"Kenapa si, Mak sayangku, cintaku?"

"Tadi Mak tanya kamu belum jawab," geram Bu Marni karena tadi ia sedang mengajak anak bungsunya berdiskusi perihal hati malah seenaknya ditinggal pergi.

"Ooh. Iya, minggung depan wes, ah."

"Serius? Yo, wis Mamak tak telpon Bu Sulis dulu suruh anak gadisnya siap-siap. Jadi ... kita mau ketemuan di mana kira-kira?"

Kening Amir bergelombang, ia menggaruk tengkuk yang tak gatal. Sungguh, dia tidak paham apa yang sedang dibicarakan Ibu tercintanya itu.

"Sek-sek, Mak. Ini sebenernya apa? Bukannya Mak tanya kapan beli TV barunya?"

"Gusti Allah moho Agung ... Iki masalah rabimu, Paijo!"

Bola mata Amir membola, nyaris ke luar. Masalah apa pun yang menyapa selalu dia tanggapi dengan ceria, tetapi soal hati mengapa ia keki, ya? Namun, bukan Amir jika akan menggalau.

"Kuserahkan semua padamu, asalkan kau bahagia, Mak."

"Cah bagoos." Bu Marni mengacungkan jempol dengan tertawa menang. Setidaknya Amir mencoba tetap birul walidain, yang terpenting ia manut dulu apa kata Ibunya yang sudah ngebet pengen punya cucu untuk memperkenalkannya dengan putri temannya. Sreg atau tidak, pikir keri. Begitu anggapan Amir membawanya slow kembali.

**
"Nanti kamu berangkat sama Mas Alam, kan?" tanya Bu Siti pada putrinya yang tengah sibuk berkutik mempersiapkan segala keperluan nanti selama di pesantren.

"Iya, cuma sampe terminal aja," jawab Ulya.

"Nah, Alamnya mana?" timpal Bapak yang berdiri di kamar putrinya.

"Belum bangun dia, Pak," jawab Ulya.

"Ndak dibangunin, Buk?"

"Udah tapi kaya batu," kata Ibu membuat Ulya tertawa.

"Nanti biar Ulya yang bangunin. Dijamin langsung makgragah."

"Ya, wes Bapak berangkat. Nanti kamu hati-hati di jalan, yo."

Gadis mungil itu mengangguk seraya tersenyum lebar. Membiarkan tatkala pria paruh baya itu mencium puncak kepalanya. Memang berat hati saat hendak pergi mondok, dia pernah merasakannya dulu.

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now