26

1.1K 131 13
                                    


🍂susahan mana? Melupakan ... atau move on?🍂

"Fadila!"

Seseorang wanita paruh baya memanggil gadis yang masih tercenung di hadapan Fajri.

"Iya, sebentar, Umik."

"Gus, sebenernya ada yang perlu aku bicarakan padamu. Apa boleh aku minta nomor kamu?"

Fajri masih menampakkan wajah datar, hanya mengangguk saja. Perasaannya kini campur aduk, bagaimana mungkin Fadila muncul di hadapannya, terlebih di pesantren Abahnya sendiri. Lalu, tadi Nyai Ruqoyah, jelas ia tahu siapa wanita itu. Dia adalah istri dari pengasuh pondok pesantren yang pernah menjadi tempat bagi Fajri menuntut ilmu. Bagaimana bisa Fadila bersama wanita itu? Ada hubungan apa?

"Gus?"

Entah sudah berapa kali Fadila memanggil, tetapi pria itu masih melamun sampai terkaget di panggilan terakhir. Gadis mungil nan ayu itu menyodorkan ponsel ke depan Fajri, meminta pria itu supaya mencatat nomor ponselnya di sana.

"Makasih, Gus."

Ekspresi macam apa yang sudah Fajri tampilkan? Seharusnya ia akan sangat bahagia dengan pertemuan ini, tetapi sekarang hatinya menjadi ambigu. Perasaannya dulu seperti telah menguar terbawa waktu.

📎📎📎📎📎📎📎

Haflah semalam sudah berjalan dengan lancar, tentu menjadi kepuasan tersendiri bagi para dzuriyyah pesantren, juga segenap pengurus.

Di sisi lain, Ulya malah berjalan tak ada semangat menuju kamar tamu untuk menemui ibunya. Dia teringat cerita Azizah kemarin. Dari itu Ulya seperti merasakan sesuatu, bila Azizah mencintai Mubin. Lalu, apa pedulinya? Ulya merasakan ketidak beresah hatinya, mengapa perlu gundah memikirkan itu?

Langkah spontan berhenti ketika melihat gadis yang tengah memenuhi benaknya sedang bersama Ulyana di taman pesantren. Mereka tampak ceria bercanda tawa. Akrab.

"Gus Mubin itu sebenarnya pria yang baik, penyayang, juga perhatian. Tapi itu tertutup karena keterpukurannya kehilangan Mbak Fiqoh. Sampai-sampai dia jadi tertutup dan batu, dia ndak mau buka hati lagi untuk wanita lain."

"Katanya itu wujud kesetiaan."

Jelas, kata-kata Azizah terputar lagi di dalam benaknya. Aish! Ulya menggeleng melanjutkan langkah lebih cepat tak mau menggubris perasaan aneh yang menimpanya.

Bu Siti, Pak Subkhan, Alam, Amir dan juga Ulya sudah kembali berkumpul di aula melanjutkan canda dan tawa sebelum mereka akan pulang ke Jepara. Ulya sedih tentunya karena akan terpisah lagi dengan keluarga.

"Arif di mana?" tanya Bu Siti.

Alam dan Amir serempak menggeleng.

"Sebelum pulang kita soan ke ndalem dulu, ya. Ulya juga ikut,"  ujar Pak Subkhan yang disusul anggukan Ulya.

Gadis itu penasaran sejak kedatangan kemarin Arif terus diam, hanya bicara sepatah dua patah kata saja. Biasanya pria itu memang paling kalem, tetapi tidak sediam itu juga.

"Ul, turun, yuk?"

"Ke?"

"Itu ke jembatan, Mas pengen berduaan sama kamu," celetuk Alam membuat adiknya terkekeh geli apalagi jika melihat kerlingan di mata Alam. 

"Jangan lupakan Mas Amirmu, lho. Aku juga mau ikut to."

Desau angin nan hawa sejuk membelai kulit dengan lembut, meninggalkan jejak dingin yang syahdu. Dengan jarak tak jauh Amir asyik sendiri mengambil foto selfie.

Aliran air yang terjun bebas membuat Ulya memahami akan sesuatu. Bahwasanya hidup itu harus mengikuti alur takdir yang Tuhan ciptakan dengan ikhlas, karena mau tidak mau, takdir yang sudah tergaris di telapak tangan manusia tidak akan berubah.

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now