2

2.7K 255 3
                                    

"Nah, itu sekalian Mbak Ulya dirias jadi pagar ayu."
Ucapan itu terdengar dari salah seorang di dalam ruangan rias ketika Ulya lewat membawa nampan berisi gelas bekas jamuan, ia berubah sangat rajin hari ini ke sana-ke mari dengan segala kesibukan apa pun itu. Bukan apa-apa, hanya untuk menenggelamkan kesedihan hati saja.
Ulya terpelongo. Nampan yang ada ditanganya sudah diambil alih oleh Bu Dhe Ratmi—tetangga sebelah yang ikut rewang.
Tangannya ditarik masuk ke ruangan suara tadi berasal. Jantungnya berdebaran, jangan sampai rencana mereka untuk menjadikan Ulya pagar ayu berjalan sempurna. Dia tidak akan mau! Bahkan di sini saja, dengan kesibukan yang ia geluti kesedihan masih terasa menukik.
Apalagi saat menjadi pagar ayu dan mengiringi resepsi pernikahan mereka, bisa pingsan Ulya. Gadis itu sudah cukup mengibai hatinya yang sudah tak berdaya.
"Aah, jangan aku Mbak."
"Wes gak popo, Mbak. Itu semua ceweknya juga dirias jadi pagar ayu."
"Ya, tapi endak dengan aku, Mbakyu."
"Gak popo, Mbak."
Ulya dipaksa duduk di kursi rias. Dia sungguh sudah tidak bisa membayangkan lagi bagaimana nasib hatinya nanti. Tidak cukup ambyar, tetapi bisa tamat riwayatnya.
Dia menggeleng kuat. Ini tidak boleh terjadi. Sudah cukup kejam takdir tidak merestuinya bersatu dengan pria pujaan, lantas masih harus menjadi dayang yang menatap kebahagiaan sang mantan dari dekat? Apa takdir ingin hatinya mati saat ini juga?
"Jangan, Mbak. Moh aku!"
"Ndak papa, Mbak."
"Jangan. Please," ujar Ulya mengerlingkan matanya sirat mohon.
"Ndak papa."
"Tiidaaak!"
Ulya terduduk, keringat dingin mengalir di beberapa bagian tubuh. Jantung turut berdebaran kencang. Kemudian mengusap wajah serta menyebut Asma Allah berulang kali.
"Untung cuma mimpi," ucapnya dengan menghela napas perlahan, setelah mengumpulkan kesadaran utuh.
Samar-samar kumandang subuh terdengar. Setelah napasnya teratur stabil, ia segera turun untuk berwudu kemudian bergegas salat jamaah di masjid yang letaknya di dekat rumah.
Tidak seperti jamaah subuh di hari biasanya. Sandal yang bertengger di depan undakan masuk masjid tampak begitu banyak. Pandangan Ulya dituntun masuk ke dalam masjid, barisan jamaah pria nyaris terisi penuh. Namun, tidak di shaf putri.
Melihat itu Ulya memilih melamakan diri di masjid untuk pulang lebih akhir. Ia yakin pria-pria alim berbusana muslim itu pasti teman-teman pondok Arif yang datang sejak kemarin malam. Ulya tidak peduli itu. Sekarang yang ia inginkan hanyalah mengumpulkan kekuatan hati untuk mempersiapkan diri di akad mantan nanti. Jangan sampai realitanya sama seperti di mimpi tadi.
Sepertinya Ulya memang jamaah terakhir yang ke luar. Sebagaimana sandal yang terisasa di bawah masih hanya sepasang. Sebuah sandal swalow berslempeng merah miliknya.
"Sebentar, Mbak!"
Ulya sontak urung mengenakan sandal. Berbalik badan pada sumber suara dengan kening bergelombang. "Iya?"
Seorang pria tengah menuruni undagan teras masjid dengan cepat, kemudian berdiri dengan pandangan ke bawah di depan Ulya. "Mohon maaf, itu sendal saya, Mbak."
"Itu?"  Ulya menunjuk sendal yang tersisa sepasang di hadapan.
"Njih." Pria bejas biru dongker itu mengangguk santun.
"Masa, sih. Itu sandal saya, kok," ujar Ulya tak percaya.
Si pria langsung mengambil sandal swalow itu kemudian memperlihatkan telapaknya. "Benar punya Mbak namanya 'si genteng'?"
"Pas saya datang juga sudah ndak ada sandal satu pun karena tadi jamaah memang sudah bubar semua." Pria itu menjelaskan kebenarannya karena memang ia tidak ikut jamaah.
Mata bulat Ulya melebar. Tentu bukan, bahkan untuk apa hanya sandal diberi nama seperti itu. 'Si genteng' pula. Bertapa malunya Ulya. Lantas ke mana lenyapnya sandal itu? Apa tidak cukup jodoh saja yang dilenyapkan? Pantas saja saat ia masukkan kakinya sandal itu terasa lebih besar.
"Terus punya saya di mana?"
"Lho, ya saya ndak tau, Mbak," jawab pria itu simpel. "Itu bukan?" imbuhnya seraya menunjuk sebelah sandal yang berada di pelataran jauh sana.
"Kok, bisa?"
"Mungkin ketendang-tendang. Orang kadang suka jail, Mbak," jawab pria itu sebelum berlalu. Ulya masih memerhatikan punggungnya yang melenggang pergi, tak lama ia berjongkok tepat pada posisi sandal Ulya berada. Pria itu kembali dengan sandal Ulya dan diletakkan tepat di depan gadis itu berdiri terbengong, tidak  menyangka jika pria itu akan mengambilkan sandalnya.
"Silakan, Mbak. Apa benar itu punya Mbak?"
Ulya mengangguk canggung, mengucapkan terima kasih kemudian melesat pergi secepat kilat dengan menanggung malu. Ah, santai saja, malu sebentar. Toh Ulya yakin itu pertemuan mereka yang pertama dan terakhirnya. Tidak akan ada pertemuman kedua, ia yakin itu tamu Arif.
******
"Ul?"
Merasa terpanggil Ulya urung melanjutkan langkah untuk masuk ke rumah pemilik hajatan, sebenarnya sudah sejak tadi dia berdiri di sana, mengumpulkan kekuatan dengan segenap senyuman. Pula ketegaran.
"Masih di sini? Lewat depan aja ayo," ujar Kakaknya.
"A-endak, Mas lewat sini aja," elaknya.
Alam hanya bisa pasrah, sejenak manatap dalam wajah adiknya. Jelas ia paham dan menemukan duka di balik senyum manis itu.
Alam meraih sebelah tangan adiknya untuk digenggam, kemudian merogoh saku mengambil sebuah pulpen. Pria itu menulisnya sesuatu di telapak tangan Ulya, membuat adiknya mengernyit bingung.
"Doa mujarab," kata Alam seolah menjawab raut penuh tanya yang tergambar di wajah adiknya.
Disambut anggukan Ulya. Dia membaca kaliamat yang dituliskan di telapak tangannya. "Allahumma pekso?"
"Dengan niat semua bisa terjalankan, Nduk. Paksa buat tegar hadir di sini," ujar Alam sok bijak sebelum meninggalkan Ulya yang masih terbengong saja.
"Ulya!"
Menguraikan ekspresi sedihnya tatkala suara memanggil terdengar dari dalam rumah. Ulya memang sengaja lewat pintu samping, sebab di depan sudah sangat ramai. Ia akan datang untuk bantu-bantu sesuai rancangan semalam.
Mengembus napas kemudian bergerak masuk. Wanita paruh baya yang memanggilnya langsung meraih lengan Ulya, menyapa dengan ramah.
"Syukurlah udah dateng." Bu Fatimah—ibu Arif itu menyapa. Ulya hanya membelas dengan anggukan serta senyum. Sikapnya baik, keluarga Arif memang sudah datang dan menyampaikan maaf atas sebuah perencanaan serius yang digagalkan. Itu tandanya Ulya juga harus legowo dan bersikap baik.  
"Kenapa baru datang? Kata Bu Siti kemarin sakit gigi?"
Ulya mengalihkan pandangan ke sisi, tatapannya malas. Rupanya Ibu juga sudah memberikan alasan yang apik karena Ulya tidak sedikit pun datang meski diundang untuk bantu-bantu sejak kemarin.
"E-iya, Bu Dhe ...."
"Kamu sekarang temani Ning Zulfa dulu aja di kamar. Nanti nuntun dia, yo, Nduk."
Terbelalak! Allahu Ya Rob, Ulya ingin sekali menebas waktu ini agar tidak perlu dilewati dengan bersandiwara  bahagia yang sebanarnya sangat menusuk hati. Itu lebih parah dari sekedar pagar ayu di mimpinya semalam, kan?
"Nduk? Ul? Ulya!"
Gelagapan. Ulya hanya mengangguk kecil, kemudian Bu Fatimah menarik lengannya mengantar ke kamar di mana sang mempelai wanita berada.
Hati Ulya hancur. Ia bingung meski melakukan apa nanti saat bertatap wajah dengan Zulfa—istri Arif. Istri mantan calon suaminya. Ulya tak sanggup jika nanti yang ke luar justru air mata. Namun, ia harus kuat untuk menunjukkan pada Arif. Bukan hanya pada Arif, tetapi juga takdir bahwa dia tangguh menerima semuanya dan menganggap waktu lalu sebatas kenangan yang tak perlu dikenang.
Ulya menyentuh dada, berharap detak jantungnya lekas stabil. Menarik napas panjang kemudian diembuskannya perlahan.
Bayangkan saja, kamu susuh-susah menjauhi hal yang paling ditakuti. Namun, dia justru menikam diam-diam dengan cara tanpa diketahui.
Ketika pintu terbuka, menampakkan sebuah ruang kamar maksimalis dengan segenap perabotannya yang bernuansa putih tertata sistematis, membuat Ulya terpana.
Sebelum matanya terfokus pada satu titik, seorang wanita bergaun pengantin duduk manis di tepian ranjang sana. Pandangan Ulya nyaris kabur terlapisi oleh embun, ia memalingkan wajah untuk menghapusnya dan mengambil napas untuk menambah kekuatan hati.
Ia mengangkat wajah dengan tersenyum saat menyadari Bu Fatimah memanggilnya. Mengangguk pelan dan melangkah masuk dengan rasa lunglai, tetapi berusaha tegak.
Bu Fatimah keluar setelah menyampaikan sistem yang akan mereka jalani nanti ke pada pengantin wanita, juga Ulya.
Ulya hanya bisa menghela napas. Di sini sekarang ia hanya berdua dengan istri Arif. Senyum dan obrolan pengenalan terlontar baik meski amat mencekik hati. Apalagi, ketika memandang balutan gaun serta pernak-pernik perhiasan yang membalut pengantin. Seharusnya Ulya yang ada di posisi itu.
"Kang Arif itu lurah pondok sekaligus orang kepercayaan Abah, aku ndak tahu jalan pikir Abah sampai-sampai menjodohkan kami."
Ulya menyimak dalam perih hati obrolan tersebut.
"Kalian tetangga deket, pasti kamu tau banget gimana Kang Arif kan, Mbak?"
Ulya mengangguk, senyumnya terlukis. "Mas Arif orang yang baik, Ning." Selepas itu pandangannya segera beralih.
"Aku beruntung," ujar Zulfa yang disusul anggukan dari Ulya dengan malas.
'Kamu beruntung dan aku buntung, Ning,' batin Ulya sarkasme, mengalihkan pandangan ke objek lain.
"Kok rasanya deg-deg-an gini, ya, Mbak?"
"Wajar, Ning."
Zulfa mengangguk membenarkan. Terkekeh menimpali ucapan Ulya. Namun, obrolannya terpotong tatkala Bu Fatimah memanggil untuk bergegas ke tenda acara lantaran resepsi akan segera di mulai.
Di sinilah waktu yang paling tak kuasa menahan tangis. Ulya berjalan menggandeng lengan mempelai wanita di sebelah kiri sementara sebelah kanan ada Bu Fatimah. Hati Ulya sudah cukup tercabik, entah sekarang sudah bagaimana kondisinya.
Sedari tadi pandangan kedua mata Ulya jatuh ke lantai karena tak kuasa menahan bening. Terlebih jemari tangan Zulfa meraihnya untuk digenggam. Sesaat Ulya memandang ke wajah anggun di sisi, aura bahagianya terlihat. Di sana Ulya merasa lega karena dirinya tidak egois, setidaknya ia mengikhlaskan cinta untuk kebahagiaan orang lain.
Hatinya sakit, tetapi semua orang tersenyum. Itu lebih baik, dari pada ia tersenyum, tetapi orang-orang menangis karena terluka.
Hanya bisa mengibarkan bendera kesedihan seorang diri. Menyanyikan lagu duka untuk diri sendiri.
'Ya Allah, sepertinya hatiku harus segera diotwkan ke bengkel karena sudah hancur berantakan. Sampai kapan aku harus diasupi kecemburuan dan sakit hati? Itu tentu bukan makanan yang bergizi. Tidak baik dicerna terlalu banyak.' Ulya hanya bisa terbengong, tanpa gairah membantu mempersiapkan acara resepsi.
Seperti menata snack atau apa pun yang bisa ia turun tangan. Sebab, ia ingin pulang, tetapi mendapat pesan dari Alam untuk ada di sana sampai acara tuntas. Sampai ... ia mengucapkan selamat kepada sepasang pengantin baru itu.
Begitu banyak orang-orang naik ke kursi pelaminan berbodong memberi selamat. Ulya masih berdiri menatap dengan nanar di antara antrian.
Jantungnya berdetakan begitu kencang. Debaran itu lebih dahsyat dari ketika ia dilamar. Iya, detik ini Ulya harus naik ke pelaminan. Bukan untuk ijab, calonnya baru saja lenyap, melainkan untuk mengucap selamat pada sang mantan. Ia hanya berharap jangan sampai pingsan, jelas itu akan sangat memalukan.
Tidak semudah itu, ia menarik napas panjang. Sepanjang jarak berdirinya dengan sang jodoh yang entah di mana.
"Allahumma pekso!"
Batrai yang tersisa dalam hatinya seperti masih hanya tersisa lima persen. Baiklah, dia akan menghabiskan itu untuk ke pelaminan. Setelahnya akan berlari pulang. Mau menangis, tertawa, bahkan pingsan sekali pun bebas.
Benar. Itu bener dilakukannya. Setelah mengucap selamat dengan senyum yang dilebar-lebarkan serta suara ringan, ia ingin segera menyeludup pulang karena kalau ada yang tahu pasti ia ditahan. Namun, gagal. Ia harus menghadapi serentetan kejadian menyebalkan. Menahan hati agar tak berguguran dulu, pula air mata agar tak jatuh dari pelupuknya.
Ah, setidaknya sudah lega. Ia sudah menunjukkan indahnya mengalah untuk kebahagiaan orang lain, meski sekarang hatinya terhuyung-huyung seperti disapu oleh desau angin.
Sialnya di pelataran rumah Ulya banyak sekali gerombolan lelaki. Di sana sudah ditenda, menjadi tempat duduk para tamu juga semuanya bersarung, berkopyah juga berpakian muslim. Ia yakin itu teman pondok Arif. Mana mungkin menerabas begitu saja. Akhirnya Ulya berinisiatif lewat belakang. Namun, sialnya lagi pintu dikunci. Hanya saja jendela terbuka. Bahkan ia tak peduli masuk lewat mana yang penting bisa segera masuk dan menangis kencang. Sekelipun lewat jendela dapur.
"Astaghfirullah! Maling!"
Di sini Ulya yang terbengong dengan mata melebar. Di rumahnya ada pria asing, tetapi malah ia yang disangka maling. Sehingga Ulya memukul pria itu menggunakan sapu berulang kali.
"Ke luar maling! Ke luar kamu!"
"Stop! Stoop!"
Ulya manut kata-kata tersebut secara refleks.
"Sebenarnya siapa yang maling? Saya atau kamu, sih?" Pria itu menghadap Ulya perlahan dengan mengelus badan yang perih karena digebuk. Kemudian tertawa ketika bersitatap sekejab dengan gadis menggemaskan ini.
"Kang sandal?" Ulya menunjuk pria itu tak percaya. Refleks saja nama itu yang meluncur dari bibirnya.
"Mana maling?" Alam yang baru ke luar dari kamar mandi panik menengok ke sekeliling. Kedua orang di depannya justru terbengong. Kemudian yang dibuat kaget karena kedatangan Ulya lewat jendela itu menunjuk Ulya yang juga terpelongo.
"Kok, aku?"
Alam tertawa lebar. "Dia adikku," jawabnya di sela tawa. Sehingga pria di sisi nyengir kuda.
"Ya berarti kamu malingnya." Ulya menunjuk balik.
"Dia temenku," jawab Alam tambah terngakak sampai perutnya kaku.

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now