22

1.1K 141 3
                                    

Ulya menghempaskan badan begitu saja di tepian ranjang. Badannya terasa payah setelah seharian bergulat dengan berbagai kegiatan pesantren yang padat nyaris tak bercelah. Sesaat ia menatap langit-langit kamar, sembari merasai pegal-pegal di beberapa bagian tulang tubuh. Sampai ia teringat pada sesuatu.

Cepat tangan Ulya bergerak menuju kantung baju muslimah yang dikenakan, menemukan sebuah kertas terlipat rapi yang sengaja ia simpan dulu setelah mendapatkannya tadi pagi di tempat seperti biasa--dampar aula tepat di posisi duduknya.

Sebenarnya Ulya penasaran sekali pada kurir surat-surat yang sudah beberapa hari ini dijumpai. Ia abaikan saja, tetapi si pengirim tak jera. Ulya bingung mesti bagaimana menghentikan itu. Melanggar peraturan pondok, ia tahu jika terpergok keamanan bisa tercambuk hukuman. 

Kertas putih itu terbuka, Ulya mengeja setiap katanya dengan seksama. Selepas itu pikirannya melayang tinggi. Si pengirim seolah tahu sekali tentang dirinya dan Ulya rasa di pesantren ini tidak ada yang tahu masalah pribadinya soal perasaan selain sahabatnya Ningsih.

Sekali lagi matanya memeriksa barisan kata yang terukir di kertas dalam genggaman.

~Ada banyak cara untuk mengganti posisi seseorang menjadi utama di hati. Jika melupakan tidak bisa menjadi solusi.

Bunga yang telah layu tidak bisa menjadi segar kembali, tetapi pupuki dia ... karena nanti akan ada semi yang tumbuh menjadi pengganti.

Kang Subuh~

Dihempasnya napas dengan berat. Kertas itu Ulya gunakan untuk menutup wajah, kemudian ditiup sampai berganti posisi. Ia benar-benar bingung, bimbang, posisinya adalah santri baru. Siapa santri putra yang mengenalnya? Dan berani mengirimi surat semacam itu? Tidak banyak yang Ulya kenali sejauh ini, hanya si Lurah Pondok dan Kang penjaga koperasi. Hanya itu. Lantas apakah Fajri atau Mubin? Itu sudah masuk beda lagi, kan? Pikirannya menebas, tak mungkin jika salah satu di antara mereka sang pria-pria yang amat ia hormati.

Kaki menjulur turun, lunglai berjalan menuju loker. Sebelumnya ia sempat mengedarkan pandangan pada sekeliling sudut kamar asrama minimalis yang hanya dihuni oleh beberapa orang saja, semuanya tengah sibuk bergelut dengan kegiatan masing-masing di waktu yang sudah masuk istirahat ini.

Ulya sengaja mengumpulkan surat-surat yang ia temukan karena bingung mesti dibagaimanakan. Diselipkannya selembar kertas itu ke pertengahan buku diary. "Kamu jangan bawa masalah, ya. Hidupku udah rumit," guman Ulya kemudian menghela napas berat.

✒✒✒✒✒✒

~Iya, bunga layu pasti sudah melewati masa segarnya dulu. Akan tetapi, tidak dapat kembali. Namu, akan ada semi yang mengasilkan bunga mekar lagi. Seperti itu jugakah hati? Surat itu selalu benar ... Mas Arif sudah memilih. Otomatis cintanya sudah layu untukku dan tidak mungkin timbul lagi. Bahkan dia telah menemukan semi yang menjadi pengganti.~

"Hey!"

Ulya mengelus dada refleks karena terkejut. Tangannya yang sedang mengukir aksara di atas kertas putih saja sampai tercoret karena tepukan yang mendarat di bahu secara tiba-tiba. Ia menoleh pada si pembuat ulah yang tak lain adalah Ningsih, terlebih gadis itu memasang tampang matadosnya (manusia tanpa dosa), duduk bersila di sebelah Ulya sambil menyeringai.

"Ya Allah, Mbak. Aku kaget," kesal Ulya.

"Kamu kenapa tadi tak suruh nunggu ndak manut? Malah nyelusur pergi aja?"

"Ada urusan mendadak," jawab Ulya ngasal. Kembali menuliskan sesuatu yang belum usai.

"Eh apa tu?" Ningsih meninggikan kepala berusaha melihat tulisan yang sedang ditekuri Ulya, tetapi segera gadis itu melipatnya sehingga Ningsih mundur dengan cemberut.

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now