7

1.7K 204 1
                                    

"Maaf, ya ndak bisa nganter kamu sampe tujuan."

Ulya mengangguk dengan tersenyum manis ke pada pria yang duduk di kursi pengemudi depan. Tak lupa berterima kasih sebelum akhirnya turun dari mobil.

Pria itu melajukan mobilnya pergi. Sementara Ulya masih terpaku di tepian jalan, matanya nyalang menatap kali besar yang mengalir deras di bawah jembatan gantung. Namun, segera mungkin ia beranjak sesuai arahan pria tadi untuk naik ke desa mencari letak pesantren Nurul Ilmi, tempatnya akan mengabdi.

"Assallamu'allaikum!"

Ulya menyerukan salam di depan sebuah rumah minimalis dengan desain terbuat dari kayu itu. Tak lama sahutan jawaban salam terdengar dan pintu terbuka. Namun, yang ke luar justru seorang pria dengan kening bergelombang. Menatap Ulya yang menjinjing tas besar. Bola matanya menelusur Ulya dari bawah kaki sampai ujung kepala.

Di dalam sana juga banyak lelaki tengah duduk santai dengan bercanda, dari sedikit yang Ulya tangkap saat pintu terbuka. Mereka juga menatap Ulya sejenak sebelum pria yang ke luar itu menutup pintu.

"Sinten, nggeh, Mbak? Ada keperluan apa?"

Ulya mengernyit tak mengerti, sehingga perlahan ia menjelaskan siapa dia dan bermaksud apa kedatangannya, tetapi begitu usai menjelaskan si pria malah tertawa. Ulya semakin bingung dibuatnya.

"Salah sasaran berarti, Mbak. Ini kantor putra," ujar pria berbusana muslim serta jas biru itu seraya menunjuk ke atas pintu.

Benar, di sana tertulis jelas 'kantor putra'. Ulya pikir itu ndalem karena bangunan itu paling ikonik juga menonjol. Pula letaknya di dekat gerbang masuk. Inilah karena tidak bertanya, jadilah sesat di jalan.

Hanya bisa meringis dan undur diri. Syukurlah pria yang baru saja ia ketahui bernama Qomar dari name tag di jasnya itu menunjukkan arah menuju ndalem, yang mana terletak di sebelah musala.

"Siapa, Mar?"

"Santri baru. Nyasar," katanya kembali duduk dengan teman-temannya yang tengah menunggu waktu ngaji sore tiba.

Harap Ulya kali ini sasarannya tidak salah. Gadis itu merapatkan langkah di depan sebuah pintu lebar dengan dinding kaca transparan. Ia mengetuk bagian kayu sisi pintu dengan menyerukan salam.

Tak lama seseorang ke luar. Ulya berpikir, apa setiap orang baru yang datang dipandang sepertinya? Ditatap dari bawah sampai atas yang membuat dia bingung?

"Saya Ulya. Khadamah baru yang--"

"Ooh. Iyo-iyo ayo masuk," ujar gadis itu seraya menarik lengan Ulya masuk. Ia dipersilakan duduk, sementara gadis itu pamit ke belakang katanya hendak memanggil Nyai Halimah yang tak lain adalah Bu Nyai baru Ulya di sini.

Tak seling lama gadis itu kembali dengan sebuah nampan berisi minuman, mempersilakan Ulya dengan ramah tanpa kecanggungan meski Ulya adalah orang baru di sana.

"Tunggu dulu sebentar, ya, Mbak. Umi lagi wiridan."

Ulya mengangguk pelan seraya tersenyum lebar. Di sini, ia akan menumpas kesedihan hati. Ulya harus bersikap seramah mungkin agar orang-orang bisa menerima kehadirannya dengan baik.

"Mbaknya yang ditugaskan buat momong Ning Ulya, ya?" Tanya gadis bersarung biru motif bunga itu seraya duduk bertumpu lutut, menaruh gelas berisi minuman di hadapan Ulya.

Sementara Ulya mengerutkan kening. Siapa nama yang dimaksud gadis itu, mengapa namanya sama? Setahu Ulya, ia memang ditugaskan mengasuh anak dzuriyyah, tetapi belum tahu siapa yang mesti diasuh. Bahkan sebelum ia mendapat izin untuk pergi, Ibunya sempat melarang lantaran di rumah ia sudah mendapat tempat bagus mengajar di madrasah. Namun, malah pergi mondok dan hanya mengasuh anak Kyai.

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now