14

1.3K 168 0
                                    

-Ahmad Fajri Al-Haqi-

Desau angin berhembus meniup perlahan wajah alam. Menggoyangkan dedaunan serta rerumputan yang dilewatinya. Meninggalkan sejuk saat dibelainya. Fajri tak henti mengukir senyum sebab sapaan-sapaan yang ia jumpai selama berjalan di kuridor madrasah. Langkah lebar ia ayunkan menuju tempat perlombaan di hari ahad ini.

Lima puluh persen lagi mendekati hari H, haflah. Semua perlombaan yang ia tangani untuk menyapa hari itu sudah berjalan lancar, digelar setiap hari sabtu dan minggu dengan berbagai macam perlombaan yang wajib diikuti santri.

Suasana ramai, beberapa santri tanpak di pelataran madrasah tempat lomba saat ini berlangsung, lantaran memang seusai roan santri yang mengikuti lomba harus segera mengambil nomor urut. Namun, kali ini tidak perlu sebab perlombaannya adalah menulis cerpen.

"Gus!"

Langkah pria itu yang hendak masuk ruangan madrasah terhenti, tatkala seruan ia dengar dari seorang pria yang tergopoh dari ujung lorong arah berlawanan dengannya berdiri.

"Ada kiriman, Gus."

Fajri menerima sebuah amplop putih yang disodorkan Umar--salah satu santri sekaligus pengurus di pesantren Nurul Ilmi ini.

Sepasang bola mata pekatnya tak lepas mengamati sebaris nama pengirim yang tertulis di papan amplop.

"Sudah lama menanti, 'kan, Gus?"

Fajri tertawa kecil, amplop itu ia gunakan untuk menepuk kepala pria di hadapan yang akrab dengannya.

"Matur nuwun, Kang," ujar Fajri sebelum bergagas pergi, urung memeriksa kelangsungan acara lomba di dalam.

Perasaannya tergelitik dengan sebuah kertas berwarna biru dengan gambar kucing di sudut bagaian bawahnya yang masih terlipat apik. Fajri duduk di bawah pohon rambutan sembari membuka kertas itu dengan segenap rasa yang beradu di dada.

-Dear, Gus.
Sebelumnya, aku minta maaf. Tiga bulan kan kamu mengirim surat itu? Aku sudah membacanya, tentu saja. Hanya, aku baru bisa membalasnya sekarang. Kamu pasti tau betapa terbatasnya kesempatanku untuk ke luar pondok, peraturan di sini ketat.
Aku bahagia mengenal kamu, Gus. Soal perasaan, aku bahagia. Amat beruntung memiliki teman sepertimu, tapi kita teman aja, ya. Aku masih harus mengais banyak ilmu, aku tidak mungkin bersanding dengan orang hebat dengan tangan kosong.
Kamu bisa mencari gadis yang lebih siap dari aku, Gus. Karena aku pikir kamu pantas mendapat yang lebih baik dariku.
Terima kasih banyak untuk semuanya, harapku kita masih tetap berteman.

Regards
Fadila

Tuntas, rasanya nyesek selama membaca kalimat itu. Sedikit, tetapi sukses merapatkan area pernapasan, sampai-sampai Fajri kesulitan melegakan kembali dadanya.

Ya, setidaknya jawaban yang lama ia nanti-nanti sudah didapatkan juga. Dulu, ada trah yang melintang antara santri dan anak Kyai supaya tidak saling jatuh hati, sebab perjodohan di keluarga Kyai masih sering terjadi. Namun, sekarang sepertinya semua anak lebih bebas menentukan muaranya sendiri. Begitu pun Fajri.

Dulu, di pesantrennya, hati ia tertambat pada satu wanita sederhana yang berasal dari keluarga biasa. Tidak ada salahnya niatan ingin mendekat dan mengajak ke jalur yang diridhai Allah, 'kan? Hanya saja, jawabab itu 'kita temenan aja, ya' itu lebih nyesek ketimbang ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Iya, ditinggal pas lagi sayang-sayangnya setidaknya mereka sudah saling terima meski sejekab, jika seperti ini kan jelas Fajri sendiri yang mencintai. Nyelekitnya tuh di hati.

Lama menanti, Fajri tak absen berdoa di setiap bakda sujud supaya segera mendapatkan kepastian. Ia jadi paham dengan quote 'cewek butuh kepastian'. Ah, itu lebih baik dari pada 'cowok butuh kepastian'.

Perasaan Fajri pun masih mengambang terhadap Fadila, ia menanti tanpa pasti dan mengabaikan yang hadir seiring berjalannya waktu. Dan pada akhirnya jawaban yang ia dapatkan sia-sia.

"Hatiku tidak sekeras batu, aku membatu sebab setia menunggu jawabanmu apa pun itu. Jadi ... sekarang akan kukepakkan sayap ini untuk terbang pada muara sejati."

Salah, bila menilai hati Fajri sekeras batu. Iya, sebagian santri menilai begitu. Fajri murah senyum, ramah tamah, tetapi hatinya susah tersentuh oleh cinta. Sebab apa? Ia menanti kepastian dari niatan seriusnya pada seseorang gadis.

"Saya sih optimis aja. Kebahagiaan itu bercabang-cabang, bukan cuma dari satu poros."

Fajri tersenyum tipis mengingat ucapan Ulya--si gadis yang baru dikenalnya dengan cara tak sengaja belum lama ini. Singakat, tetapi perlakuan gadis itu unik dan menggelitiknya, walau lemot, tetapi tak jarang dia juga berkata bijak.

Itu adalah katanya sewaktu menuju pesantren Nurul Ilmi saat awal Ulya berangkat, tatkala ia memberi tumpangan.

"Apa tujuan kamu mondok?"

"Cari ilmulah, Kang. Masak cari uang," jawaban gadis itu jujur dan bikin tertawa.

"Ya ... ndak semua orang mondok bertujuan untuk cari ilmu, ada juga yang cari cintanya Gus." Saat itu Fajri hanya berusaha mencairkan suasana.

"Salah satunya juga untuk mencari kebahagiaan."

"Kebahagiaan itu sulit dicari, ya."

"Hu um. Tapi saya sih optimis aja. Kebahagiaan itu bercabang-cabang, bukan cuma dari satu poros."

Ulya--gadis itu menghibur hatinya sebab perasaan yang tergantung dan ternyata tersia-siakan. Hatinya seperti tewas dan tengah berdarah-darah, tetapi berkurang saat melihat selintas gadis yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya. Dia berjalan membopong seorang gadis bersama temannya, Ningsih.

"Mungkin emang aku kudu fokus ke pondok sama Kang Masku dulu."

"Njenengan itu terlalu memerhatikan kebahagiaan orang lain. Sampai-sampai lupa dengan kebahagiaan sendiri," ujar Umar yang duduk di sebelah Fajri mengamati halaman yang sedang dipasangi tenda untuk acara haflah.

Fajri hanya tersenyum, ia bahagia dengan apa yang dilakukannya.

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now